dua

51.8K 5K 166
                                    

Jadi istri Aji? Oh, memang ada dalam mimpiku, beberapa kali, bahkan sejak duduk di kelas satu SMA, saat dia dengan motor Ninja kuningnya mengantar-jemput. Aku pemimpi ulung, yang seringnya mimpiku malah ketinggian. Tapi, jujur, tiap kali aku tanya dalam hati kenapa Aji nggak pernah bilang cinta dengan gamblangnya, hal selanjutnya yang kudapati adalah Aji membayar makanku di kantin padahal dia duduk di pojokan lain, dia yang membayar iuran OSISku langsung ke bendahara kelas tanpa kuminta.

Kejadian kecil tapi manis itu bahkan masih sering kutemukan hingga detik ini. Jadi ceritanya, aku ini memang penggila tart, entah kenapa, makanan satu itu sangat menaikkan mood. Aku bisa menandaskannya sendiri, nggak jarang langsung mampir ke Mawar sepulang kerja. Sebagian orang nggak terlalu suka dengan tumpukan krim di atasnya, apalagi Kak Dhina, makan dikit aja udah kenyang katanya, tapi aku suka pakai banget.

Saat resepsi kemarin, mataku nyaris nggak teralih dari kue tart pernikahanku yang ditandaskan oleh anak-anak sepupu. Ngiler udah pasti. Mau protes nggak bisa, lagian dengan make up tebal, aku sulit makan banyak. Dan hari ini, aku malah dapet kiriman dari abang Go-Jek, sekotak tart topping selai strawberry ukuran kecil kesukaanku. Bingung udah pasti, karena perasaan aku nggak ada pesan. Sementara Aji lagi ke rumah Papanya, ambil barang, berhubung entar malem berangkat. Niatnya mau ikut tapi tumpukan barang di kamarku nggak bisa kutinggal, harus segera di bereskan dan dipilah mana yang mau dibawa.

Oke, jadi aku berpikir rejeki nggak boleh ditolak. Apalagi tart! Sekalipun rejeki kesasar bodo amat. Setelah menghabiskan setengahnya, di kamar sendirian baru aku tersadar. Segera kuambil ponsel dan menghubungi Aji. Ternyata benar dia yang kirim. Ough! Sekali lagi Aji membuktikan kalau dia bukan cowok romantis, atau romantis yang tertunda? Entahlah, yang jelas, Aji nggak akan bilang untuk sesuatu hal yang dilakukannya kalo nggak ditanya. Itu kesimpulanku. Dan sepertinya aku memang harus membiasakan diri.

“Yuk kuantar!” bahuku ditepuk kencang, Kak Dhina kalo mukul memang nggak kira-kira.

“Apaan sih? Kemana!”

“RSJ! Melamun, senyum-senyum sendiri. Takutnya gila pula.”

Aku melengos kembali menyuap tart ke dalam mulut. Yang penting, satu koper besar berisi semua barangku telah kusiapkan. Aji pesan buat nggak bawa banyak-banyak, masih bisa pulang juga sebulan sekali. Medan-Banda Aceh semalaman juga sampe. Nggak ada hantaran lemari, tempat tidur dan semacamnya, karena Aji langsung beli di sana, repot kalau bawa-bawa dari sini katanya.

“Nay, jangan minta ya... ini jatah Bunda,” kataku menjauhkan piring, batita itu malah mengoceh dengan air liur keluar dari mulut.

Kak Dhina langsung mencibir. “Bulan depan Bang Gandi mau cuti, mau jalan-jalan ke Aceh. Kamu hapalin semua jalan, ajak kami jalan-jalan.”

“Bujuk Aji dong, buat bawa mobilnya ke sana, biar enak jalan-jalannya.”

“Lah?” Kak Dhina langsung mengernyit. “Kok kakak. Kamulah yang bujuk.”

Bibirku langsung mengerucut. Selain karena itu mobil punya Papanya, Aji nggak mau pakai mobil di sana, nggak enak katanya, pangkatnya belum seberapa tunggangannya udah Pajero aja. Iya juga sih. Ya, tapi kan itu yang beli Papanya... Ya, ya, ya, segala penyangkalanku nggak guna. Yang jelas, Aji janji bakal belikan motor matic buatku selama di sana. Berhubung dia punyanya motor besar, sementara aku nggak bisa naikinnya.

“Hmm.. payah. Untuk sekarang-sekarang ini nggak bisa.“

“Punya anak cepet! Pasti bakal langsung beli mobil si Aji.”

“Duitnya dari mana?”

“Ya. Ambil kredit di bank.”

Bahuku mengendik. “Entahlah. Model Aji, tunggu kepentok, berpikir sendiri baru jalan.”

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang