Ramalan

257 17 0
                                    

Legenda Naga Pasir

#LNP 8

Ramalan

Peluh membasahi baju, mengguratkan noda-noda gelap melekat. Telinga Ki Pasir bergerak sedikit ketika mendengar berita yang terucap dari mulut anak angkatnya. Lekat mata tua itu menatap tajam sosok tampan di sebelahnya.

Seekor rusa yang minum air di seberang sungai tiba-tiba terbirit ketakutan menuju hutan. Ia seolah merasakan hawa yang mencekam.

"Apa maksudnya, Jaka? Siapa gurumu itu hingga berani-beraninya meramalkan nasibku. Hah!!" Ki Pasir terlihat murka, ia berdiri sambil berkacak pinggang. Wajahnya memerah.

Aku jarang melihatnya semarah itu.

Kenapa dia begitu terganggu dengan perkataan Jaka? Bukankah seharusnya Ki Pasir berterima kasih telah diingatkan tentang hal yang akan terjadi. Kenapa sekarang sifatnya menjadi keras kepala? Aah, aku tidak rela melihat mereka bersitegang. Ayah dan anak itu saling waspada.

"Bilang pada gurumu itu, apapun yang terjadi di sini adalah tanggung jawabku. Akulah Ki Pasir, orang yang sudah puluhan tahun menjadi penjaga gunung. Dan tidak akan kubiarkan sesuatu yang buruk terjadi, kau dengar itu, Jaka!" Suara Ki Pasir masih menggelegar.

Jaka menunduk, dia tersenyum kecut. Entah apa yang ada di benak pemuda itu.

"Maaf, Romo kalau aku membuatmu murka. Aku janji tidak akan membahas itu lagi."

"Ketahuilah anakku, takdir kita itu sudah ada yang mengatur dan tidak bisa diubah seenaknya. Manusia hanya menjalani nasipnya. Begitu juga denganku. Simbokmu dan aku berada di sini karena menjalankan takdir yang telah ditetapkan Sang Pencipta. Apabila dikemudian hari memang terjadi sesuatu, itu juga tak bisa kami hindari."

"Aku mengerti, Romo."

"Jadi, di depan simbokmu jangan pernah mengungkit-ungkit hal ini lagi. Dia bisa khawatir, Le." Ki Pasir mulai tenang, nada suaranya kembali lembut. Namun masih ada kejengkelan, terlihat dari gestur tubuhnya yang bergerak-gerak gelisah.

"Inggih, Romo. Aku janji."

Ki Pasir melesakkan kakinya pada tubuhku dengan agak kasar. Ia berjalan cepat tanpa menoleh kebelakang. Jaka mengikuti tanpa suara, sorot matanya terlihat menyesal. Setibanya di ladang jagung, Ki Pasir tiba-tiba berhenti.

"Jaka, kau petik jagung beberapa jagung untuk makan. Sepertinya enak, perutku lapar sekali setelah perjalanan tadi." Ki Pasir melanjutkan berjalan, meninggalkan anaknya sendirian.

Jaka tersenyum lebar, ia tahu romonya sudah tidak marah lagi. Pemuda itu segera masuk ke dalam ladang memilih beberapa jagung yang gemuk besar buahnya.

Kali ini, langkah Ki Pasir mulai pelan. Tanah lembab di bawah menempel dan lengket di tubuhku. Lelaki itu mengambil napas panjang dan berguman sendiri.

"Mimpi aneh itu datang lagi. Aku melihat sepasang bola mata merah menatapku penuh amarah. Entah makhluk apa itu. Tidak mungkin kuceritakan mimpi itu kepada Diajeng.  Nanti dia bisa khawatir. Aku harus menanggungnya sendiri."

Lunglai Ki Pasir menunju belakang rumah panggung. Nyi Pasir tersenyum menyambut suaminya yang baru datang. Ia menolong menurunkan keranjang dari gendongan.

"Jaka mana, Kakang?"

"Dia masih mengambil beberapa jagung, Diajeng. Sepertinya ladang jagung itu juga siap panen. Bagaimana kalau kita berikan beberapa buah sebagai hadiah untuk guru Jaka?"

"Ide yang bagus, Kakang. Besok kita panen ya. Gurunya pasti akan senang. Aku juga akan membuat ramuan pesanan putri itu. Semoga mereka berjodoh ya, Kakang. Jaka memang sudah saatnya mempunyai istri."

"iya, Diajeng." Ki Pasir merebahkan tubuhnya pada balai-balai setelah minum beberapa teguk air dari kendi.

Dengan tatapan lembut, ia melihat kesibukan istrinya memilah hasil pencariannya. Wanita itu memekik senang ketika mendapati jamur kuping di genggaman.

Dengkur halus keluar dari mulut Ki Pasir. Rupanya dia sudah tertidur pulas. Nyi Pasir tersenyum melihat suaminya. Ia mendekati lelaki itu dan membelai rambutnya yang masih basah oleh keringat.

"Istirahatlah, Kakang. Aku tahu tiap malam kamu tak bisa lelap. Entah bermimpi apa sampai-sampai kau rahasiakan dariku. Padahal selama ini kita selalu berbagi rahasia. Tapi aku yakin, semua ini pasti yang terbaik bagi kita. Ya kan, Kakang?" bisik Nyi Pasir lembut.

Wanita itu menoleh, suara langkah kaki mengalihkan perhatiannya.

Jaka sudah datang, dia berdiri terpaku di tengah pintu. Lelaki itu mengusap air yang meleleh dari sudut mata. Mungkin Jaka sudah mendengar bikisan Nyi Pasir. Wajahnya terlihat pucat dan sedih.

Aku semakin penasaran, sebenarnya apa yang akan terjadi.

"Simbok, ini jagung pesanan Romo. Aku akan merebusnya. Romo suka sekali makan jagung rebus."

"Iya, Jaka. Aku akan menyiapkan sup jamur dulu. Lalu membuat ramuan. Kita akan makan lezat hari ini."

Mereka menekuni pekerjaan masing-masing tanpa suara. Hanya terdengar desisan api melahap kayu bakar dari dalam tungku.

***

Ki Pasir punya banyak kelebihan, salah satunya dia selalu menanam khusus untuk binatang liar di tempat yang agak jauh dari ladang. Ketika ladang panen, para binatang itu tidak ada yang mengganggu. Hasilnya sungguh memuaskan. Tak jarang ada penduduk desa yang sengaja datang. Mereka barter hasil ladang Ki Pasir dengan pakaian, perlengkapan rumah tangga dan segala barang yang bisa ditukarkan. Ki Pasir tak pernah menolak.

Pagi itu, Jaka sudah bersiap untuk memetik jagung ketika dari kejauhan terlihat dua orang penduduk desa. Ia baru saja turun dari tangga rumah panggung. Butuh setengah hari berjalan kaki dari desa terdekat untuk sampai ke sini. Mereka pasti menginap di alam terbuka. Hal yang sudah biasa terjadi pada masa ini.

"Pasti ini Jaka yang selalu diceritakan Ki Pasir." sapa seorang lelaki berperawakan kurus yang membawa buntalan besar di punggungnya.

Ki Pasir datang dan menyalami mereka berdua. Tawa mereka pecah.

"Ki Sapta dan Ki Setu. Kebetulan sekali, aku mau memanen jagung hari ini. Ayo silakan istirahat dulu di tempat biasanya. Pasti kalian lelah setelah berjalan jauh." Ki Pasir mengajak kedua penduduk yang sering mengunjunginya itu menuju dapur.

Di atas balai, sudah tersedia kendi air dan ubi goreng yang masih mengepulkan asap.

"Nanti kalau sudah hilang capeknya, langsung saja menuju ladang jagung."

"Iya, Ki." sahut mereka sambil meletakkan barang bawaan yang kemungkinan akan dibarterkan dengan hasil ladang.

Ki Pasir mengambil golok, karung dan perlengkapan panen. Tak lupa ia membawa kantung kulit berisi air minum. Dengan bersiul, lelaki itu melangkah menuju ladangnya. Ditemani suara burung dan jeritan kera-kera liar di kejauhan.

Wajah Ki Pasir selalu sumringah ketika ada penduduk yang datang berkunjung. Mungkinkah sebenarnya ia juga merindukan berkumpul dengan orang-orang? Tapi kenapa Ki Pasir begitu keras kepala, enggan menerima mereka menjadi
tetangga. Manusia memang unik, mereka sering melakukan hal yang bertolak belakang dengan hati nurani.

***

Bersambung

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang