empat

45.1K 4.5K 269
                                    

Masih pukul dua malam aku udah gerah aja. Bukan karena panas, oh, bahkan malam ini tak ada kipas angin yang menyala, cuaca cukup dingin ternyata. Gerahku juga bukan karena guling yang kekecilan, guling baru yang dibeli Aji cukup nyaman. Tapi... yang pengin kupeluk bukan guling, melainkan Aji, yang udah kupatenkan jadi guling hidup. Nggak peduli besok paginya dia ngeluh lengannya kebas karena pangku kepalaku.

Akhirnya, setelah menjaga keseimbangan tubuh agar ranjang nggak terlalu bergoyang aku mengendap keluar. Aji tidur di kasur busa yang sengaja diletakkannya di tengah ruangan, biar bisa sekalian nonton TV katanya. Saat tadi sekitar pukul sembilan Bu Umi udah mengeluh ngantuk, Aji menyuruhku untuk ikut ke dalam kamar buat tidur. Dan bayangkan aja, selama itu aku sulit tidur, tepukan sempat mendarat ke bokongku, karena Bu Umi nggak nyaman saat aku terus mengganti posisi tidur.

Televisi masih menyala sementara yang menonton udah terlelap entah sejak kapan. Ini dia yang sering kuberi judul, TV nonton orang. Kebiasaan Pak Zakaria banget. Niatku yang hendak mematikan televisi batal karena tayangannya drama korea, sejak kapan? Oh, aku memang udah lama nggak begadang. Seandainya pun iya, yang kulakukan paling teleponan sama Aji, pas LDR-an dulu.

Ini gimana ya? Kasurnya sempit, tapi kalo tidur pelukan pasti cukup.   

Kumatikan TV sebelum balik ke kamar ambil bantal dan meletakkan tepat di sebelah Aji, pas-pasan. Kukecup pipinya sebelum berbaring di sebelahnya, dan perlahan memeluk tubuhnya.

“Ck,” gumam Aji saat bergeser. Kayaknya sekarang dia bisa terjaga di mana aja ya? Nggak lama tangannya yang terhimpit bergerak ke bawah tengkukku, merangkul tubuhku. “Diluar banyak nyamuk,” gumam Aji kembali.

“Di dalam nggak bisa tidur,” balasku.

Aji membuka kelopak matanya. Menyentil dahiku sebelum menepuk-nepuk lenganku yang berada di atas perutnya. Herannya nggak lama, kantukku datang. Tepukan tangan Aji, mujarab banget.

***

Aji itu jarang... banget pake baju seragam selain tugas. Bahkan saat libur ke Medan aja, aku hampir nggak pernah liat dia pakai baju kebanggaannya itu. Padahal nih ya, ada juga teman SMP-ku yang jadi tentara, tiap saat pose pakai baju seragam, nggak peduli itu malam hari, lagi sama pacarnya, dan  foto di warung tenda pula.

Dan lihat Aji pakai seragam dengan mata kepalaku sendiri itu bisa dihitung jari. Salah satunya pas nikah, saat itu Aji gantengnya kebangetan, aku berasa mendadak jadi Song Hye Kyo meski tampang beda jauh bodo amat, Aji nggak kalah ganteng dari Yoo Si Jin kok.

Dan pagi ini semuanya serasa berulang, aku yang menatap Aji setengah menganga. Kok aku murahan banget sih! Pura pura nggak liat bisa kali ya, tapi nggak mungkin, jelas-jelas Aji udah ngelirik ke arahku. Dia ganti di kamar kosong, nggak ada cermin di sana, dan Aji baru aja selesai mengancingkan bajunya, setelah sebelumnya berseliweran dengan kaus hitam ketat, sambil mengeluarkan kendaraannya, memanaskan mesin, beli sarapan sama sayuran pesanan Bu Umi buat masak makan siang. Berapa banyak cewek yang menyaksikan pemandangan Aji mengenakan kaus ketat seperti tadi? Kok aku jadi was-was ya.

“Ji, sekarang kamu kebangetan deh.”

Aji menaikkan alisnya, melangkah ke arahku. “Kenapa? ada yang buat kamu nggak nyaman ya? Iya, kadang ada tikus keluar dari lubang kamar mandi.”

Aku bergidik. Maksudku bukan mau bahas itu. Tapi malah... “Ih... serius Ji?!”

“Ya... Um. Masa sama tikus aja takut.”

Tandukku mulai keluar dan menyoroti Aji tajam. Bisa kencing di celana aku liat makhluk mungil yang nggak ada imut-imutnya itu.

Aji menyengir hambar, “Cuma di musim-musim tertentu aja, nggak setiap saat kok.” Aji meletakkan telapak tangan kanannya ke pucuk kepalaku. Menepuk-nepuknya perlahan. “Jadi istri tentara juga harus sigap loh, tikus, cicak, kecoa, juga harus ditaklukkan,” tukas Aji sembari mengecup pelipisku.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang