6. Shadow Jumpers

7.6K 878 56
                                    

Walaupun begitu, aku tetap tak ingin membagikan isi pikiranku dengan Wijaya. Bagaimanapun juga, ucapanku itu ada benarnya, kan? Namun, dalam sela-sela obrolan ini, tiba-tiba saja otakku berpikir dengan cerdas, menyadari sesuatu.

"Kurasa aku tahu bagaimana cara kita menyaring daftar tersangka kita," kataku, memberitahu, membuat mata Wijaya terbelalak.

"Bagaimana caranya, Pak?"

"Lokasi mayat pertama di kawasan Dago, sekarang di balai kota."

Wijaya tampak berpikir keras akan maksudku, mengolah kalimatku seolah itu adalah benda menjijikkan yang tak ingin disentuhnya. Alisnya sedikit bergelayut ke atas dan ke bawah.

"Kawasan Bandung utara?"

"Tepat," kubentuk jariku seperti pistol, mengarah padanya, "Jaraknya sangat berdekatan. Kurasa orang itu tinggal di sekitar sini."

"Bagaimana jika dia sengaja berkendara jauh untuk menyimpan mayat-mayat itu di sini?"

"Kalau begitu, seharusnya dia tak tahu situasi di wilayah ini," timpalku. "Jarang sekali aku berkendara melewati jalan di depan itu, makanya aku tak menyadari bahwa tulisan resurrect itu tak ada sebelumnya, berbeda denganmu yang selalu melewati jalan ini ketika akan berangkat kerja, kan?"

"Saya rasa, orang lain pun tak akan menyadari tulisan itu baru dicoretkan," balasnya, seolah tak setuju dengan pendapatku. "Saya rasa hanya karena saya yang terlalu peduli melihat lingkungan, Pak."

"Karena itu, Wijaya, orang itu pun harus melakukan hal yang sama, memperhatikan keadaan. Dia tahu tempat ini tak ramai pada saat jam tertentu, juga pada kasus pertama. Kurasa tak mungkin juga dia mengawasi suatu tempat selama dua puluh empat jam setiap hari di berbagai titik lokasi hanya untuk mencari tahu kapan waktu yang sepi."

Akhirnya, Wijaya mengangguk. "Saya mengerti, Pak."

"Kurasa kita bisa mengerucutkan jumlah kemungkinan pelakunya."

"Saya harap hanya akan tersisa satu nama."

===

Berbekal uang yang tersimpan di dalam dompet, aku mengambil bungkusan makanan yang telah kupesan sebelumnya. Sebagai manusia normal yang memiliki rasa lapar, tentu kegiatan makan menjadi salah satu kewajiban yang kulakukan dalam hidupku, kecuali aku ingin mati.

Sembari membawa plastik itu, aku kembali menuju kantorku. Jarak yang tak jauh memutuskanku untuk berjalan kaki, bulak-balik. Namun, mungkin karena tak terbiasa melihat pemandangan seperti ini—seorang laki-laki berseragam polisi yang menenteng sebungkus makanan dalam plastik putih—orang-orang melihatku bagaikan orang gila yang tak sepatutnya ada di kawasan ini. Biarpun aku tak terlalu peduli, tetapi suasana itu sedikit menggangguku. Aku tak terlalu suka menjadi pusat perhatian, tetapi terpaksa untuk menghemat bensinku dan menghindari makanan kantin, mencari rasa lain yang akan dicicipi oleh lidahku.

Aku dan Wijaya telah mengumpulkan beberapa nama dengan ketentuan khusus seperti yang kami duga sebelumnya, menyisakan lima orang yang sesuai dengan kriteria pencarian kami. Selain itu, aku sendiri telah mengetahui bahwa proyek yang dilakukan oleh sang istri dari orang pertama yang melaporkan kehilangannya bukanlah sembarang proyek. Pembangunan sebuah perumahan yang dilakukan jauh dari kantorku, perumahan yang akan dibentuk di kabupaten Bandung, mungkin perlu satu hingga dua jam untuk mencapai tempat itu.

Kala itu, aku mendatangi lokasi proyek, mencari sang kepala proyek yang akhirnya hanya menjawab bahwa ia tak tahu-menahu mengenai hilangnya sang arsitek. Berdasarkan pengakuan sang kepala proyek, memang mereka sempat menghubunginya, tetapi kemudian komunikasi terputus dan tak ada obrolan lanjutan dari rencana mereka, membuat mereka terpaksa mencari ahli yang baru, mengambil orang-orang yang berasal dari sebuah kantor resmi dibandingkan pekerja lepas karena merasa tertipu oleh kejadian pertama itu.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang