22. Between Humanity

6.3K 746 27
                                    


Diriku terkesiap. Mataku langsung terbelalak dan jantungku tak dapat menghentikan percepatan detakan yang terjadi.

Dari balik cahaya yang masuk ke dalam ruangan ini, aku dapat melihat empat buah kepala yang disusun sedemikian rupa, memenuhi tengah-tengah ruangan yang kosong tanpa perabotan apapun. Selain itu, seonggok mayat kaku seolah sengaja diletakkan di tengah-tengah ruangan. Mayat seorang lelaki, menghadap ke atas dengan kedua tangan yang sengaja dilipat, bagaikan hendak dikubur.

Aku ketakutan. Sungguh, demi apapun aku benar-benar ketakutan! Seolah dapat mendengar keempat kepala mayat itu menjerit, mengelilingiku, berteriak padaku karena aku tak sempat menolongnya, membiarkan mereka mati di tangan Raymond tanpa adanya usaha sama sekali untuk mencegah hal itu. Kepala-kepala itu seolah sedang mengelilingiku, bukan mayat lelaki yang tengah berada di ruangan ini. Mulut mereka terbuka lebar, memaksaku untuk bertanggung jawab dengan cara yang mengerikan.

Kukepalkan kedua lenganku, berusaha untuk tegar. Namun, raut wajahku tak dapat menyembunyikan semuanya.

Sekali lagi kucoba untuk menekankan batinku. Mereka telah mati, mereka tak akan dapat menghantuiku, mereka ... hanya orang-orang malang yang menjadi korban kesadisan Raymond.

Selain itu, berulang kali Wijaya mengucap lirih, "Ya ampun!" katanya sambil menutupi mulutnya dengan salah satu bagian lengannya. Aku bersumpah, jika ruangan ini dipenuhi oleh darah-dara korban, berantakan dan berwarna merah kecokelatan di sana-sini akibat darah yang mengering, mungkin dia sudah muntah lebih dulu. Untungnya, tidak seperti itu.

Mayat yang utuh itu—lelaki—tak lain adalah Dokter Ryan. Dari pandanganku yang lebih tinggi, aku masih bisa melihat permukaan wajahnya yang memucat. Putih bersih, bagaikan perawatan yang sengaja dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Ia telanjang—mungkin ditelanjangi—tanpa sehelai benang pun. Kulitnya benar-benar halus dan pucat. Matanya tertutup, tetapi pada dahinya dapat kulihat sesuatu yang terukir, tak begitu jelas hingga akhirnya kuputuskan untuk mendekat.

Aku berjinjit, masih dengan perasaan yang campur aduk. Takut, penasaran, merasa bersalah atas semua kematian tetapi aku tak dapat mengembalikan mereka lagi. Sedangkan Wijaya, masih sama seperti sebelumnya, menutupi mulutnya sambil berucap setiap kali ia melangkah mengikutiku, membuat suara aneh dari balik rongga yang ia buat pada sela-sela jarinya.

Bahkan, setelah beberapa lama, cahaya matahari yang masuk seolah membuat kesan yang lebih baik dari pemandangan ini. Ia menyinari ruangan ini dengan baik, dengan sempurna, membuat kesan estetis yang luar biasa, bagaikan sebuah objek fotografi yang tak ingin kulepaskan dari pandanganku—tentu saja jika bukan menyoroti lima buah mayat ini.

Semakin mendekat, semakin terbayang dalam benakku segala hal yang Raymond lakukan pada orang-orang malang ini.

Beberapa korban ini telah menjadi mayat untuk berbulan-bulan. Namun, dengan kondisi yang sebaik ini, kurasa Raymond mengawetkannya, sengaja melakukannya agar ia dapat meletakkan mereka pada tempat seperti ini, dengan posisi seperti ini. Mayat dokter Ryan yang sengaja diletakkan di tengah ruangan serta kepala mereka—mayat-mayat itu—mengelilinginya, digeletakkan pada ujung-ujungnya, membentuk sebuah persegi panjang jika kutarik garis lurus pada masing-masing kepala yang bersesuaian. Bagaikan sebuah ritual. Ritual pemenggalan kepala.

"Raymond benar-benar gila." Wijaya menggelengkan kepalanya. "Gila dalam konteks yang tak wajar. Maksud saya, ya ampun ...."

"Aku tahu." Aku berjongkok, tepat di samping mayat Dokter Ryan yang kini telah kulavidasi—benar-benar dia. "Aku pun bergerak terlalu pelan. Brengsek, seharusnya aku tahu bahwa itu adalah dia. Seharusnya aku bisa menyelamatkan nyawa laki-laki ini."

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang