Legenda Naga Pasir
#LNP 10
Bencana
Sampai cahaya matahari menembus dinding kayu, pasangan itu belum ada yang terbangun. Sekali-kali terdengar Nyi Pasir merintih. Mimpi apa dia sampai terdengar sangat menyayat hati. Lega rasanya karena hari sudah berganti. Kejadian kemarin benar-benar membuat kaget.
"Aah, ternyata sudah pagi." Ki Pasir menguap lebar dan meregangkan otot-ototnya.
Ia melihat istrinya masih terpejam. Tak tega membangunkan, Ki Pasir kemudian menjejalkan kakinya pada tubuhku. Dia mengendap membuka pintu, keluar melihat keadaan. Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati seluruh lingkungan luar rumah sudah porak poranda.
Ki Pasir berlari menuruni tangga menuju dapur. Seluruh persediaan makanan telah habis terjarah. Ceceran jagung, ketela, buah-buahan, bahkan tanaman yang akan dijadikan ramuan berserakan. Bekas gigitan nampak pada ceceran itu.
"Binatang liar telah berani menjarah, apakah mimpi itu akan menjadi nyata?" guman Ki Pasir sambil beranjak menuju ladang.
Keadaan tidak jauh berbeda. Tanaman yang dirawat sepenuh hati rusak semua. Tercerabut sampai akar-akarnya. Ki Pasir menarik napas. Berjongkok memungut pohon ketela yang tercabik.
"Aku harus berterus terang pada istriku. Dengan begitu, beban di hatiku akan sedikit berkurang. Aku sudah tak sanggup menahannya sendirian," lirihnya.
Lelaki itu kembali ke dalam rumah. Matanya seolah hendak keluar dari kelopaknya ketika melihat Nyi Pasir masih terbaring sambil menggigil, merintih kesakitan.
"Diajeng. Badanmu panas sekali! Apa yang terjadi denganmu?" Tangan Ki Pasir menyentuh wajah pucat istrinya. Napas lelaki itu memburu. Matanya nyalang mencari-cari sesuatu di dalam kamar.
Ia mengambil secarik kain dari atas ranjang dan menuangkan air kendi di atasnya. Lalu di kompreskan di dahi Nyi Pasir.
"Bertahanlah, Diajeng. Kamu pasti segera sembuh. Aku akan membuatkan ramuan untukmu. Tunggu sebentar, ya." Ki Pasir mengecup pipi wanita itu.
Nyi Pasir meraih jemari suaminya, tangannya gemetar menahan sakit.
"Temani aku di sini, Kakang. Sebentar lagi pasti enakan. Jangan tinggalkan aku." Nyi Pasir menggeleng pelan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencegah suaminya pergi.
"Kalau begitu aku akan mengompresmu sampai demamnya turun." Ki Pasir kembali duduk, memijit pelipis istrinya perlahan.
Dengan telaten, lelaki itu merawat istrinya yang tergeletak lemah. Nyi Pasir wanita yang sangat kuat, jarang sekali sakit. Dia wanita yang tangguh dan kebal penyakit. Puluhan tahun aku menemani mereka, cuma beberapa kali saja Nyi Pasir sakit. Itupun hanya berupa flu dan batuk ringan.
"Bila mampu, akan kupindahkan semua rasa sakit itu pada diriku, Diajeng. Melihatmu tak berdaya seperti ini menghancurkan semestaku. Lekaslah sembuh, kumohon." Ki Pasir berdoa penuh harap.
"Jaka ... Jaka ... di mana kamu, Nak?" Nyi Pasir mulai meracau, mungkin karena suhu badannya yang terlalu tinggi.
"Dia masih dalam perjalanan pulang, Diajeng."
"Jangan tinggalkan Simbok, Jaka."
"Tidak, Diajeng. Dia akan menemanimu setelah sampai rumah."
"Kakang! Jaka ...." Nyi Pasir merintih pilu.
Kondisi Nyi Pasir sangat memprihatinkan. Wanita baik hati itu terbaring lemah. Kepalanya menggeleng ke kanan da kiri menahan sakit. Tangannya menggapai udara, memanggil suami dan anaknya. Ki Pasir meraih jemari itu, meletakkan di dadanya. Air mengalir dari sudut mata lelaki itu, membasahi pipi yang mulai keriput.
***
Selama dua hari, Ki Pasir mendampingi istrinya. Dia hanya keluar sebentar untuk buang hajat dan mengambil air. Mereka makan makanan seadanya yang masih ada di dalam rumah. Nyi Pasir benar-benar tak mau ditinggal sendiri. Ia akan meraung-raung ketika terbangun tidak mendapati suami di sisinya.
Pada pagi hari ke tiga, Nyi Pasir membuka mata dengan senyum merekah.
"Demamku sudah menghilang, Kakang," ujarnya lembut, menyentuhkan tangan suaminya pada pipi yang mulai segar.
Ki Pasir yang duduk terkantuk-kantuk melonjak gembira. Ia memeluk Nyi Pasir, membelai punggung ringkih itu lembut.
"Syukurlah, Diajeng. Aah, aku senang sekali. Kamu sudah beberapa hari hanya makan sedikit. Persediaan kita sudah habis. Bolehkan aku pergi keluar sebentar mencari apapun yang bisa dimakan?" Ki Pasir menatap istrinya penuh harap.
"Pergilah, Kakang. Perutku juga lapar. Sepertinya aku bisa makan banyak hari ini." Nyi Pasir melepaskan pelukannya. Ia membingkai wajah suaminya yang nampak tirus dengan kedua telapak tangan.
"Hati-hati, Kakang. Jangan khawatirkan apapun, kita mulai segalanya sekali lagi. Dari awal, seperti dulu."
Mereka berpelukan sekali lagi. Sangat erat seperti akan berpisah selamanya. Nyi Pasir melepaskan kepergian cahaya hatinya dengan air mata berderai.
***
Teriakan elang menemani jejak Ki Pasir yang menyisir tempat yang dulunya adalah kebun. Sepanjang jalan, pepohonan banyak yang tumbang. Semua ladang miliknya sudah rusak parah dan tidak ada lagi yang bisa di pungut. Bahkan buah-buahan liar tak satu pun tampak. Ludes semua dimakan para binatang.
Tak terasa, Ki Pasir sudah merambah ke dalam hutan. Ia memeriksa tempat jamur biasa tumbuh. Dia membalik kayu-kayu kering lapuk tempat hidup tumbuhan itu. Aneh sekali, satu batang jamuroun tak nampak.
Ki Pasir meneruskan pencarian sampai akhirnya dia tiba di sebuah tempat. Aku ingat tempat itu. Tempat yang tidak boleh didekati oleh seorangpun, kata Jaka waktu itu sambil menyeret Ki Pasir agar menjauh.
Mata Ki Pasir berkilat senang, rupanya dia melihat sesuatu di bawah pohon beringin besar yang akarnya menjuntai sampai tanah.
"Telur! Aku menemukan telur!" teriaknya girang.
Lelaki berbaju hitam itu berlari mendekati pohon yang terkenal angker. Tempat bersarangnya makhluk dunia lain.
Dua butir telur berwarna putih berukuran lima kali lipat telur ayam berkilat tertimpa cahaya matahari siang yang menerobos lewat celah daun. Ki Pasir berlutut, dia tertawa senang menyentuh benda bulat itu satu persatu. Sangat berhati-hati.
Ia mengangkat sebuah telur dengan kedua tangannya. Mencium cangkang seputih susu itu dengan sepenuh hati.
"Akhirnya aku menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Satu telur ini bisa membuat kenyang seharian. Aku akan memendam yang sebutir lagi, supaya tidak dimakan binatang liar. Besok akan kuambil kembali."
Ia mencabut belati kecil dari pinggang. Ki Pasir menggali tanah di bawah pohon. Akar-akar beringin yang menghujam tanah sulit di tembus besi tipis itu. Ki Pasir kembali mencari tanah yang agak lunak, kemudian dia menggali lagi untuk menyembunyikan telur temuannya.
Lubang sedalam sepuluh senti meter sudah jadi, Ki Pasir mengubur satu butir telur. Lalu menimbun dengan dedaunan kering. Ia Kemudian membersihkan belati dan tangannya yang kotor dengan mengusapkan ke celana.
Ki Pasir mengambil kain penutup kepala, membukanya di atas tanah dan meletakkan sebutir dengan hati-hati di atas kain lebar itu. Ia mengikatnya pelan-pelan, lalu menentengnya dengan tangan kanan.
Ki Pasir berbalik menuju rumah. Aku merasa ada sesuatu yang mengerikan melotot dari dalam sulur-sulur akar beringin yang gelap. Sepertinya Ki Pasir tidak merasakan keanehan. Dia bahkan bersenandung pelan ketika berjalan pulang.
Telur apa itu sebenarnya? Kenapa ukurannya tak biasa? Apakah Ki Pasir tidak curiga? Ke mana kepekaan batin tuanku yang biasanya waspada dengan sedikit saja keanehan? Ingin aku berteriak mengingatkan. Namun lagi-lagi, apalah daya. Sendal yang mulai memudar warnanya ini hanya bisa mengikuti jalan takdir.
Takdir yang akan memporak-porandakan kehidupan bahagia suami istri itu.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Naga Pasir (End)
FantasyKisah sepasang suami istri yang lari dari kejaran pasukan kerajaan. Mereka menuju ke lereng Gunung Lawu seperti wangsit mimpi Ki Pasir. Apakah mereka berhasil? Halangan apa saja yang akan menghiasi perjalanan?