8. Dark Room

6.4K 807 43
                                    

Sebuah pembunuhan yang terjadi 35 tahun lalu, menewaskan dua orang dewasa yang berstatus sebagai suami istri serta seorang anak laki-laki yang jasadnya tidak pernah ditemukan. Dokter Ryan termasuk salah satu anak yang beruntung karena sang pembunuh hanya meninggalkannya berlumuran darah kedua orang tuanya. Di umurnya yang masih muda ketika itu, seharusnya ingatannya tak begitu kuat, menimbulkan bayangan samar dalam otaknya. Namun, aku yakin kejadian yang traumatis itu pasti akan diingatnya seumur hidup, membuatnya ketakutan—mungkin marah—sehingga melepaskan emosi yang telah terpendam dari lama. Kemungkinan besar, emosinya itu sedang dalam puncak-puncaknya saat ini.

Sebenarnya, sejauh pengamatanku, Dokter Ryan terlihat seperti dokter biasa pada umumnya. Ia telah menikah, memiliki anak sama sepertiku. Bahkan, melihat rekap pembunuhan yang terjadi 35 tahun lalu itu, kurasa aku seumuran dengannya. Tergolong muda untuk seorang dokter walaupun umurnya hampir menginjak kepala empat.

Akhirnya, semua perasaan itu hilang dalam seketika ketika aku melihatnya sedang berdiam diri pada sebuah halte di Dipati Ukur. Dokter Ryan memakirkan mobilnya, duduk dengan santai di bahu jalan, membuat rencanaku berubah drastis. Di pagi buta seperti ini, tentu tujuanku utama adalah kantor kepolisian, merekap berbagai laporan sebelum di sore hari nanti aku akan membuntuti segala aktivitasnya. Namun, kemunculan laki-laki ini pada tempat yang tidak terduga membuatku berpikir dua kali.

Aku melaju sebentar, melewatinya, kemudian memarkirkan kendaraanku pada tempat yang pas, mematikan mesin mobil dan tidak bergerak sedikitpun. Dokter Ryan yang sedari tadi memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri tampak tak mencurigai keberadaanku. Dia mengisap rokok, mengembuskan napasnya, mengeluarkan asap berbahaya itu dari tubuhnya sebelum akhirnya beberapa hisap menjadi perjalanan akhir bagi sang rokok. Ia menginjak rokok itu, mematikan baranya sebelum kembali mengendarai mobilnya.

Dia bergerak mendekatiku, kemudian melewatiku begitu saja, membuatku kembali menyalakan mesin, mengikutinya dari belakang melalui beberapa persimpangan. Otakku tak henti-hentinya bertanya akan kepentingannya di sini, sedangkan saraf motorikku seolah-olah refleks untuk bergetar, merasa akan mendapati sesuatu.

Dokter Ryan melewati beberapa persimpangan, menuju kawasan Siliwangi yang tak begitu kusukai karena persimpangan jalan yang tak pernah dapat kuhafalkan, walaupun suasana yang dibangun di kawasan ini sangatlah menarik, dengan pepohonan yang rindang memenuhi sisi kanan kiri jalan.

Dokter Ryan berhenti di depan sebuah rumah kosong. Ia keluar, memasuki gerbang yang tak digembok itu, menuju rumah elegan yang mungkin berukuran tiga kali lipat dari rumahku. Halaman yang luas tetapi menggunakan paving block itu dapat membuat siapa saja yang berkunjung ke sana, berlari-lari tak keruan saking luasnya. Rumah dengan gaya Belanda itu memiliki jendela besar yang berada di samping pintu yang tak kalah besar pula.

Sekali lagi aku bertanya, apa yang dia lakukan di sana?

Walaupun begitu, aku tak ingin melepaskannya. Aku menelepon Wijaya, mengambil ponselku dengan sedikit tremor yang tiba-tiba muncul. Namun, anak itu tak mengangkatnya juga. Sialan, di saat seperti ini kenapa dia tak menjawab panggilanku?

Aku menghubunginya berkali-kali, semuanya berakhir pada keadaan sibuk, membuat suara wanita yang telah diatur untuk muncul begitu sebuah panggilan tak diangkat-angkat memekakkan telingaku.

Aku tidak tahu berapa lama Dokter Ryan berada di sana. Jadi, aku mengirim pesan pada Wijaya, memberikan alamat yang jelas, kemudian kuhapus pesan itu, meninggalkan jejak. Seharusnya Wijaya dapat membaca pesan itu jika ia sudah tak sibuk.

Aku segera keluar, berjalan dengan tenang. Dokter Ryan adalah orang biasa—walaupun tidak terlalu biasa begitu juga. Aku menyiapkan sarung pistolku, mendekatkannya pada lengan kananku agar aku dapat mengambilnya dengan mudah.

Detektif Roy : Ritual Pemenggalan Kepala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang