tiga

45.4K 4.6K 135
                                    

Aku memerhatikan jalanan pagi dengan pandangan kosong, suasana baru, yang sedikit membuatku bersemangat adalah jalanan di sini nggak rumit kayak di Medan.  Senyum kecilku mengembang, sekelumit rencana udah kususun, mungkin aku bisa mengitari kota ini sendirian sementara Aji tugas. Ya, baru sekali liat deretan rumah berwarna hijau muda itu aku langsung bisa membayangkan betapa suntuknya seharian di rumah tanpa teman ngobrol. Kalo di Medan kan aku bisa main kemana-mana, ke rumah Kak Dhina, Mona.

Apalagi Aji itu masuk di regu penembak, kalau ada tugas urgent sewaktu-waktu dia bisa nggak pulang berhari-hari. Dulu, waktu masih masa LDR-an aku sempat sedikit was-was sih, kenapa Aji mengambil kepelatihan khusus menembak. Apa emang dia niat banget mau nembak orang mau deketin aku? Eh, kok ke Ge-eran gini sih.

Dan tahu kenapa akhirnya aku iya-in keputusannya? Ya karena mabuk kepayang sama foto yang dikirimin Aji. Aji dengan seragam khusus dan memegang senapan plus helm juga kacamata pas lagi latihan menembak buat aku kelepek-kelepek. Bisaan banget bujuk dengan cara begituan. Dasar Aji!

Dicampakkan ke Batalyon Infanteri 112/Raider di Japakeh makin buat aku semaput, sulit sih mengendalikan diri buat nggak khawatir setiap saat, apalagi cicit-cicitnya teroris masih bersemayam. Seabrek prestasi yang coba dibanggakan Aji soal tembak-menembaknya itu nggak guna dimataku.

Sampe suatu malam Aji bilang, “kalau udah naasnya mati, di mana aja bisa mati, ditengah jalan ketimpa pohon aja bisa mati,” katanya. Ya, kontan kubantah, masa mati sih! Yang bener itu meninggal!

Terus apa gunanya dong aku ikut dia ke Aceh kalo bakal sering ditinggal juga, kataku. Aji bilang yang penting intensitas ketemuannya lebih sering ketimbang aku di Medan.

“Ibu dari tadi pusing baca plang jalan di sini,” seruan Bu Umi menyadarkan lamunanku.

“Memang gitu Bu, huruf vokalnya dobel. Yang ‘eu’ itu dibaca ‘e’ aja” Bu Umi manggut-manggut. Itu juga sih yang aku alami pas pertama kali ke sini. Dan Aji menjelaskan hal serupa.

Tadi, kami di jemput sama temennya Aji. Dan tahu ini kami naik mobil siapa? Komandannya! Begitu denger cerita Aji di dalam Bus, aku nggak yakin sih dia deket sama komandannya karena prestasi, yang ada karena suka jadi sopir kemana pun, kata Aji komandannya itu lebih percaya di sopirin dia. Kemampuannya nge-Grab dulu, kayaknya diterapkan juga di sini.

Mobil menepi di depan sebuah rumah gandeng. Sekilas aku menghela napas, selagi masih di Medan aku biasa-biasa aja, sampai di sini kok kayak ada yang mengganjal ya. Aji turun, dan sesaat membuatku terkesiap saat dia membukakan pintu untukku.

Saat pandangan kami bertemu entah kenapa tiba-tiba aku merunduk, dan berangsur turun. “Semua akan baik-baik aja,” bisik Aji, mengusap punggungku. Tiba-tiba membuat dadaku mencelus, apa ini tentang percakapan kami semalam di dalam Bus?

“Pangkatku paling junior, dan itu juga berlaku buat kamu di organisasi istri tentara. Hmm.. mungkin, aku nggak tahu pasti kegiatan mereka gimana. Tapi, yang pasti, kamu harus menjaga sopan-santun. Nggak peduli masalah apa yang terjadi, siapa yang salah siapa yang benar, selama kamu masih junior, senioritas masih berlaku.”

“Maksud kamu? Misalkan ada apa-apa aku tetap harus diam aja gitu?”

“Kan ada aku, kamu bisa keluh kesah sama aku. Jangan ke yang lain. Dan lagi, sifat kamu yang sering marah-marah langsung ke orangnya, jangan diberlakukan di sana ya, Ni.”

Saat itu suara Aji terdengar sangat memohon. Aku mengangguki, berpikir jika itu mungkin hanya segelintir kekhawatirannya. Tapi, kekhawatiranku saat ini bukan perkara itu, namun hal-hal lain yang tiba-tiba saja terlintas di kepala. Menghabiskan hari dengan lingkungan yang baru, meninggalkan lingkungan lama yang nyaman, tiba-tiba membangkitkan kepanikan. Aji, ya, sekarang aku sepertinya hanya bisa bergantung padanya.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang