20. Criminal Mind

5.9K 768 25
                                    

Setelah beberapa menit, Wijaya memutuskan untuk memesan makanan ketika piringku telah bersih mengilap menyisakan sepasang sendok garpu di atasnya. Seolah menggodaku, ia memakannya dengan halap, berharap agar aku kembali memesan makanan—bagian kedua—dan menghabiskan seluruh uang yang ada di dompetku. Namun, tentu saja kutahan nafsu itu. Biarpun kuakui perutku masih belum terasa kenyang, tetapi aku tak ingin menyia-nyiakan sisa uang yang menghuni dompetku.

Akhirnya, keputusanku jatuh untuk menyisir pemandangan sekitar, melihat betapa banyaknya orang yang memenuhi food court ini ketika kunyahan Wijaya masih terdengar dengan jelas pada telingaku—disertai seruputan akibat udara yang memenuhi rongga sedotan yang diminumnya pada sela-sela kunyahan. Di antara lautan manusia ini, aku dapat melihat beberapa kegiatan yang terlihat dominan. Beberapa di antara mereka terlihat sedang menyantap makan siang dengan lahap—umumnya adalah keluarga. Beberapa di antara mereka hanya berjalan-jalan, berlalu lalang di luar area food court ini, sedangkan yang lainnya—cukup menyedihkan—menjatuhkan diri pada ponsel, tak melepaskan tatapan mata mereka pada benda kecil itu, padahal sang lawan bicara ada di hadapan mereka—yang juga memainkan ponsel.

Karena aku tak ingin terlihat bodoh dengan hanya menganalisis keadaan sekitar dan menunggu Wijaya untuk menghabiskan santapannya, akhirnya kubuka kembali pertanyaan yang mungkin akan membuatku memiliki kegiatan yang bermanfaat—mengobrol.

"Kenapa orang-orang harus mengunjungi tempat ini secara berkelompok jika pada akhirnya mereka akan memainkan ponsel masing-masing?"

Wijaya belum siap mendengar pertanyaanku. Mulutnya masih penuh, pipinya bergumul dan bergerak seirama dengan kunyahannya, kemudian menelan sisa makanan yang ada di mulutnya sambil kemudian menjawab pertanyaanku, "Memangnya kenapa, Pak?"

"Mereka dapat melakukan hal itu di rumah mereka masing-masing, kan? Tak perlu membawa kebiasaan itu di sini. Maksudku, ya ampun, mereka hanya membuang-buang waktu juga tempat."

"Maksud saya, kenapa Anda begitu peduli, Pak?" perjelas Wijaya, sesaat sebelum kembali menyuapi mulutnya dengan sesendok nasi dan mengunyahnya.

"Entahlah, kurasa karena itu mengingatkanku pada Loka."

Wijaya menelan makanannya. "Ada apa dengan Loka?"

"Dulu dia tak akan melepaskan tatapannya pada ponsel, bahkan ketika aku sedang berbicara dengannya."

"Dulu?"

"Ya, dulu."

"Bagaimana dengan sekarang?"

Aku tersenyum sambil mengangkat kedua bahuku. "Kurasa sudah ada perubahan."

"Perubahan ke arah yang lebih baik."

"Aku tahu."

"Ya, kehidupan tidak akan selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan, kan, Pak?" Wijaya meletakkan sendok dan garpunya, melepaskannya dari genggaman, seolah-olah berusaha untuk fokus pada topik pembicaraan kali ini. "Termasuk mencegah anak-anak yang memainkan ponsel."

"Bagaimana denganmu sendiri, Wijaya? Kau sudah siap?"

Wijaya mengangkat sebelah alisnya. "Siap untuk apa?"

"Berkeluarga," jelasku sambil cekikikan.

Wijaya terlihat canggung, terkejut akan lontaran kalimatku yang begitu tiba-tiba. Namun, aku tahu dia tak dapat menutupi rasa gundah yang menyelimuti dirinya. Aku tahu betapa bimbang hatinya untuk menghadapi hari itu—hari yang mungkin akan mengubah dirinya seutuhnya, selamanya. Walaupun begitu, Wijaya sendiri berhasil menutupi seluruh rasa ragunya dengan baik. Dengan sigap ia menjawab, "Tentu, Pak."

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang