5. sliced of apple pie

3.2K 492 189
                                    


Jimin menghidangkan pesanan di meja Kim Taehyung dan Namjoon dengan teliti. Dua buah piring diletakkan di depan masing-masing, mengapit seloyang pai apel yang mengepulkan uap. Cangkir keramik putih ada di atas tatakan, masih hangat bekas bilasan. Sepoci air dan sebuah box kaleng kecil menyusul kemudian.

"Di dalamnya ada 4 kantung teh, Namjoon-hyung. Kalau airnya sudah mendingin kau boleh meminta ganti padaku atau staf yang lain," jelasnya. Namjoon melirik Taehyung, tersenyum saat Jimin mulai memotong pai dan memindahkannya ke piring.

"Lihat, Jimin, dia sekarang bahkan tidak sadar kalau makanan yang dimintanya sudah siap." Jimin hanya tersenyum sopan mendengarnya. Sebelah tangan menahan tutup poci saat ia menuang isinya pada kedua gelas.

Pemuda bersurai kelam tidak tahan untuk melirik gundukan cokelat pasir yang menelungkup di antara lengan terlipat, bahu tegapnya bergerak naik-turun teratur. "Taehyung sakit?"

"Bedebah ini bilang dia terlalu lama kedinginan dan belum sarapan, ck! Seharusnya dia tahu batasan dirinya sendiri, kan. 20 tahun apanya," Namjoon mencebik, menarik atensi Jimin kembali pada pemilik surai chesnut yang kini diacak gusar, "dia manja sekali kalau sakit, Jimin. Makan bubur saja harus selalu buatan Imo."

Jimin tergelak. Lucu saja membayangkan Taehyung yang seperti itu bersikap manja. Sisi dari pemuda Kim itu, yang ia ketahui hanya leluconnya, cengiran lucunya, raut datarnya, sorot mata tajamnya, tulang hidungnya yang tinggi-ugh, mikirin apa sih!

"Lalu sekarang bagaimana, Hyung? Bukankah orang tuanya tinggal di Daegu?"

Namjoon menjentikkan jemari. "Itu dia! Jika sakit seperti ini, Taehyung tidak bisa makan sembarangan karena bisa memicu penyakit lamanya kembali. Aku bingung."

Manik kelam melirik gundukan cokelat pasir lagi, ada simpati hadir pada raut wajahnya. Tangan Jimin spontan terangkat, mengusak helaian di sana yang ternyata begitu halus, berulang. Dia sudah memutuskan.

"Aku bisa membuatkan bubur untuk Taehyung, Namjoon-hyung." Mata Namjoon berkilat saat mendengarnya.

Tiba-tiba tangan si pemilik kepala sudah mencengkram pergelangan tangan Jimin. Pemuda berapron biru terkesiap, hendak menarik tangannya, namun terhenti saat tatapan memelas dari sepasang manik karamel menguncinya.

"Tolong, Jim. Di antara kami tidak ada yang bisa memasak. Kami payah sekali. Aku butuh makanan layak dan sehat." Suara Taehyung terdengar bergetar, berat, dan membuat Jimin meremang.

Ia mengalihkan pandangan ke mana saja, terlambat menyadari jika sebuah telapak tangan besar masih melingkar di pergelangan. Degup jantungnya berpacu, menghadirkan semburat merah pada kedua pipi. Jimin menarik tangannya canggung.

"Baiklah, Tae."

Kim Namjoon menyandarkan punggung saat melihatnya. Spekulasinya selama tiga minggu ini terbukti benar. Dia mengangguk puas.

Taehyung belum kehilangan rasa sosial.

...

"Hyung akan membayar Jimin untuk jasanya membantumu pulih, Tae." Namjoon berkata di sela suapan. Mata tidak beralih dari adik sepupunya yang mengangguk lemas-tapi tetap mengunyah dengan khidmat.

Tekstur renyah adonan pastri yang dipadu irisan apel hijau itu begitu sempurna. Saat memotongnya, lelehan saus meluap dari sela. Rasa manis yang menyenangkan lumer di mulut. Taehyung melayang memakan pai ini.

"Apa Jimin tidak akan keberatan ya, Hyung? Aku kan harus makan 5× sehari, dia juga bekerja." Taehyung bertanya sebelum menyuap pai kembali. Rasanya seenak foto yang ada di inst*gram.

coffee? [VMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang