"Cuma segitu bawa bajunya?"
Aku mengernyit saat Aji menghampiri. "Memang kamu bakal lama banget?"
Aji terlihat gamang di posisinya sebelum mengendikkan bahu. Dia menolak aku membantu merapikan pakaiannya, karena dua tangan malah bikin ketinggalan sesuatu katanya. Seharian Aji keluar buat latihan atau apalah itu, aku nggak paham banget. Aku kira dia bakal berangkat pagi ini juga ternyata ada perubahan dan baru berangkat dini hari nanti.
Jadi, sejak tadi, selain mempersiapkan perlengkapannya ke dalam tas besar loreng-loreng, dia juga mengecek persenjataan. Aku sempat kaget setengah mati pas ngintip Aji di kamar kosong dan dia malah mengarahkan senjatanya ke aku. Dia malah ngeledek, "Harusnya aku tembak kamu pake ini, dulu."
"Mati dong!" sahutku setengah mendengus sedangkan dia terbahak. Aku pergi memilih nggak mengganggunya lagi dan membereskan pakaianku yang nggak seberapa.
Uring-uringan, jelas aja, semalam Aji sampe jitak kepalaku karena aku gelisah terus. Sayang-sayangan ala Aji memang antimainstream banget. Tunggu muka kecut baru dikecup.
Awalnya Aji duduk di pinggir ranjang, nggak lama malah terlentang. Aku memukul pahanya. "Udah mau maghrib!" tegurku.
"Salat di rumah aja. Berjamaah yuk!" tawarnya.
Aku naik ke atas kasur sudah mengenakan gamis berbahan kaus tapi minus jilbab. Dengan berbantalkan lengan Aji kusurukkan mukaku ke ceruk ketiaknya.
"Awas kalau nangis ya?" ancamnya.
Aku nggak peduli. Yang ada airmataku malah turun. Sedih nggak sih, ditinggal pas lagi manten baru gini?
Dulu, saat mengantar Aji ke Bandara buat kembali bertugas rasanya nggak se-menyesakkan ini. Mungkin karena waktu itu kami belum sedekat ini. Belum dekat lahir-batin, sampe aku nggak rela pisah. Belum terbiasa sama Aji yang jadi guling setiap malamnya. Atau mungkin ini imbas dari hubungan kami yang baru aja akur.
"Udah nggak jijikan diketekin kayanya nih?"
Lawakan Aji sama sekali nggak lucu. Perlahan aku malah terisak. Aji berusaha menarik tubuhku, tapi aku malah berusaha bertahan di posisi yang sama. "Nanti aku jemput. Hm. Doain nggak lama-lama," katanya dengan suara lebih rendah. "Aku mau liat wajah kamu masa nggak boleh?"
Kuusap-usap wajahku ke kaus Aji sebelum mengangkat wajah. Aji mengecup hidungku sebelum membungkus tubuhku dengan lengannya. Lebih erat sedikit lagi dijamin remuk. Lengan lakiku ini memang kayak besi kerasnya.
"Ada kata lain selain cinta nggak? Yang lebih dari itu. Biar nggak mainstream-"
"Bilang aja biar kamu nggak malu-malu banget bilangnya!" semburku langsung.
Bibir Aji tertawa tapi matanya mengatakan lain. Dan, aku tahu banget, dia memang paling berat mengucapkan kata cinta, sayang, honey, madu, lebah, dan sebagainya itu.
"Ni,"
"Hm." Aku menunggu Aji mengucapkan kata-kata romantisnya.
"Jangan pake BH busa lagi lah. Terasa banget ini." Aku menepuk dada Aji keras. Aji malah mengendusi leherku. Mengharap suamiku berubah romantis kayaknya harus menunggu keadaan terpaksa. "Kan udah agak besaran Ni."
"Iya! Gara-gara kamu remes tiap malem!"
Aji semakin terbahak. Dia berhenti menyekapku saat azan berkumandang.
Sehabis maghrib dengan muka ditekuk maksimal aku keluar dari rumah lebih dulu, sementara Aji mengeluarkan kendaraan.
"Mau kemana Bu Dhini?"
![](https://img.wattpad.com/cover/94088270-288-k210651.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
Tiểu Thuyết Chung[Tersedia di Google Playbook] Sekuel False Hope Sepenggal kisah. Bahwa menikah karena cinta pun tak lantas membuat segalanya berjalan mulus.