Peringatan

243 15 0
                                    

Legenda Naga Pasir

#LNJ 9

Peringatan

Hamparan pohon jagung terbentang luas. Batang kurus setinggi satu meter lebih itu menyembulkan buah jagung gemuk berbalut kulit kehijauan dengan sedikit surai seperti rambut menyala pada ujungnya.

Jaka sudah memetik banyak. Di tepi ladang, nampak dua gundukan besar jagung lengkap dengan kulitnya. Pemuda itu memilah berdasarkan ukuran. Yang besar di sebelah kanan dan yang kecil di kiri. Persis seperti cara Ki Pasir mengajarinya dulu.

Ki Pasir menuju pepohonan jagung dan mulai memetik. Ada kebahagiaan terpancar ketika terdengar suara bonggol yang patah. Ki Pasir sangat menyayangi ladang-ladangnya. Setiap hari dia mencabut rumput pengganggu dan berbicara kepada tanaman-tanaman itu. Bila ada penduduk tahu, bisa disangka Ki Pasir kurang waras. Namun usahanya berbuah manis, semua tanaman yang ditanam Ki Pasir tumbuh subur dan menghasilkan buah yang besar-besar.

Ki Sapta dan Ki Setu datang tak lama kemudian. Mereka bergabung bersama Ki Pasir dan anaknya. Dengan tenaga empat lelaki dewasa, panen jagung cepat selesai. Mereka mengangkutnya menggunakan gerobak kayu yang sudah disiapkan Jaka.

Mentari mulai meninggi ketika Ki Sapta dan Ki Setu pamit pulang. Masing-masing membawa dua buntalan besar. Mereka bebas memilih jagung yang akan dibawa pulang.

"Terima kasih, Ki Pasir. Tiga purnama lagi, kami akan ke sini membantu panen." Ki Setu menghaturkan sembah penghormatan.

"Hati-hati di jalan. Sebaiknya kalian jangan ke sini lagi, aku dan Nyi Pasir berencana untuk bertapa."

Kedua lelaki desa itu saling berpandangan. Mereka mengendikkan bahu tanda tak mengerti.

"Baiklah kalau begitu, kami pamit dulu, Ki."

Ki Pasir menatap kepergian mereka dengan tatapan sedih. Dia pasti akan merindukan para lelaki itu. Setiap kali ada yang datang, Ki Pasir terlihat sangat gembira. Sementara itu, Nyi Pasir melihat punggung suaminya yang lunglai dari dalam rumah.

Terkadang, keegoisan manusia menyebabkan mereka kesepian. Apa susahnya memberi ijin untuk membangun peradaban di tempat sunyi ini. Tapi bila itu sudah menjadi prinsip, siapa yang bisa mendobraknya? Kasihan betul Ki Pasir dan istrinya ini. Hidup menyendiri dalam lereng yang dilingkupi hutan belantara.

Jaka menghampiri ayahnya. Sekarang dia sudah bisa menjadi penawar duka lelaki setengah baya itu. Jaka menepuk bahu Ki Pasir, mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah.

Mereka hendak bergerak ketika dari kejauhan terdengar auman singa dan  harimau bersahutan. Pasti itu binatang penunggu hutan di atas gunung. Kenapa suara mereka sampai terdengar di sini. Padahal bukan wilayah kekuasaannya.

"Celaka, ayah. Sepertinya ramalan itu sudah mulai terjadi. Aku khawatir dengan keselamatan kedua orang penduduk desa itu. Para raja hutan itu sepertinya hendak turun gunung. Apa yang harus aku lakukan, Ayah?" Jaka meremas jemarinya.

Aku yakin dia sudah tahu harus berbuat apa. Namun dia menghormati keputusan ayah angkatnya.

"Sebaiknya kamu lekas susul mereka. Kawallah hingga sampai di desa, Jaka. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja."

"Baiklah ayah, aku berangkat sekarang. Setelah semua selesai aku akan segera kembali." Jaka menghormat takzim dan berlari cepat menyusul kedua penduduk desa.

Angin bertiup kencang, membuat pepohonan meliuk-liuk hebat. Sinar mentari perlahan bersembunyi di balik awan hitam. Kabut putih tebal berangsur turun dari puncak gunung. Sejenak, kurasakan tubuh Ki Pasir menengang. Otot kakinya mendadak kaku.

"Kakang! Masuklah. Sepertinya akan turun hujan!" teriak Nyi Pasir parau.

Rambut wanita itu berantakkan tertiup angin. Dia meletakkan kedua tangn di depan mulutnya dan berteriak kencang-kencang sekali lagi karena Ki Pasir tak menanggapi ajakannya.

"Kakang! Masuk! Kalau tidak, aku yang akan turun menjemputmu!"

Barulah Ki Pasir tersadar. Dia menaiki rumah panggungnya tergesa.  Mereka berdua masuk ke dalam dan menutup pintu rapat-rapat. Entah apa yang terjadi di luar.

Ki Pasir segera duduk bersila di atas tikar. Mulutnya komat-kamit membaca mantra perlindungan. Begitupun dengan Nyi Pasir, dia duduk bersimpuh di dekat suaminya sambil meremas jarik yang membalut tubuh.

Hawa berubah menjadi dingin, kabut melesak masuk melewati celah-celah rumah. Di luar desau angin bertambah liar, terdengar seperti peluit yang ditiup. Nyi Pasir memeluk lengannya. Mata wanita itu nyalang, dia sangat ketakutan.

Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, lingkungan rumah Ki Pasir akan aman dari bahaya apapun, namun kali ini, sepertinya penunggu gunung sedang menunjukkan kekuatannya. Bahkan mantra yang didengungkan Ki Pasir tak mampu menghentikan suasana mencekam.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras, setelah itu angin berhenti bertiup dan Ki Pasir tersungkur dari tempat duduknya.

Nyi Pasir menjerit, ia meraih tubuh suaminya yang basah oleh keringat. Wanita itu menangis di dada Ki Pasir. Membasahinya dengan air mata.Perlahan, tangan lelaki itu membelai rambut istrinya. Gemetar.

"Aku lelah sekali, Diajeng. Biarkan aku tidur sebentar."

Nyi Pasir membantu Ki Pasir berbaring terlentang. Ia meletakkan jemari pada dada suaminya dan mulai menidurkan orang yang sangat dicintainya itu. Menepuk-nepuk pelan hingga kesadaran lelaki perkasa itu hilang.

"Kenapa kau keras kepala, Kakang? Ini adalah peringatan Sang Maha Tunggal atas kekakuan hatimu. Pihanmu hanya ada dua, pindah dari sini atau membuka desa untuk para penduduk. Kalau tidak, nyawa kita taruhannya." lirih Nyi Pasir bergetar.

Dia beranjak dan membuka jendela kayu kecil di sisi kanan bangunan. Wanita itu menarik napas panjang, matanya menerawang jauh. Melihat hasil kekacauan yang baru saja terjadi.

"Ladang kita rusak parah Kakang, pepohonan banyak yang ambruk. Butuh waktu banyak untuk menyelesaikan semua ini. Semoga Jaka lekas datang supaya bisa membantu." ucap Nyi Pasir kepada dirinya sendiri.

Lama ia berdiri mematung di depan jendela. Kaca-kaca memenuhi mata teduhnya. Bulir sebening kristal meluncur turun. Bahu ramping itu terguncang-guncang menahan jerit tangis yang hendak terlontar.

Wanita itu sangat taat kepada suaminya. Apapun keputusan Ki Pasir, meski pun tidak masuk akal, akan ia junjung tinggi. Sungguh beruntung tuanku mendapatkan pasangan sepertinya.

Sementara di luar sana, banyak istri yang membangkang perkataan pasangannya. Kurang bersyukur dan menginginkan sesuatu yang tak sanggup diberikan suaminya. Meskipun banyak juga para lelaki tak bertanggungjawab tega menelantarkan anak istrinya.

***

"Kau percaya padaku, Diajeng?" tanya Ki Pasir sembari membaringkan tubuh penatnya di atas ranjang.

Sore tadi, setelah tenaganya pulih, ia bersama Nyi Pasir mengambil beberapa ubi dan ketela pohon yang tercerabut angin. Mereka merebus dan membakarnya untuk berjaga-jaga apabila Jaka datang secara tiba-tiba.

"Tentu saja, Kakang. Apakah sekarang kau meragukanku?" Nyi Pasir memijit betis suaminya lembut. "Bila tidak percaya, sudah dari dulu aku melarikan diri dari jerat cintamu."

Ki Pasir terkekeh, "Diajeng, wanita yang paling mulia di jagad ini. Anggrek liar pun akan layu bila memandang kecantikanmu."

Nyi Pasir tersipu mendengar pujian kekasihnya.

Begitulah mereka, saling menghibur dalam setiap kesadaan. Nyi Pasir memeluk tubuh suaminya. Mereka terbuai ke alam mimpi bersama. Seperti terkena sirep, kedua suami istri itu tertidur lelap sampai pagi.

Mereka tidak terbangun ketika suara berbagai binatang liar terdengar bersahutan dan sangat berisik dari luar. Tepat di bawah rumah panggung ini.

***

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang