Juntaian awan yang memenuhi langit-langit membuat kesan mendung semakin menjadi-jadi. Warna kelabu memenuhi seluruh sudut penjuru kota ini, menandai masuknya musim hujan setelah kemarau yang cukup berkepanjangan. Aku tak sabar ingin merasakan kembali tetesan air hujan sembari menyesap secangkir kopi di malam hari, memikirkan pertanyaan-pertanyaan tak bermutu yang sering mengganggu otakku, seperti :Kenapa berjalan kaki menggunakan kedua kaki secara bergantian?
Aku sedang bebas tugas, melepaskan seluruh jeratan pekerjaan dari otakku, walaupun sebenarnya tak seperti itu juga. Biarpun namanya bebas tugas, bagiku itu hanya sebuah padanan kata yang sengaja ditempelkan, mengganti bekerja dengan seragam menjadi bekerja dengan pakaian bebas. Selebihnya, tak ada perbedaan yang lain, apalagi dengan kasus yang sedang kuusut seperti ini.
Namun, berusaha untuk membuat perbedaan dalam keseharianku, kuputuskan untuk mengunjungi dokter Ryan, meminta maaf secara personal padanya. Untungnya, ia belum diputuskan bersalah sehingga aku tak perlu membuat surat pernyataan untuk mengembalikan nama baiknya, walaupun sebenarnya aku sudah membuat klarifikasi di tempat kerjanya—dengan setengah hati tentunya, karena kala itu aku belum bisa melepaskannya dari dugaanku.
Sang istri menyambutku dengan ramah. Memang, sudah beberapa kali kami bertemu. Gelagat wanita itu tak pernah berubah semenjak pertama aku mengunjunginya, walaupun tampaknya sekarang ia lebih bahagia, mengetahui suaminya tak terlibat. Sedangkan dokter Ryan, masih dengan tubuh tambunnya menyambutku seperti biasa, mempersilakanku untuk duduk dan berdiskusi. Ah, ya, aku sendiri mengunjunginya di saat yang tepat, ketika ia tak sedang dalam jam praktik—setidaknya belum.
Walaupun aku menolak, berbeda dengan kebanyakan orang, istri dari Dokter Ryan tetap menyuguhiku minuman, kopi instan yang sebenarnya tak begitu kusukai karena campuran creamer yang begitu pekat. Aku lebih menyukai kopi pahit, tanpa gula, tanpa apapun, merasakan sensasi nikmat dan harum dari asap yang mengepul keluar. Namun, tetap saja untuk menghargai tuan rumah, kusesap air berwarna coklat itu, meneguknya secara perlahan sambil meniup pinggiran cangkir. Dokter Ryan pun melakukan hal yang sama, tak kusangka ia suka minum kopi.
"Saya ingin meminta maaf, Dok," kataku, di sela-sela pesta kami dengan aliran hangat yang memenuhi tenggorokanku. Ampas kopi sedikit terasa pada langit-langit mulutku, tetapi kuhiraukan.
"Saya mengerti, Pak Roy," balasnya. "Jika saya berada dalam posisi Anda pun, mungkin saya akan melakukan hal yang sama."
Benar-benar sebuah perbincangan yang menenangkan hati. Tak ada perkelahian, rasa marah, semuanya didasari atas dasar kemanusiaan, mengerti keadaan satu sama lain. Kemudian, di saat Dokter Ryan telah meneguk minumannya untuk ketiga kali, ia berkata, "Ah, ya, Pak Roy, rasanya saya mengetahui maksud dari R3 itu."
"Anda mengetahuinya?"
"Tidak begitu ingat. Saya pernah melihat tulisan seperti itu." Jelasnya, membuatku termangu. "Tulisan itu terngiang dalam pikiran saya. Mungin ingatan saya ketika masih kecil, saya tak begitu ingat."
"Tulisan?"
"Tertulis dalam sebuah buku. Saya tak begitu ingat."
Dokter Ryan terlihat kesulitan untuk mengingatnya. Beberapa kali ia naik turunkan alisnya, menyegarkan otaknya, tetapi tak satu pun kalimat keluar dari mulutnya, membuatku terpaksa membuat topik yang dapat melanjutkan pembicaraan.
"Ah, Anda tak perlu memaksakan diri, Dok."
"Maafkan saya yang tak dapat membantu."
"Itu cukup membantu," kataku, kemudian kembali meneguk cairan coklat yang berada di hadapanku. "Ah, ya, Dok, apa Anda meningat nama Ferdinand?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]
Mystery / ThrillerKota Bandung digegerkan dengan penemuan mayat seorang wanita. Tidak hanya itu, tetapi kepala mayat wanita itu diganti oleh sebuah manekin! Roy, sang detektif kasus pembunuhan dipilih untuk menangani kasus itu bersama rekannya, Wijaya. Buku 1 Serial...