4

118 4 2
                                    

Tak lama mobil hitam itu sudah sampai di depan rumah yang tergolong cukup besar. Bahkan tergolong besar dan mewah. Rumah itu terlihat sederhana namun sangat santai.

"Makasih. Mau masuk gak?" tawar Clavenia melihat hujan diluar yang cukup keras.

Mereka kemudian masuk ke rumah itu dan langsung disambut oleh tatapan tak senang oleh abangnya.

"Oh jadi ini?" pertanyaan itu langsung diterima oleh Clavenia saat pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam rumah.

"Apa lagi sih? Astaga pusing banget!" seru Clavenia terlihat sangat lelah dengan hari ini.

"Jadi ini yang berani apa-apain lu??" teriak Clement mengangkat kerah baju sekolah Orlando yang sedikit basah akibat lari-lari sebelum masuk rumah.

"Kak udah lah.." kali ini Carmel yang bersuara. Kadang Carmel memang tak menyukai sikap over protektif dari abangnya tersebut. "Lagipula ciuman doang gak masalah kan. Gak langsung mati juga." lanjutnya.

Sifat Carmel memang sangat mirip dengan Clavenia. Jangan kan sifat, wajahnya juga sangat mirip kecuali badannya yang sedikit lebih tinggi Clavenia sehingga tak jarang orang menganggap Carmel adalah kakak dari Clavenia.

"Hei! Kalian berdua masih bau kencur. Apalagi lu, Carmel! Gak usah banyak ngomong!" seru Orlando menunjuk arah Carmel. Disana juga terdapat Mbak Tuti yang berusaha untuk menenangkan masalah.

"Oh jadi lu doang paling berkuasa disini! Tau deh gue. Lu udah kalahin bonyok. Tapi sayangnya, lu cuma kakak gue. Lu bukan orang tua gue. Gak usah atur hidup gue. Urusin aja hidup lu yang bahkan pernah hamilin cewek orang!" balas Clavenia tak kalah sengit.

Kali ini Clement sangat panas. Ia menghampiri Clavenia lalu menamparnya sangat keras. Sangat keras sampai Clavenia dapat merasakan darah segar mengalir dari ujung bibirnya.

"Udah? UDAH?!" perlakuan itu membuat seisi rumah kaget termasuk Orlando--yang hanya tamu-untuk-berlindung-saat-hujan. Ia tak tahu apa-apa namun harus dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Tanpa basa-basi lagi Clavenia langsung berlari ke kamarnya tanpa memedulikan suasana panas dibawah. Ia menangis sepuas-puasnya akan segala hal yang telah terjadi kepadanya hari ini.

***

Terik matahari menembus gorden kamar Clavenia. Ia terbangun dan masih menyadari bahwa ia masih menggunakan seragamnya. Di sebelah ranjangnya sudah terdapat sarapan. Ia lekas juga melihat jam dinding yang sudah menunjukkan angka 10-- artinya dia tak masuk sekolah?

Clavenia juga senang ia tak masuk sekolah hari ini karena kondisinya sungguh tak enak. Mulai dari wajahnya, terlihat darah kering di ujung bibirnya sehingga sakit jika mulutnya dibuka sedikit. Matanya sangat sembab dan kelihatan sangat lelah. Rambutnya juga kusut, berantakan, tak terurus. Belum lagi perasaannya yang sungguh buruk. Ia tidak hanya memiliki masalah dengan pacarnya, tetapi juga dengan kakaknya.

Setelah mandi, ia sudah terlihat lebih baik dari sebelum mandi. Ia segera melahap sarapan di depan matanya--tak tahu kenapa dia sangat lapar-- oh iya, dia tidak makan malam sebelumnya.

Ketukan pintu kamar Clavenia membuatnya berhenti sejenak untuk melahap roti bakar di hadapannya. Iya tahu ini pasti Clement. Biasanya jika kakaknya mengetuk pintu, ia akan menyuruh kakaknya langsung masuk. Tetapi tidak dengan kali ini. Ia tak ingin bertemu siapa-siapa dulu.

"Clav. Gue tau lu udah bangun. Plis maafin gue semalam udah kasar banget ama lu. Apalagi di depan temen lu. Lu tau kan gue cuma sayang banget sama kalian berdua. Lu berdua orang yang paling berharga di hidup gue lebih dari bonyok. Gue cuma punya kalian. Itu gue lakuin semua untuk lindungin lu pada dari niat-niat cowok jaman sekarang. Malam ini, gue bakal ngomong ke kalian." kalimat itu berhenti sampai sana.

***

Malam pun tiba. Sebenarnya Clavenia memang tak terlalu peduli akan penjelasan Clement tadi pagi. Yang ia tahu, ia masih kesal dengan kakaknya.

Ketukan pintu dari luar kembali terdengar. Ia tahu, ini pasti untuk membicarakan hal yang di omongkan oleh Clement. Kadang ia sangat kesal kepada kakaknya itu karena ia sangat sok berkuasa atas hidupnya dan adiknya. Bahkan segala sesuatu harus dilaporkan kepadanya. Padahal orang tua mereka sendiri tak pernah melarang anak-anaknya untuk melakukan apapun.

Tetapi Clavenia tetap menghargai usaha kakaknya yang dari tadi pagi selalu berusaha untuk mengajaknya ngomong. Tak bakal lama, pikirnya.

Clavenia berjalan menuju ke ruang tamu. Disana ia telah menemukan Carmel yang sudah duduk sambil menatap layar hpnya.

"Lah dia mana dek?" tanya Clavenia bingung melihat tidak terdapat Clement, sebagai pembicara malam ini.

"Lagi di dapur tuh masak buat makan malam. Biarin ajalah" jawab Carmel tanpa melepaskan tatapannya dari layar hpnya.

Suasana kembali sunyi. Disana hanya terdapat suara ketikan hp Carmel, suara penggorengan di dapur, dan suara ngunyah Clavenia. Ia sedang menyantap keripik singkong yang biasanya terdapat di meja ruang tamu.

"Eh kak, yang kemaren itu namanya Orlando kan?" Carmel mulai bersuara. Jujur saja, di sekolah, Carmel termasuk anak yang populer. Ia populer karena merupakan anggota cheers, serta termasuk anak yang mempunya "banyak fans". Fansnya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari guru-guru, teman-temannya, bahkan kakak-kakak kelasnya. Tak heran ia pernah dilabrak oleh salah satu kakak kelasnya yang duduk di bangku kelas 11. Namun anak itu langsung khilaf mengetahui Carmel memiliki kakak perempuan yang duduk di kelas 12.

"Iyaa. Lu tau darimana? Eh iya, dia kemaren gimana pas gue udah naik kamar?" Pertanyaan bertubi-tubi meluncur dari mulut Clavenia. Carmel masih sibuk menatap layar hpnya.

"Orang dia eksis banget di kelas gue. Lu kenapa sih bisa kedapatan ciuman ama si Gerald? Ciuman aja gak pro dah" cuap-cuap Carmel. Oh iya, satu lagi, Carmel memiliki sifat lebih dewasa dibandingkan Clavenia. Tak jarang Clavenia meminta saran dan pendapat adik perempuannya itu, karena Carmel tak pernah peduli akan pandangan orang. Ia selalu menggunakan kacamatanya sendiri.

"Nah itu gue gak tau siapa. Liat aja kalo gue tau siapa pelakunya. Gue bunuh tai" omel Clavenia menunjukkan amarahnya sedari kemarin.

Percakapan mereka hanya terpotong sampai sana karena tak lama Clement telah mengeluarkan masakan-masakannya yang telah siap dan menaruhnya di meja makan.

"Dia masak ini lagi, jadi gak bisa marah gue ama dia" bisik Clavenia membuat Carmel tertawa ngakak.

Clement memang sangat pandai dalam memasak. Bahkan mengalahkan Clavenia dan Carmel yang merupakan seorang anak perempuan. Entah bakat dari siapa yang menurun kepadanya. Bagaimana tidak, ayah dan ibu mereka tak pernah masak untuk mereka. Berarti... bakat Mbak Tuti lah yang turun kepada Clement.

"Jadi begini...."

Clement mulai berdongeng menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya, Clavenia dan Carmen tak terlalu peduli karena cerita tersebut pasti tak ada hubunggannya dengan ciuman kemarin.

"Terserah lu mau dengerin gue apa gak. Kalian soalnya masih kecil waktu itu. Lu tau kan kenapa kita pindah kota?"

Hmm, ini kayak teka teki. Mengapa harus diawali dengan pertanyaan? Apakah cerita kali ini akan bersangkutan dengan kepergian mereka dari Bandung?

"Yah gue sih gatau kalian masih inget tidak alesan kenapa kita pindah. Dan itu berhubungan sama Vania." Lanjut Clement mulai mengupas kisah-kisah keluarga mereka.

Vania? Siapa lagi itu?

Orlando's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang