Anak Angkat

310 18 3
                                    

Legenda Naga Pasir

#LNP 3

Anak Angkat

Aku mengintip gubuk reot tak layak huni dari balik buntalan. Benar-benar parah sampai membuat diri ini ingin berteriak. Manusia macam apa yang tega mengusir seorang bocah dari tanah kelahirannya sendiri. Mana hati nurani makhluk yang konon sangat mulia itu? Apakah mereka lupa bahwa sakit, hidup dan mati sudah ada yang mengatur? Mengapa semudah itu meletakkan kesalahan kepada bahu ringkih kecil itu?

Sekarang aku tahu satu lagi sifat buruk manusia, mereka suka mencari-cari kesalahan sesamanya.

Jaka tersenyum ramah pada kedua tamunya. Dengan bangga, ia menunjuk rumah beratap jerami kering yang hanya berjarak beberapa meter.

"Itu tempat tinggalku, ayo!" Bocah itu berlari tidak sabar. "Ayo masuk, kalian boleh istirahat di sini." Jaka membuka pintu, mendorongnya perlahan.

Ki Pasir mengikat kuda di bawah pohon samping rumah. Ia membawa buntalan dan mengikuti istrinya yang sudah masuk terlebih dahulu. Lelaki itu harus menunduk ketika melewati pintu yang  hampir copot. Lalu ia meletakkan buntalan tempatku berada pada sebuah tikar pandan yang berlubang di sana-sini.

Sebenarnya bangunan bobrok ini tak layak disebut rumah, lebih cocok kalau dinamakan kandang. Tidak ada jendela tempat keluar masuk udara segar, hanya kotak berukuran 3 x 4 meter dengan lantai tanah beralas tikar.

Ki Pasir duduk di sebelah Jaka, dia tersenyum lembut. Tangannya menyentuh bahu istrinya yang menegang. Sepertinya Nyi Pasir masih tercengang. Ia menenangkan hati wanita di sampingnya itu dengan tepukan lembut.

"Kamu anak yang hebat, Jaka. Bagaimana caramu bertahan hidup?"

Jaka menggaruk belakang telinganya, "Aku setiap hari mencari buah-buahan di hutan, berburu ikan dan kelinci untuk dimakan. Kadang ada pencari kayu bakar yang baik hati memberikan bekal yang dibawanya."

"Kamu tidak marah pada penduduk desa yang mengusirmu, Jaka?" Nyi Pasir menyahut, dia menatap lekat wajah polos yang berada di samping suaminya.

"Buat apa marah, tinggal di sini lebih enak. Tidak ada yang mengejek dan mengatakan aku pembawa sial." Jawaban Jaka membungkam suasana. Membuat desau angin terdengar jelas, berembus ke dalam, menghantarkan gigil.

Matahari hampir tenggelam sempurna, kegelapan mulai mengintai. Ruangan mungil itu nampak menghitam tanpa cahaya.

"Gelap dan dingin. Aku akan membuat perapian kecil di depan pintu supaya hangat, kamu membantu, Jaka?" ucap Ki Pasir pelan.

"Tentu saja. Aku punya persediaan kayu kering di belakang rumah."

Jaka beranjak, dia keluar dari pintu bersama Ki Pasir. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan selanjutnya. Dari balik kain ini, aku melihat Nyi Pasir menyeka ujung mata dengan punggung tangan. Ia sepertinya menangis. Bahunya naik turun bergetar. Isakan tertahan menyayat hati.

Tak lama kemudian, api sudah menyala. Lidah api sedikt membantu mengusir dingin. Aku ditinggal sendiri di atas tikar sobek ini. Nyi Pasir baru saja bergabung bersama mereka. Dari sini, kulihat mereka sedang menghangatkan badan di dekat api. Ki Pasir bahkan mengusap kepala Jaka berkali-kali. Sesekali terdengar gelak tawa. Entah lelucon apa yang sedang dibicarakan.

Ketika sudah larut, mereka masuk rumah dan berbaring di atas tikar. Nyi Pasir suka menggunakan buntalan untuk alas kepala. Mungkin badanku terlalu keras, dia selalu mengeluarkanku dan menaruh di atas kepalanya. Sementara Ki Pasir lebih suka menggunakan tangannya untuk bantal.

"Terima kasih Ki Pasir, Nyi Pasir. Kalian mau menginap di sini menemaniku. Kelak, jangan lupakan aku. Aku hanya bisa berdoa agar  kalian berhasil ke tempat tujuan." Jaka mengubah posisi tidurnya yang terlentang, bocah itu meringkuk menghadap Ki Pasir yang berada di tengah.

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang