[ Dua belas ]

14K 1.7K 40
                                    

Anya bergegas menuju lift. Dalam lift yang tidak terlalu penuh, Anya menghitung lantai demi lantai dalam hati. Terasa lama baginya.

Sesekali ia melihat ke dinding lift yang memantulkan bayangan dirinya yang tampak jelas. Penampilannya siang ini cukup oke seperti biasanya. Lebih terlihat oke dibandingkan penampilannya saat bertemu Pasha di Takengon. Mengingatnya lagi membuat Anya kembali menyesali pilihan kostumnya saat itu.

Anya lalu beralih merapikan rambut curly panjangnya.

Sempurna! Batinnya.

Anya menghela nafas. Namun hanya sesaat. Teringat sesuatu yang tidak boleh ia lewatkan. Bau badan!

Hidung mancungnya pelan-pelan mengendus-endus aroma kedua ketiaknya. Sebenarnya, setiap hari Anya tidak pernah melewatkan mengoleskan deodorant yang katanya tahan 48 jam pada ketiaknya. Namun ia tetap khawatir, apalagi jika ia sedang berkeringat cukup banyak.

Setelah membaui dua ketiaknya. Anya tetap masih memikirkan apa lagi yang telah ia lewatkan. Ia harus sesempurna mungkin tampil di depan Pasha.

Sepatu mungkin? Anya melihat ke bawah, pada kakinya yang dibalut sepatu heels hitam berbahan beludrunya. Matanya menangkap penampakan debu di ujung sepatunya. Perlahan Anya menarik keluar kaki kanannya dari sepatunya, lalu mengusapnya dengan telapak kakinya perlahan-lahan untuk menghapus debunya.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai 5. Anya mengangkat wajahnya tepat setelah ia membersihkan ujung sepatunya. Ia melihat Artha berdiri tepat di depan pintu lift yang terbuka di lantai lima. Anya mengerjapkan mata hampir tak percaya dengan penglihatannya. Lelaki itu tampak telah memangkas sangat pendek rambut kribo mengembangnya. Tidak ada lagi rambut kemoceng yang biasanya ia lihat selama ini.

Senyum lelaki itu mengembang menemukan Anya diantara pengguna lift lainnya, berada di pojok paling belakang lift.

"Mau kemana lo?" sapa Artha setelah berhasil masuk atau tepatnya memaksa menerobos orang-orang dan berhasil berdiri tepat di samping Anya.

"Eh elo pak Raden...ngapain kemari?" Anya malah balik bertanya.

Artha menghela nafas kesal. Kesal dipanggil pak Raden karena membuat seisi lift serempak melihat ke arahnya.

"Abis meeting sama client. Terus lo mau kemana?" Artha bertanya menyelidik. Anya tampak berbeda dari biasanya siang ini.

"Gue mau pergi lunch," jawab Anya riang.

"Sama siapa? Menor amat." Artha mengkritik tanpa ragu penampilan Anya yang siang itu sedikit lebih tebal dari biasanya. "Mau lunch apa mau ngelenong?" ledeknya dengan nada menyebalkan.

"Rese deh lo. Cantik gini dibilang mau ngelenong. Gue ada janji lunch sama Pasha," Anya menimpali dengan senang.

Mendengar nama Pasha, Artha melengos sebal.

"Kenapa lo keliatan nggak suka?" tukas Anya tanpa basa-basi. "Gara-gara kalah ganteng ya?" tukasnya lagi membalas Artha.

Artha hanya memberinya tatapan geli. Artha tidak ingin membahas lagi tentang Pasha. Lebih baik mengalah karena tidak ada gunanya berdebat dengan Anya.

Ting!

Pintu lift akhirnya terbuka di lobi. Anya bisa melihat Pasha sudah menunggunya di tengah-tengah lobi.

"Lo nggak kepengen nyapa dia?" tanya Anya sambil keluar lift bersamaan dengan Artha.

"Gue buru-buru," jawab Artha menolak dengan cepat. "Salam aja."

LoveSickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang