12. Return Zero

6.1K 731 19
                                    


Si brengsek itu mencorat-coret pegangan pistolku, membuatku terpaksa menggunakan tiner akibat cat berwarna putih yang sengaja digoreskannya untukku. Ujung kain yang kugesekkan pada pegangan pistolku mulai ternodai, menimbulkan bercak putih yang terpampang secara nyata dalam basah akibat tiner yang mengendap pada permukaan kain.

Akhirnya, merasa pekerjaanku telah beres, kubalikkan pistolku, memindai seluruh sisi yang ada secara tiga dimensi. Untungnya, si brengsek itu tak melakukan hal aneh lainnya pada senjata api ini. Sempat pula kuselidiki amunisi yang tersimpan di dalamnya, selongsong peluru masih terisi penuh, orang itu tak menggunakannya sama sekali dengan menyisakan dua ruang kosong untuk selongsong peluru yang lain—Tentu saja bekas peluru yang kutembakkan.

Ah ya, aku sendiri yakin jika ini pistolku karena nomor identitasnya, tertera pada badan pistol dengan kombinasi angka yang kuingat.

Kedua kakiku bergerak menuju tempat perkakas. Kembali kuletakkan kain itu pada tempatnya, di samping tabung tiner yang masih terisi setengahnya. Kututup, kukembalikan pada tempatnya semula, di bawah lemari. Mungkin, sebagian orang—atau mungkin kebanyakan orang—merasa bingung akan kebiasaanku meletakkan perkakas di tempat seperti itu. Memang, kebiasaan itu bukanlah hal yang wajar, umumnya manusia akan meletakkan perkakas-perkakasnya di garasi atau mungkin di gudang. Namun, kebiasaanku ini telah tertanam sejak kecil. Aku biasa menyimpan benda-benda penting—atau mungkin yang kuanggap penting—tak jauh dari kamar. Obeng, bor, dan segala macam benda seperti itu bagiku merupakan alat vital yang sewaktu-waktu pasti akan kugunakan—contohnya sekarang ini—sehingga aku dapat membongkar—memperbaiki—benda-benda yang menurutku harus dilakukan dalam privasi.

Di samping itu, manekin dari sang pengirim menatapku bisu, melihatku yang tengah mengenakan kaus oblong berwarna putih serta celana pendek murahan yang banyak tersedia di Pasar Baru.

Aku sendiri merasa bersyukur karena pegangan pistol ini—tempatku meletakkan genggaman tangan kananku ketika membidik—tidak terbuat dari karet, sehingga tiner yang kugunakan tak akan merusaknya, atau setidaknya tidak benar-benar membuatnya melar dan malah merusaknya.

Pikiranku tidak begitu kacau seperti sebelumnya. Saran Wijaya agar aku beristirahat agar pikiranku tenang ternyata memang benar adanya. Emosiku kembali stabil—sejauh yang kurasakan hingga sekarang ini. Tak ada lagi perasaan untuk memaksakan kebenaran akan analisisku pada yang lain. Aku dapat menerima logika orang lain, di luar logikaku yang rumit, walaupun tetap saja aku tak akan menerimanya secara mentah-mentah. Selain itu, Wijaya pun berencana untuk mengunjungiku, bukan dalam artian dia akan membesukku, mencari tahu keadaan dan memastikan diriku baik-baik saja, tetapi kunjungan secara profesional, berkaitan dengan kasus yang tengah kami tangani.

Aku berganti pakaian, memperbaiki penampilan setelah rasa letih membersihkan pegangan pistolku, mengenakan kaus polos berwarna hitam serta celana bahan panjang berwarna biru tua. Kemudian, selang beberapa waktu, Wijaya menghubungiku melalui chat.

Saya sudah di depan rumah Anda, Pak, tulisnya.

Kedua lututku kembali mengayun setelah kuletakkan pistolku di dalam laci, menyerbu pintu utama untuk menyambut Wijaya yang dengan susah payah sengaja mengunjungi rumahku. Sebenarnya, Wijaya sendiri pun tak ingin menggangguku, menjadi tamu dan menghancurkan rencana istirahatku. Namun, aku memaksanya. Pada awalnya, aku malah berencana akan menemuinya di suatu tempat, makan di sebuah tempat makan untuk membicarakan kasus itu, seperti biasa. Hanya saja, karena sifatnya yang memang terlalu takut untuk mengganggu suasana, akhirnya Wijaya menolak, sehingga aku memaksanya untuk datang ke rumahku jika memang ia tak ingin mengganggu waktu istirahatku.

Wijaya masih berseragam lengkap--Baju berwarna cokelat dengan beberapa aksesoris wajib—sesuai standar kepolisian. Bahkan, ia masih mengenakan topinya itu. Aku mempersilakannya masuk, membuatnya berjalan santai mengantarkan kaki-kakinya menuju sofa empuk yang biasanya menjadi tempat tidurku seperti yang kupersilakan padanya.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang