Aku merasakan ada yang menyentuh-nyentuh ujung hidungku. Mengelus-elus alisku. Dekapanku kueratkan, terasa napas berat menerpa wajahku.
“Ish... sesak napas kalo gini,” gerutunya. “Dia kira aku guling apa ya?”
Kusunggingkan senyum. Tak lama tepukan mendarat di dadaku. “Udah bangun ternyata!” Dhini kemudian menjewer telingaku. “Bagus ya, kalo di sini males-malesan, abis subuh bobo lagi sampe siang.” Kubuka mataku. “Herannya Bu Umi nggak marahin kamu. Tetep aku aja yang diomelin.”
Kukecup pipi Dhini yang wangi bedak tabur. Habis gimana lagi, tadi malam aku menemani Bapak begadang nonton bola. Kata Bapak, kalau tidak ada aku biasanya dia sudah di seret Ibu untuk tidur. Alhasil, mataku masih ngantuk berat pas bangun tadi pagi, jadi tidur lagi.
“Jam berapa, Ni?”
“Sepuluh!”
“Serius?”
“Ngapain aku bohong!”
Aku mendongak melirik jam dinding, “masih kurang tiga puluh menit, Dhini...”
“Ya kan hampir jam sepuluh,” sahutnya tak mau kalah. “Ji, kita keluar ya, hari ini. Ntar malem kan udah harus balik.”
“Hmm... mau kemana?”
Dhini beranjak mengambil ponselnya. “Ini nih! Masa tiap hari ada yang pamer tiket nonton Dilan. Penasaran kan, sebagus apa sih filmnya—“
“Meskipun bukan Dilan yang ditonton mereka tetep pamer foto tiket kan?” sahutku.
Dhini mencebik. “Iya sih. Ya... kan aku jadi pengin ikutan, pamer foto tiket. Ya Ji... kita nonton ya, kan di Banda nggak ada bioskop.”
“Hmm.”
“Hm, apa? Aku juga baru siap masak loh. Kita mampir ke rumah Papa kamu dulu.”
“Ngapain?”
“Kok ngapain?”
Aku mengerutkan kening, sebelum mengangguk. “Ya udah. Kamu geser dulu. Berat, Ni.”
Dadaku kembali ditepuk keras.
Begitu selesai mandi aku langsung ke dapur, perutku meronta minta di isi. Dhini sepertinya sudah sangat cekatan di dapur. Ada nasi goreng yang...
“Udah dingin gara-gara kamu bangun kelamaan,” potong Dhini tepat sekali.
“Bapak udah bangun dari tadi?” tanyaku.
“Ya iyalah. Bapak wajib nganterin Ibu ke pasar,” sahut Dhini.
Tak lama yang diomongin datang. “Mau keluar? Itu naik mobil Bapak aja. Siang-siang gini panas kalau naik motor.”
Aku menelan ludah, mengelusi tengkuk yang tak gatal. Naik mobil, entah kenapa rasa trauma ini masih hinggap.
“Nggak Pak, kami naik motor aja, lebih enak nyalip-nyalip.” Dhini menyahuti.
Aku kembali memakan nasi goreng dalam diam. Dhini duduk di sebelahku sambil mengelusi lenganku. Dimana lagi bisa kudapat pendamping seperti ini. Dia selalu perhatian ke orang lain, meski bukan dengan cara lembut.
***
Hampir jam setengah dua belas kami sampai di rumah Papa. Tokonya tutup setiap hari minggu. Aku langsung mengarahkan motor ke belakang. Kebetulan mobil papa terparkir. Kuduga dia di rumah.
Begitu turun aku mengerutkan kening karena wajah Dhini tertekuk. “Kenapa?”
“Nggak apa-apa,” gumamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
Ficción General[Tersedia di Google Playbook] Sekuel False Hope Sepenggal kisah. Bahwa menikah karena cinta pun tak lantas membuat segalanya berjalan mulus.