[ Enam ]

14.3K 2.1K 79
                                    

Tinggi ayahnya tidak lebih tinggi dari Anya yang tingginya hanya 168 cm. Tapi wajah dan sorot matanya menyiratkan kewibawaan. Wajahnya seperti kebanyakan pria Aceh pada umumnya, perpaduan Melayu, Arab dan Hindustan. Mengingatkan Artha akan salah satu tokoh tuan tanah kejam di film-film India yang sering ditonton ibunya, tuan Takur. Bahkan dengkul Artha mendadak lemas saat manik mata kelamnya tuan Takur tertuju kepadanya.

Duh gusti, tatapannya bikin semvak gue basah keringat.

Artha berusaha tenang, meski ia sedikit gentar. Ia sudah biasa bertemu dengan berbagai macam tipe orang dalam pekerjaannya.

Dan Anya sama sekali tidak mirip dengan ayahnya. Mungkin Anya mirip dengan mendiang ibunya. Artha hanya bisa menerka-nerka. Mengingat di villa ini tidak ditemukan foto mendiang ibunya Anya.

"Yah." Anya yang sedari tadi mematung di depan pintu, maju mengulurkan tangan kanannya untuk mencium punggung tangan ayahnya.

"Cut sampai jam berapa tadi?" Tanyanya dengan suara yang dibuat lembut. Tetapi Artha menangkap ada gerakan canggung sang ayah yang hendak memeluk tapi diurungkan. Urung karena Anya langsung mundur untuk memperkenalkan Artha. Lelaki yang dengkulnya sedang lemas-lemasnya di belakang Anya.

"Sebelum maghrib." Jawab Anya. "Kenalin pacar aku, yah." Anya memberi isyarat Artha untuk mendekat. "Namanya Artha."

Artha menjabat tangan tuan Takur eh ayahnya Anya dengan mantap meski gemetaran. Artha ingin membuat kesan yang baik di mata ayah Anya. Meski diawali dengan jabatan tangan. Jabatan tangan yang mantap namun tidak terlalu erat mempunyai makna pemilik tangan memilik pribadi yang hangat, profesional, dan positive thinking. Artha belajar jabatan jenis ini dari ayahnya sejak belia.

"Boleh juga." Gumam ayah Anya. "Apa pekerjaan kau?" Tanyanya menyelidik dengan dialek yang tidak jauh beda dengan abang Sultan. Pertanyaan standar yang selalu ditanyakan para orangtua. Suara ayah Anya itu serak-serak berat. Mirip penyanyi jazz.

"Saya bekerja di sebuah perusahaan konsultan pak." Jawab Artha santun dan sekedarnya tanpa menyertakan posisi bagus yang sedang ia pegang sebenarnya. Jabatan manager yang ia jabat baru-baru ini.

"Hmm..." ayah Anya menatap wajah cengengesan Artha lekat-lekat seolah sedang berusaha membaca raut wajah Artha yang tidak pernah lepas dari senyum.

"Masuk. Dingin sekali di luar." Ayah Anya mendahului masuk sambil merangkul bahu Anya.

"Pilihan ayah lebih bagus nak. Yakin nggak berubah pikiran?" Katanya lirih pada Anya namun tertangkap telinga caplang Artha.

Anya menggeleng keras. "Bisa aja ayah keliru." Balasnya.

Diam-diam Artha bersorak. Itu baru perempuan gue!

Baru masuk ke ruangan, dua orang bocah laki-laki muncul dan langsung merebut posisi Anya. Bergelayut di lengan dan di kaki ayah Anya dengan manja. "Ayaaaaah!"

Adik-adik Anya? Artha tadinya mengira Anya anak bungsu. Tapi melihat wajah Anya yang seketika masam lalu minggir jauh-jauh membuat Artha mengerti. Ada yang tidak beres dengan sikap Anya dan keluarga ini.

Lalu wanita cantik yang Artha jumpai di teras muncul, melerai kedua bocah laki-laki yang sedang berebut perhatian ayah Anya.

"Hanaaan....Fatiiiih....ayah kalian capek. Ayo sini nak, biar ayah sama kak Cut dulu."

Bocah laki-laki berusia enam tahun dan tiga tahun itu melepaskan tangan-tangan kecil posesif mereka sambil cemberut.

"Ayah nantik ajari Hanan bikin pesawat ya." Si bocah enam tahun merajuk sesudahnya sambil melambaikan selembar kertas origami. Diikuti si bocah tiga tahun, "Fatih juga mau yah!"

LoveSickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang