Pelarian

780 19 0
                                    

Legenda Naga Pasir

#LNP 1

Pelarian

Semburat gemintang di langit malam berkilauan. Malu-malu menemani kecantikan bulan sabit yang berbentuk seperti senyuman miring. Desau angin menyibak pepohonan berbatang besar, menggoyangkan atap jerami sebuah pondokan yang terbuat dari kayu.

Di sinilah aku berada. Diletakkan di bawah kolong tempat tidur kayu reyot. Pasangan pemilik rumah sudah terlelap sedari tadi. Mereka kalau tidur ribut sekali, keduanya mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya. Tapi yang paling keras adalah dengkuran Ki Pasir. Getaran energinya sampai membuat badan separuh bayanya menengang.

Beberapa waktu lalu, tuan mengeluarkan tubuhnya yang menindih seharian penuh. Membuat badanku pegal linu. Sebelum pindah di lereng Gunung Lawu ini, Ki Pasir membeliku di sebuah pengrajin kulit. Dia rela merogoh saku dalam-dalam demi menjadikan aku miliknya.

Meskipun capek luar biasa, tapi aku belum bisa terlelap. Dingin lantai tanah ini menjadi penghalang, apakah karena usia yang semakin tua? Tiba-tiba aku teringat pertemuan pertama dengan Ki Pasir di sebuah pasar. Kejadian yang tak akan pernah bisa kulupakan.

"Sandal ini sangat kuat, Kisanak. Tidak akan mudah putus atau jebol karena aku telah memasukkan energi positif dengan cara bertapa di bawah air terjun. Kalau Kisanak tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri." Tuan yang membuatku mulai mengerahkan jurus rayuan maut untuk mendapatkan banyak kepeng.

Dia mengeluarkan sebilah golok besar yang biasa digunakan untuk menyembelih sapi dan menyamak kulit. Benda bergagang kayu jati itu berkilat tertimpa cahaya matahari, memantul menyilaukan mata Ki Pasir.

"Silakan diiris sandal ini, sekuat apa pun Kisanak berusaha, alas kaki ini tidak akan putus."

Dengan ragu, Ki Pasir memegang golok. Lelaki yang memakai baju berbahan halus itu mengarahkan ujung lancip pada tubuhku. Aku sangat takut ketika besi yang bisa memotong tulang sapi menyentuh badanku.

Dia mulai mengirisku.

Aku bersiap menerima rasa sakit yang akan bersarang pada permukaanku. Rasa yang dulu pernah menjadi teman setia ketika tuan membentuk tubuhku sesuai keingiannya.

Ki Pasir segera menggerakkan golok maju mundur di atas tubuhku berulang-ulang. Sampai beberapa lama, rasa sakit itu tak kunjung datang. Hanya sedikit geli yang menggelitik. Rupanya ketajaman golok tidak bisa menyakitiku. Badan ini tetap utuh, bahkan warna kecoklatan pun tak sedikit pun terkelupas. Aku sungguh ajaib.

Lelaki tinggi tegap itu memandang dengan manik hitam yang berbinar. Bisa kupastikan, dia sudah jatuh cinta padaku.

"Ha ... ha ... ha ..., kau sudah percaya, Kisanak? Sampai puluhan tahun, sandal ini tidak akan pernah rusak." Kali ini, tuan berhasil membujuk Ki Pasir untuk membeliku dengan harga luar biasa mahal.

Tuan terbahak, dia menggenggam erat-erat bungkusan kantung uang kepeng yang telah berpindah tangan. Ki Pasir mengelusku, jemarinya terasa kasar.

Kukira Ki Pasir akan langsung memakaiku, tetapi dia malah memasukkan ke dalam buntalan yang diikatkan ke atas punggung kuda. Berjejalan dengan beberapa pasang baju. Namun aku berhasil mengeluarkan sebagian kecil tubuh untuk melihat situasi yang akan membawa ke goresan takdir berikutnya.

Sekilas, kulihat ada seorang wanita berambut legam sepinggul berdiri dengan gusar tak jauh dari tempat kuda ditambatkan.

"Ayo segera berangkat, Kakang. Aku khawatir pasukan kerajaan Pengging dan Mataram yang jahat akan berhasil menemukan kita." Suara perempuan bergetar, namun tak mampu menyembunyikan keindahan nadanya, merdu sekali.

"Iya, Diajeng. Aku akan.membawamu di sebuah tempat yang aman. Jauh dari konflik dua kerajaan yang berebut kekuasaan. Tapi, perjalanan kita masih sangat jauh. Membutukan waktu berbulan-bulan."

"Tidak apa-apa, Kakang. Padahal, kehidupan kita sudah nyaman. Pekerjaanmu sebagai pujangga kerajaan telah memberikan kemuliaan. Tapi harus hancur karena pertikaian, semua pujangga dibabat habis. Mereka menganggap sebuah syair bisa menyesatkan. Aku tidak mau kehidupan seperti itu, Kakang."

Ki Pasir menghapus buliran bening yang jatuh di pipi halus istrinya, ia meremas bahu wanita berkulit bersih itu, memberi suntikan semangat.

"Naiklah, Diajeng. Kita akan segera melanjutkan perjalanan."

Lelaki berambut sebahu dengan ikat kepala warna hitam itu membantu istrinya naik ke atas pelana kuda. Lalu ia menarik tali yang menembus hidung binatang pelari handal ini, kemudian berjalan perlahan meninggalan rumah bekas tuanku.

Rupanya mereka berdua adalah pelarian. Aku berharap pasangan itu bisa menemukan tempat yang aman, dengan begitu aku juga akan ikut selamat. Terkadang, aku heran dengan watak manusia yang sangat serakah. Mereka ingin lebih dan lebih lagi. Tak segan mengorbankan harta dan nyawa untuk memuaskan hawa napsu.

***

Selama perjalanan, aku melihat tuanku yang baru sangat mencintai istrinya. Dia rela berjalan menembus perkampungan, menyeberangi sungai dan melewati hutan belantara dengan berjalan kaki. Menuntun kuda yang membawa tubuh wanita molek itu terguncang pelan.

"Kakang, aku lelah." Nyi Pasir mulai mengeluh.

Langit mulai merona jingga, sebuah isyarat bahwa sang pemilik cahaya harus kembali ke peraduannya.

Rombongan kecil itu berhenti di pinggir sungai lebar yang berair jernih. Bebatuan besar berserakan menantang arus, berdiri menantang. Dengan seluruh permukaan legam mengkilat, mereka sangat kuat dan tangguh.

"Iya, Diajeng. Kamu tunggu di sini dulu, aku akan mencari beberapa ekor ikan untuk makan malam. Kita sudah sampai di Sungai Brantas. Perjalanan kita sudah dekat."

Nyi Pasir menganggukkan kepala. Sigap ia turun dari punggung kuda, lalu mengikatnya pada sebuah pohon. Kuda jantan itu segera memakan rerumputan liar yang tumbuh subur. Wanita berbadan semampai itu meletakkan caping yang melindungi kepalanya dari sengatan matahari. Ia berjongkok di tepi sungai dangkal dan meminum air yang diambil langsung.

"Segar sekali, Kakang!" Suaranya bersahutan dengan derasnya aliran.

Ia kemudian mencuci muka dan duduk di atas bebatuan, memerhatikan suaminya yang berburu ikan dengan tangan kosong. Ternyata, lelaki bercambang lebat itu sangat terampil. Sebentar kemudian, seekor ikan yang cukup besar berhasil ditangkap. Ia melemparkan binatang bersisik itu di pinggir sungai. 

Nyi Pasir mengambil batu, ia mendekati ikan yang masih menggelepar dan memukul kepalanya dengan teriakan tertahan. Beberapa kali ia menghujamkan batu hitam itu sampai ikan lemas dan meregang nyawa. Beberapa ekor dilemparkan lagi oleh Ki Pasir, sepertinya malam ini mereka akan makan besar.

"Sepertinya ini cukup, Kakang!"

"Iya! kamu bersihkan ikan-ikannya, ya. Aku akan mencari kayu bakar."

Kedua pasangan itu mengerjakan tugasnya masing-masing dengan bersemangat. Mereka tidak tahu kalau tak jauh dari tempat kuda tertambat, dua mata sedang memerhatikan dengan tatapan liar. Aku bergidik, ingin kuteriak  pada mereka agar waspada. Tetapi apa daya, aku hanya sebuah sandal bisu yang tak bisa melakukan apa-apa.

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang