sepuluh

35.3K 4.6K 154
                                    

Sebenernya semalam aku nggak update karena bingung harus pake POV siapa di part ini. Pake Aji entar kebuka semua dan pasti ada yang mengelu-elukan, atau minimal membenarkan yang dilakukan Aji. Pake Nini, pasti pada nyumpah serapahi Aji.  Tapi dipikir lagi, ini ceritaku, jdi ya sesuai yg hatiku mau. 😉😉

Dan sebenernya lagi, nggak ada yang berubah dari karakter tokoh di sini. Bapakku aja yang aslinya tukang ngebanyol bisa marah cuma gara-gara kelamaan dibikinin kopi. Sepupuku pacaran bertahun-tahun sering ke rumah pas lagi pacaran, setelah nikah dilarang kemanapun, ke rumah orang tuanya sendiri aja jarang.

Aku nggak tau sindrom apa yang dimiliki orang-orang setelah menikah, karena aku sendiri belum pernah ngalamin. Nggak semuanya buruk sih, ada juga sepupuku yang setelah nikah lakinya jadi lebih romantis.

Jujur, demi cerita ini aku ngamatin sekitarku lebih dalam. Dan kuusahakan menaruh sebab-akibat dibalik perkembangan sifat Aji-Nini.

Oke, sekian pidatonya, happy reading...

***
Aku mendapati ponsel dengan puluhan pesan, panggilan telepon dari Aji. Bahkan pesan dari Mona. Aji sampai tanya ke Mona?

Kepalaku seketika berdenyut, udah kebayang gimana paniknya dia tadi. Tapi, nggak ada panggilan dari Bu Umi. Artinya Aji nggak sampai menelepon Bu Umi.

Baru aku hendak meletakkan ponsel panggilan dari Mona datang.

“Kamu serius kabur Ni?” tanyanya memekik, bahkan belum sempat aku mengucapkan salam.

“Aku nggak kabur...” kataku bergetar dan kembali menangis. “Aku cuma ke pasar sama Bu Dewi, lupa bawa ponsel. Aku nggak sengaja Mona, sumpah!”

“Astaga Dhini... Itu si Aji nelepon aku, suaranya panik banget. Dia malah tanya apa kamu ada cerita ke aku pengin pulang ke Medan atau pergi kemana gitu. Mana pintu rumah dikunci lagi, dia tanya tetangga kamu katanya nggak ada liat kamu. Kok bisa si Dhin... kamu abis berantem sama dia?”

“Semalem aku diem-dieman, ada problem dikit. Aku nggak niat kabur kemanapun. Gila aja!”

“Terus sekarang Aji di mana?”

“Aji pergi sebelum aku sempat jelasin,” kataku dengan air mata kembali mengucur deras.

“Sabar ya Beb,” suara Mona terdengar mengiba. “Cuma salah paham, yang penting ntar kamu jelasinnya pelan-pelan, jangan kepancing emosi. Tunggu Aji dingin dulu baru dijelasin.”

“Dia marah banget tadi, Mon. Aku takut, nggak pernah-pernahnya Aji gini.”

“Cooling down dulu. Mungkin Aji mikirnya kamu kan nggak kenal siapa-siapa di sana, pergi pun dia nggak tau harus cari kemana. Liat kamu pulang nggak kenapa-kenapa, pasti emosinya naik. Lagian mungkin dia mikirnya kamu harus izin dulu kalo mau pergi.”

“Memang Bang Fadli juga gitu?”

Mona mendengus. “Ya, nggak. Enak aja dia larang-larang aku pergi, belum juga sah.”

Sempat-sempatnya aku mencibir.

“Ya udah aku tutup ya. Yang penting dibicarain baik-baik. Jangan pake acara nyanyi, pulangkan saja... aku pada Ibuku atau ayahku...”

“Nggak lucu!” bentakku sedangkan Mona, si kurang ajar itu malah terkikik sebelum menutup teleponnya. Dia belum merasakan berumah tangga, liat aja nanti tanggal mainnya.

***

Aku membolak-balik tubuhku di atas kasur, tak tenang. Hari udah semakin larut, harapanku Aji benar-benar dalam tugas genting. Bukan nggak pulang karena menghindar dariku.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang