enam

38.9K 4.4K 235
                                    

"Ni, aku berangkat ya," bisik Aji di atas selimut. Aku nggak tahu tepatnya jam berapa sekarang, tadi Aji keluar untuk lari pagi bersama rekannya yang lain. "Sarapan aku taruh di atas meja," katanya lagi, paling lontong, batinku.

"Ni, kamu nggak mau liat suamimu dulu sebelum pergi. Biasanya kamu suka liat aku pake seragam." Mendengar bisikan nakalnya kontan aku membuka selimut tebal yang menutupi hingga kepala. Liat seringainya bawaan pengin nampol. Apaan! Dia udah puas nyemburin spermanya malah aku ditinggal tidur, belum juga dapet klimaksnya. Dia bilang punyaku rapet kebangetan, susah buat nggak keluar gitu, mana nerobosnya payah. Sial banget.

"Aku masih bau, udah sana buru pergi, entar telat apel pagi."

Aji malah melompat ke atas kasur mengecupi seluruh bagian wajahku. "Dasar bau," ejeknya yang langsung kuhadiahi tepukan.

"Udah tau bau cium-cium!"

Aji mengecup pipiku sekali lagi sebelum turun. "Nanti makan siang aku beli aja, nggak usah ke pasar," katanya ketika sampai di ambang pintu.

"Hmm." Bagus deh, jadi bisa balik tidur, nggak ada Aji pasti bisa nyenyak, semalaman memang menyiksa banget.

***

Aku baru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit saat mendengar suara ketukan pintu. Kulirik jam dinding masih jam sepuluh lewat, nggak mungkin Aji udah pulang kan? Gawat rumah belum aku bersihin! Semalaman nggak bisa tidur, eh tadi habis Aji pergi malah ketiduran nyenyak banget.

Buru-buru aku ke kamar dan mengganti pakaian. Rambut kubiarkan basah hanya kukeringkan dengan handuk singkat dan menyisirnya. Kembali ketukan kudengar, setelah menyapukan bedak tabur ke wajah aku membuka pintu depan dengan sebelumnya menutup pintu kamar rapat, karena seprai belum sempat kuganti, seprai yang lama kurendam akibat bercak darah yang menempel.

Begitu kubuka. Seorang Ibu sedang menggendong bocah mengulum senyum.

"Baru siap mandi Bu?"

"I-iya nih. Ada apa ya Bu Heni?" tanyaku sopan.

Anak dalam gendongannya udah meronta minta turun. Dan segera diturunkan oleh Bu Heni. Mataku melirik begitu Rasyad berjalan tertatih ke dalam. Bu Heni berdeham pelan.

Tersadar akan suatu hal aku buru-buru menggelar ambal di lantai, setengah meringis karena lantainya belum sempat kusapu. Maklum rumah dinas kami belum ada kursi tamu. "Um. Silakan masuk Bu, silakan duduk, maaf seadanya." Ya, adab begini pernah aku dengar dari Aji, kabarnya mereka memang nggak akan duduk jika nggak dipersilakan duduk.

Aku ke belakang dan membuatkannya teh hangat. Nggak peduli ini udah hampir setengah hari, bodo amat, yang penting kata Aji harus menghargai tamu.

"Bu Dhini nggak ada niat beli kursi?" tanyanya begitu aku meletakkan nampan, sedangkan si anak tadi udah menjelajah bagian dapurku.

"Um. Ada sih Bu, cuma belum aja, lagi ngumpulin uang."

"Oh gitu, beli kredit aja. Saya tahu kok toko yang bisa kasih kredit di sini."

Aku menyengir, dia cuma nggak tahu, kalau pantangan Aji itu ya utang! Mau itu kredit atau apa pun, dia nggak bakal kasih izin. "Nanti deh Bu, saya izin ke Aji dulu."

"Aji?" tanyanya heran.

Kontan saja aku menggigiti bibir bawahku. "I-iya."

"Bu Dhini manggil suami dengan nama?"

Kini tengkukku pun terasa gatal. "Iya... gitu, udah biasa Bu. Kami seumuran soalnya."

"Hm.. gimana ya, tapi kedengarannya tetap nggak sopan, meskipun seumurankan dia tetap kepala keluarga, gimana kalau nanti anak Bu Dhini dengar, pasti niru dong." Aku hanya bisa meringis. "Oh ya, saya liat tiap hari Pak Aji keluar beli sarapan. Ibu nggak masak sarapan pagi?"

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang