Mayat kaku yang terbelenggu dalam trash bag hitam itu tak dapat berbicara. Di dinginnya pagi, sekumpulan orang mengelilingi mayat itu, menyayangkan keadaannya, dalam kemalangan di tengah rintik hujan. Memang, sedari kemarin hujan belum begitu reda, biarpun tidak sederas kemarin.
Berlindung di bawah payung, segera kudekati mayat itu dengan gemericik hujan yang menimbulkan suara gaduh pada permukaan payungku. Beberapa petugas siap untuk mengangkutnya, seolah tahu apa yang harus dilakukan karena kejadian ini bukanlah kali pertama. Lalu, sekali lagi, aku kecolongan, sang pembunuh beraksi lebih dulu sebelum aku sempat mengidentifikasinya, membuat rasa kesal semakin bergumul di dalam batinku.
Wijaya lebih sederhana dariku, dia hanya menggunakan jas hujan murahan berwarna hijau tosca, mengambil beberapa kesaksian dari orang-orang yang berkumpul di sini, sedangkan aku lebih tertarik untuk melihat keadaan mayat. Kucegah petugas-petugas yang hendak mengangkut seonggok daging itu, kemudian aku berjongkok, membiarkan beban tubuhku turun dan berusaha menahan genggaman payungku agar tak jatuh. Satu perbedaan yang pasti didapatkan dari mayat keempat ini, dia basah.
Kutarik bagian atas plastik, mengambil gambaran mengenai jahitan sang pelaku yang sangat kukenal. Rapi, mulus, dengan jarak di antara tusukannya yang seirama, tak terlalu panjang juga tak terlalu pendek. Sekali lagi, jahitannya lebih rapi. Di samping itu, kepala manekin tanpa hiasan mata seolah-olah memperhatikanku, penuh harap dalam tetesan hujan ini.
Aku ingin meminta maaf pada semua korban karena aku tak dapat bekerja dengan cepat. Dalam hati, permintaan maaf itu telah kulontarkan berkali-kali, tetapi aku tak ingin dianggap sebagai orang gila untuk yang lainnya, berbicara dengan mayat. Jadi, tak pernah kuucapkan secara lisan.
Merasa puas, kukembalikan mayat ini pada para petugas yang siap mengantarkannya pada ruang pembedahan kepolisian, mencari tahu penyebab kematian biarpun kurasa tak begitu diperlukan karena aku yakin modus yang dilakukan pastilah sama. Bahkan, kurasa Dokter Dalton pun akan setuju.
Penemuan mayat kali ini lebih ekstrim. Ditemukan tergeletak begitu saja pada sebuah taman, di depan sebuah kampus, ditemukan di pagi hari oleh seseorang yang menghubungi kepolisian secara tiba-tiba. Tentu saja karena tempat penemuannya yang begitu terbuka serta di waktu yang sama untuk beraktivitas, tempat ini langsung ramai, dipenuhi oleh para pedagang serta mahasiswa yang penasaran akan pembunuhan itu. Bahkan, perlu kuteriaki berkali-kali agar mereka tak bergerak terlalu mendekat.
Mayat itu diangkut, dinaikkan ke dalam mobil ambulans dan segera pergi dari lokasi ketika hujan mulai mereda.
Di saat Wijaya masih sibuk untuk mewawancarai orang-orang, aku lebih memilih untuk duduk pada kursi taman—tentu saja yang terlindung dari air hujan. Kutepuk permukaannya, memastikan bahwa celanaku tak akan basah jika duduk di atasnya. Lalu, setelah memastikan semuanya aman, kuambil tindakan itu. Duduk, diam, berpikir dalam-dalam.
"Ahli kimia seperti apa? Apoteker?"
Aku tak pernah bersinggungan sama sekali dengan obat-obatan, bukan keahlianku. Memang, dari berita yang kudengar, obat-obatan seperti itu mudah dijangkau masyarakat—biarpun sebenarnya ilegal. Namun, aku tak tahu harus mencarinya dari mana, apakah aku harus mencari seluruh zat yang berguna sebagai anestesi di kota ini? Tak mungkin, kan? Ada berapa banyak kemungkinan yang bisa diambil? Bahkan, Dokter Dalton pun menertawaiku ketika aku bertanya padanya. Aku harus bisa mengerucutkan jumlah kemungkinan, meminta Dokter Dalton untuk membuat laporan yang lebih spesifik mengenai alat bius yang digunakan. Sialannya, dia berkata sang korban kemungkinan diberikan bius total, tak memberitahuku obat seperti apa yang digunakannya. Mungkin juga obat tidur.
Mengingat sang penculik yang melakukan aksinya dalam satu minggu, berturut-turut, meyakinkanku bahwa dia adalah sang penguntit yang lihai. Brengsek, memang. Setelah melakukan aksinya, dia segera membuntuti perempuan yang lain, mencari tahu aktivitasnya, kemudian berhasil menangkapnya, membunuhnya, memajangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]
Mystery / ThrillerKota Bandung digegerkan dengan penemuan mayat seorang wanita. Tidak hanya itu, tetapi kepala mayat wanita itu diganti oleh sebuah manekin! Roy, sang detektif kasus pembunuhan dipilih untuk menangani kasus itu bersama rekannya, Wijaya. Buku 1 Serial...