WARNING: Mengandung isu sensitif. Tolong tekan play pada multimedia jika anda memiliki kecenderungan mudah terpengaruhi sesuatu yang anda baca.
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kebakaran melahap habis satu deret bangunan yang sejajar dengan WEEK&'s TABLE di salah satu ujung tikungan. Onggokkan gedung penuh jelaga hitam itu, setidaknya pernah bernama.
Jimin memeluk kedua kaki dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Bahu sempit dengan selimut lembab tersampir itu bergetar, giginya bergemeletuk.
Sedari tadi, ia tidak bisa mengalihkan pandangan dari jilatan api yang mengikis gedung ke sana-kemari. Matanya membola, menatap horor meski ia sendiri sudah diamankan ke ruas seberang yang aman dari api. Maka saat akhirnya delapan gedung yang berderet itu hanya berdesis dan berderak dengan kepulan asap menipis, Jimin lemas luar biasa lalu menangis dalam diam.
Ia tidak pernah suka dengan warna merah, karena mengingatkannya pada darah, api dan tragedi.
Merah, merah, merah. Semua itu masih membayang di benak Jimin. Rasa saat napasnya berubah sesak; saat melihat seluruh ruangan sudah diselimuti asap, saat dengan kewarasan yang tersisa ia mengambil selimut tebalnya untuk diguyur shower berair hangat pun dirinya ikut serta, saat ia berusaha menahan kaki untuk memijak permukaan lantai yang terasa panas, itu semua kalah dengan pemandangan ruko sebelah yang semula butik sedang dilalap api. Dan api itu sendiri mulai menjilati bangunan tempatnya bernaung malam ini.
Sesak, sakit. Bayangan itu kembali menghantam Jimin.
Saat mobil di depannya mengerem terlalu tiba-tiba dan ia yang masih lugu terkejut, membanting setir lalu mobil terhantam cukup keras ke pembatas ruas sebelah. Jimin yang masih menggenggam kemudi menatap panik kendaraan-kendaraan lain yang mulai kehilangan kendali. Di depan sana ada truk tangki bahan bakar terguling, melintang menutupi kedua ruas jalan. Sebuah bus sekolah berjarak paling dekat dengan tangki besar yang bocor, mulai mengeluarkan isi.
Semua kaca di sisi bus itu pecah, badannya ringsek dan Jimin bisa melihat ada orang terluka berdarah-darah disana. Ia baru sadar beberapa lama, tergesa membuka pintu mobil sialan yang rupanya betah terkunci. Kemudian getaran pelan terasa dan BOOM! Truk itu meledak segera dengan api besar yang tiba-tiba melingkupinya.
Jimin bergerak semakin heboh meninju kaca di sampingnya dengan kepalan tangan. Buku-buku jarinya sudah memar tapi hantaman bertubi itu tidak membuahkan apa-apa. Ia meraung frustasi tapi tidak berhenti mencoba. Matanya sempat memaku tatap pada seorang bocah laki-laki bermata bulat besar yang pelipisnya berdarah, baru siuman dan sedang celingukan, tidak jauh dari badan bus malang berada.
Badannya gemetaran hebat dan rasanya sangat sulit untuk menarik napas. Keringat sebesar biji jagung menuruni dahi Jimin.
Ledakan kedua datang dan api menyambar bus malang dengan seorang anak yang menangis mengharap pertolongan.
Jimin melihatnya seperti masih segar dalam ingatan.
Ia tersedak napasnya sendiri, bibir bawah digigit penuh emosi. Jimin merasa sekali lagi hidupnya tidak berarti. Tangannya mencengkeram lengan atas sendiri, Jimin tidak bisa merasakan sakit kukunya yang menusuk epidermis kulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
coffee? [VMIN]
FanfictionSaat Kim Taehyung menemukan figur semanis aroma kopi yang sedang di-roasting. [Start: 201217, Finished: 120218, Revised: 060219] WARNING: Coffee Shop! AU, MPREG | Fandom/ Pair: BTS/ VMIN | Rating: R15+ | Cast: Kim Taehyung, Park Jimin, etc | Genres:...