sembilan

38.8K 4.6K 183
                                    

Berumah tangga nggak mungkin adem ayem aja. Pasangan itu pasti pernah pasang surut. Kalo yang satu lagi marah yang satu harus mengalah. Jangan dua-duanya kebawa emosi, jatuhnya kamu ngepak pakaian dan minta pulang!Kalo pun marahan jangan lebih dari tiga hari,nggak baik. Jangan sampe nggak masak. Meskipun marah, suami tetep harus diurusin.”

Aku memutar kembali nasihat ibu di kepala. Wejangan Ibu kepadaku dua kali lipat lebih banyak ketimbang kak Dhina. Mungkin karena aku bakal tinggal jauh. Jadi, kalo ada apa-apa Ibu nggak bisa langsung turun tangan. Dan kupikir, setelah Aji membacakan ijab kabul, aku nggak lagi mau merepotkan urusan internal rumah tanggaku ke Ibu.

Kalo kata Ibu nggak boleh lebih dari tiga hari, oke, inikan masih sehari jadi nggak pa-pa. Aji udah ngulang puluhan kali kalo semalam dia ngelak sewaktu Leona mau ngecup, tapi permasalahanku bukan cuma itu. Malam sebelum kami tidur, tepatnya saat Aji masih dikamar mandi aku nggak sengaja baca pop-up Whatsapp dari Leona.

Leona : Ji, Mak lampir ngamuk ya?

Mak lampir?! Aku pengin banget teriak. Aku nggak ada niat mau jadi musuh bebuyutan Leona, meski dia sahabat kecil Aji atau apalah itu, aku nggak peduli, orang kan nggak hidup di masa lalu. Tapi, seenggaknya bisa nggak sih dia menghargai aku, sebagai istri Aji?

Dan waktu aku ngomel ke Aji selepas dia keluar dari kamar mandi Aji cuma kasih tanggepan, “udahlah, nggak merasa, kan? Jadi jangan baper. Aku udah ingatin dia, tapi emang dasar anaknya gitu, Ni.”

“Iya, dan kamu mau-maunya aja diperbudak, dimintai tolong ini-itu tetap mau kan?”

“Dhini!”   

Aji sampe bentak? Oke, yang kulakukan saat itu langsung membalik badan dan pura-pura tidur. Sampai paginya, aku masih diemin Aji.

“Ni, seragamku yang ini udah disetrika kan?”

Aji mengacungkan seragam hitamnya yang masih menggantung di hanger. Aku mengangguk sembari memutar bola mata, Aji nggak bodoh aku tau pasti, setiap baju yang tergantung di hanger pasti udah tersetrika. Tapi, aku tau ini cuma akal-akalan dia supaya ajak aku bicara.

Aji memakai seragamnya, sementara aku mulai membersihkan tempat tidur, sudah hampir setengah tujuh lewat, waktuku makin mepet, karena pagi ini ada jadwal senam ibu-ibu Persit.

“Ni, aku beliin sarapan ya? Kita makan sama-sama.”

Mataku langsung melirik Aji. “Bukannya kamu udah iyain mau makan di kantor? Aku buru-buru Ji, kalo mau aku ceplokin telor aja kayak biasanya—“ ups, aku kelepasan ngomong panjang lebar, padahal niatnya mau mode irit bicara.

“Ya udah, ceplokin telur aja,” sahutnya cepat.

Kan, kan? padahal senam pagi kali ini jadi momen alasan paling mujarab buat jauh-jauh dari Aji. Ternyata susah ya ngambek kalo satu rumah gini. Bawaannya jadi salah tingkah kalo diperhatiin Aji kemanapun kakiku ini melangkah.

Aku mengembuskan napas kesal sebelum meletakkan bantal dan berjalan cepat ke dapur. Dadar telur dengan sedikit bawang dan cabai itu pekerjaan mudah. Nggak sampai sepuluh menit juga udah kelar.

Aji udah siap sedia di meja makan. Sementara aku mengambilkan nasi dan meletakkan telur ke atasnya. Giliran aku mau capcus, Aji malah minta ditemenin.

Gemesin kan? Dia pasti sadar aku udah nahan dongkol setengah mati.

“Kamu nggak ikut sarapan aja?”

“Nggak kan tadi udah minum susu.” Dan aku juga udah buatin Aji segelas susu, udah dihabisin juga, ini Aji beneran mau cari perhatian atau gimana sih.

“Aku cuma bantuin Leona bilang ke Kak Wita, nggak ada yang lain-lain.”

Jemariku mengurut ujung meja, berharap Aji cepat-cepat kelarin sarapannya. Gimana harus kubilang, aku bahkan nggak peduli apa yang jadi tujuan hidup Leona. Kalau punya pemikiran benar, harusnya dia berusaha lebih baik. Bukan pergi-pergi, gonta-ganti pasangan.

Come Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang