Kutukan

220 13 0
                                    

Legenda Naga Pasir

#LNP 11

"Diajeng, di mana kamu?"

Ki Pasir menyisir kamar. Ranjang dalam keadaan rapi. Ketika lewat ruang depan tadi juga tidak nampak batang hidung Nyi Pasir. Lelaki itu membawa nampan kayu turun dari rumah panggung. Di atasnya ada sebuah telur rebus besar yang telah di belah menjadi dua.

Setelah menemukan telur besar dan tak lazim tadi, tuanku segera merebusnya sendiri di atas tungku.

"Diajeng ...!" Ki pasir berteriak. Napasnya tersengal. Matanya nyalang menatap sekeliling yang lengang. Tak ada tanda kehidupan.

Dari sisi kiri rumah, muncul Nyi Pasir membawa sapu lidi. Raut wajahnya penuh tanda tanya. Melihat suaminya yang nampak sangat khawatir.

"Kakang, aku sedang bersih-bersih. Kotor sekali rumah kita."

Ki Pasir merebut sapu dari tangan istrinya. Melempar ke tanah lembab. Ia membimbing wanitanya untuk duduk di tangga rumah.

"Kamu baru saja sembuh dari sakit, Diajeng. Sebaiknya istirahat dulu sampai benar-benar pulih. Aku tadi menemukan telur yang besar, ayo kita makan dulu. Bisa mengisi tenaga." Ki Pasir menunjuk telur rebus pangkuannya.

Ia memberikan separuh kepada Nyi Pasir yang menerimanya dengan ragu. Lelaki itu lalu memakan bagiannya. Nyi Pasir menatap makanan ditangannya lekat-lekat. Telur rebus itu terlihat menggoda. Berbentuk oval putih dengan kuning telur yang mengeluarkan harum membuat otot perut semakin menggeliat. Ki Pasir makan dengan lahap, sebentar saja, bagiannya sudah habis tak tersisa.

"Lho, telurmu kok nggak dimakan, Diajeng?" Ki Pasir memandang heran istrinya yang masih memegang telur itu.

"Aku tadi menemukan buah mangga di sana, Kakang. Seekor monyet melemparkannya untukku. Telurnya kumakan nanti saja. Aku mau membersihkan rumah dulu. Kurang sedikit lagi selesai."

"Jangan terlalu memaksakan diri, Diajeng."

"Iya, Kakang. Kalau sudah capek aku akan istirahat."

"Kalau begitu, aku akan ke ladang di dekat sungai, Dinda. Membereskan kekacauan tempo hari."

Istrinya mengangguk. Wanita itu menghilang dibalik rumah, meneruskan pekerjaamnya. Ki Pasir mengambil cangkul dari dapur, memanggul di bahunya dan melangkah melewati jalan setapak sempit. Sesekali ia mencangkul rerumputan hijau yang menghalangi jalan.

Ki pasir tiba di sebuah tempat yang dulunya adalah kebun pisang. Sekarang tempat itu tak ubahnya seperti kapal pecah. Porak-poranda. Hampir semua pohonnya tumbang, hanya tunas-tunas kecil yang masih tegak bertahan.

Lelaki itu menarik napas. Ia mulai mengayunkan cangkulnya untuk memotong pohon menjadi beberapa bagian dan menyeretnya satu persatu ke luar area ladang. Suara gemercik air di kejauhan menemani pekerjaan cukup menguras tenaga itu.

Belum lama Ki Pasir bekerja, tiba-tiba ia melepaskan cangkul dari genggamannya dan mulai menggaruk. Mula-mula tangan, leher, muka dan punggung.

"Aah! Gatal sekali. Aaah!" Ki Pasir terus menggerakkan tangannya ke sana ke mari sampai menggelepar, tubuhnya terbanting ke tanah. Mulut lelaki itu meracau tidak karuan, mendesis merasakan gatal.

Tangannya masih menggaruk bagian-bagian yang terjangkau sampai kulitnya memerah dan terkelupas. Ia  melepaskan baju dan menggosokkan punggung pada tanah. Wajahnya memerah.

Sepertinya rasa gatal itu tak kunjung hilang. Ki Pasir berlari seperti orang kesetanan menuju sungai. Teriakannya memecah kesunyian.

"Gatal! Panas! Tolong aku ... tolong!" jeritnya sambil turun menuju air jernih di bawah sana.

Karena terlalu terburu-buru, Ki Pasir terpeleset. Tubuhnya menggelinding dan aku terpental dari cengkeraman jemari kakinya. Aku terjatuh di atas batu besar di pinggir sungai. Dari sni, aku bisa melihat sesuatu yang tak mungkin terjadi. Sangat mengerikan!

Ki Pasir menggosok seluruh tubuhnya dengan batu yang ditemukan. Kulitnya tergores dan mengeluarkan darah segar yang segera hanyut oleh aliran air.

Tubuh itu kemudian ambruk. Tak bergerak. Hal yang sangat mengejutkan terjadi. Tiba-tiba kulit kecoklatan itu mengeluarkan asap putih yang menyelubunginya.

Apa! Apa yang sebenarnya sedang terjadi ini? Aku sangat penasaran.

Ketika asap itu hilang, tubuh Ki Pasir telah berubah menjadi ular naga yang sangat besar.  Sisik berkilap seputih susu menyelimuti seluruh kulitnya. Kedua tangan menjelma menjadi sepasang sayap, terlalu kecil untuk ukuran badannya yang besar.

Naga itu meliuk-liukkan badan dengan liar. Ujung ekornya menebas air, membuat percikan besar melayang di udara. Mulutnya menganga, memperlihatkan dua gigi taring tajam dan lidah bercabang dua. Makhluk yang dulunya Ki Pasir itu mendesis. Air menderas turun dari mata yang memerah. Bercampur bersama aliran sungai. Ki Pasir menangis sejadi-jadinya.

"Kenapa, kenapa aku berubah menjadi naga! Kenapa!!" Raungan itu menggema seantero hutan.

Beberapa rusa yang hendak minum di sungai berlarian pergi. Burung-burung beterbangan dari dahan pohon, semua binatang di sepanjang aliran sungai menjerit kalut. Mereka pergi dengan suara ketakutan. Sebentar saja, suasana di sana sudah sesepi kuburan.

Naga Pasir meratapi nasib, beberapa saat kemudian makhluk itu terlihat lebih tenang. Tubuh putihnya meliuk mencari tempat, berendam di air yang agak dalam. Menyembunyikan sosok yang baru. Hanya kepalanya saja yang menyembul.

Ia berbicara dengan dirinya sendiri, "Dosa apa yang telah kuperbuat hingga Sang Maha Tunggal mengutukku seperti ini. Apa yang harus kulakukan dengan wujud mengerikan ini! Diajeng pasti tidak akan mengenaliku." Naga itu mulai meraung lagi.

Ia meneriakkan nama istrinya berulang-ulang, suaranya penuh kepedihan.

"Semua ini pasti karena telur terkutuk itu. Wahai penunggu gunung! Kembalikan aku ke wujud manusia  ...! Cepaat ...!"

Tak ada yang menanggapi kemarahan Naga Pasir. Semua diam, bahkan angin seperti berhenti berembus.

"Kakang, di mana kamu ..."

Dari kejauhan, terdengar suara yang sudah sangat dihapal Naga Pasir. Makhluk itu terkejut, tubuhnya diam membeku.

"Aku di sungai, Diajeng." Naga Pasir menyahut, dia menyembunyikan diri di balik sebongkah batu besar di tengah perairan.

Nyi Pasir melangkah hati-hati menuju pinggir sungai. Matanya menyisir aliran air yang terlihat lengang.

"Aku membawa bekal untukmu, Kakang. Tadi aku menemukan ubi yang belum rusak. Ayo kita makan bersama." Nyi Pasir mengangkat buntalan yang ada di tangan kanannya.

"Aku berendam, Dinda. Oh iya, apakah telur yang kuberikan tadi sudah kamu makan?"

Nyi Pasir tersenyum, ia duduk di sebuah batu dan membuka buntalannya, mengeluarkan ubi tebus dan telur separuh yang dibungkus daun pisang.

"Belum, Kakang. Telurnya buatmu saja supaya tambah kuat. Kulihat ladang kita hancur semua. Ayo sini, kita makan bersama."

Naga itu menyembulkan sedikit kepala. Dengan mata merahnya, ia menatap Nyi Pasir dari kejauhan. Bersiap membuka mulut untuk mengatakan sesuatu kepada wanita yang sangat dicintainya itu.

Apa yang akan dikatakan Naga Pasir? Apakah ia akan berterus-terang kepada istrinya? Ataukah akan lebih memilih berbohong?

***

Bersambung

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang