lima

40.2K 4.6K 248
                                    

Aji POV

Aku memerhatikan ponsel sekali lagi, setelah dua kali sesi istirahat latihan gabungan, belum ada satu pun kabar dari Dhini. Pukul dua belas kurang sepuluh menit, hampir jam istirahat siang. Apa yang dilakukannya seharian ini? Apakah dia sudah nyaman dengan tempat tinggal baru kami? Hari pertama meninggalkannya sendiri di rumah menyisakan sedikit rasa was-was.

Aku nggak berharap dia bikin ulah aneh-aneh, nggak istriku nggak aneh sama sekali hanya sedikit tempramen, tapi, nggak mengabari dalam rentang waktu yang cukup lama begini tiba-tiba membuatku cemas. Aku ingat sudah menyikat bersih kamar mandi, nggak mungkin dia terpeleset saat mencuci piring kan?

Pikiranku mulai ngelantur, nggak membiarkan lama-lama asumsi ini bersemayam, aku segera mengirim pesan.

Me : Ni, kamu nggak papa ka|

Sepertinya berlebihan, belum tentu dia kenapa-kenapa.

Me : Sebentar lagi aku pulang.

Mataku masih menatap layar ponsel, lebih dari lima menit, pesan WhatsApp yang baru kukirim belum juga berwarna biru. Kemana Dhini? Atau mungkin kecemasanku saja yang berlebihan. Mungkin saja Dhini benar-benar memahami perannya sebagai istri prajurit, seperti yang selalu kuulang-ulang ketika berusaha meyakinkannya, bahwa hidup denganku nggak akan selamanya mudah, tapi dengan egoisnya aku memintanya untuk bertahan.

Embusan napas kasar serta-merta menguar, untuk saat-saat seperti ini, aku benci menjadi seorang prajurit yang harus mematuhi komando. Aku kembali mematikan ponsel dan balik ke regu.

Meninggalkan Dhini dengan Ibu ternyata membuatku lebih tenang dari pada saat ini. Tapi, hubungan jarak jauh Medan-Aceh, juga sangat sulit bagiku. Dulu, menahan diri empat tahun untuk tatap muka setahun sekali benar-benar menyiksa.

Nggak menunggu lama setelah barisan dibubarkan, aku langsung menuju kendaraan yang terparkir di depan kantor.

Sampai di rumah, pintu tertutup rapat.

"Halo.. Om,"

Sapaan yang menirukan suara anak kecil dari Bu Heni membuatku tersenyum memandangi bocah lincah yang berjalan hilir mudik seperti nggak ada lelahnya itu.

"Istrinya pendiam ya Pak, jarang keluar," kata Bu Heni kembali.

Aku meringis tetap memasang senyum, seorang Dhini nggak mungkin jadi pendiam, yang ada dia sedang menjaga diri. Menjaga jarak. Aku memang menganjurkannya untuk nggak terlalu dekat dengan siapa pun di sini. Bergaul dengan tetap memerhatikan batasan, mengingat pertemanannya dengan Mona yang sering di luar batas.

"Dari kemarin saya mau minta Nomor Whatsappnya, biar dimasukin ke grup, tapi, Bu Dhininya nggak keluar-keluar."

Nggak lama pintu terbuka, mungkin Dhini mendengar pembicaraanku dengan Bu Heni. Mataku memicing, saat melihat Dhini nggak mengenakan hijab plus masker di wajahnya.

"Ni," gumamku berbisik. Kontan saja, Dhini melepas masker dan menyembunyikannya di balik badan.

Bu Heni terlihat mengulum senyum aneh. "Bu Dhini, bisa minta no Whatsappnya?"

Dhini sedikit memelotot lalu melirikku meminta persetujuan. Aku mengedipkan mata, tanda mengizinkan.

Aku masuk melepas sepatu, membiarkan Dhini menyelesaikan urusannya.

"Ji, kamu ada kirim pesan ya?" tanya Dhini sambil menutup pintu.

"Sibuk maskerannya sampe nggak bisa bales pesan? Hm?" kataku mendekat dan mengecup keningnya. Melepaskan sedikit kelegaan karena Dhini sepertinya nggak mengalami masalah yang berarti seharian ini.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang