Murka

228 13 0
                                    

"Apakah kau mencintaiku, Dinda?" Suara Naga Pasir menggema, serak, agak menggeram ditingkahi arus sungai.

"Tentu saja, Kakang."

"Maukah kau menemaniku selamanya, Diajeng"

"Iya, Kakang."

"Meskipun bukan dalam bentuk manusia?"

"Tahukah, Kakang. Aku berharap dikehidupan selanjutnya bisa menemanimu lagi, walaupun nantinya terlahir dalam bentuk apa saja. Asal bersamamu, itu sudah cukup bagiku." Nyi Pasir memainkan air di bawah kakinya.

Wanita itu mendongak ke langit biru. Embusan angin membelai rambut panjangnya yang mulai memutih. Dia tidak mengetahui bahwa sebentar lagi harapannya akan benar-benar terkabul.

"Makanlah telur itu, Diajeng. Maka kau akan bersamaku selamanya."

Nyi Pasir mengambil setengah telur itu. Ia membuka mulutnya dan mulai menggigit ujung telur sedikit demi sedikit sampai habis. Sepertinya ada yang menyangkut di tenggorokannya. Wanita itu terbatuk-batuk. Ia segera mengambil air sungai dengan jemarinya yang lentik dan meminumnya. Sedikit percikan membasahi leher dan bajunya.

"Segar sekali, Kang. Ayo sini temani aku, jangan bersembunyi terus."

"Tunggu sebentar, Diajeng."

"Kenapa suaramu jadi berat? Apa tenggorokan Kakang sakit?"

"Tidak, Diajeng. Memang beginilah suaraku sekarang."

Naga Pasir masih mengintip istrinya di balik batu hitam, menunggu reaksi kutukan terhadap tubuh istrinya itu. Lidah bercabangnya menjilati bibir, mengeluarkan desisan samar.

Tak lama kemudian, jari-jemari Nyi menggaruk wajah, leher dan semua bagian tubuhnya. Rupanya kutukan itu sudah dimulai.

"Kakang, kenapa gatal sekali. Aku tidak tahan, Kakang!" jeritnya sambil terus menyapukan ujung kuku pada tubuh.

"Sabarlah, Diajeng. Sebentar lagi penderitaanmu akan berakhir."

Aku tidak tega melihat Nyi Pasir bergerak liar merasakan gatal luar biasa. Ia berteriak-teriak, tubuhnya berguling-guling di dalam air. Menggelepar liar. Prosesnya sama persis dengan yang dialami Naga Putih. Setelah tenaganya habis untuk menggaruk, asap kuning menyelubunginya.

Raungan Nyi Pasir menggelegar, dia amat murka melihat wujudnya sekarang. Seekor Naga bersisik Emas bermata kuning menyala. Pantulan air memberitahu semuanya. Dengan canggung, dia meliukkan tubuh dan dengan cepat berhasil menemukan Naga Putih yang masih bersembunyi.

"Keluar kau, Kakang! Tega sekali kau menyeretku dalam kubangan dosamu. Aargh!!"

Naga Emas meliuk secepat kilat. Ujung ekornya menghancurkan batu besar tempat suaminya bersembunyi. Naga Putih terhenyak, saat makhluk itu hendak kabur, secepat kilat,Naga Emas melilit tubuh Naga Putih kencang-kencang. Wajah mereka berhadapan, Naga Emas bersiap menghujamkan taring pada suaminya.

"Rasakan ini!" Belum sampai gigi berbisa itu sampai pada tubuhnya, Naga Putih meliuk menghindar.

Taring itu mengenai batu yang langsung meleleh seperti terkena lahar panas. Serangan Naga Emas tambah ganas, dia mematuk membabi buta. Beberapa bagian tubuh Naga Putih terkena taring. Sisiknya menghitam tepat pada bagian yang terkena racun.

"Dinda, dengarkan penjelasanku." Naga Putih berusaha membujuk istrinya. "Bukankah kamu berkata ingin menemaniku selamanya?"

"Iya! Tapi bukan menjadi siluman jelek seperi ini, aku tidak sudi, Kakang! Aaargh!" kembali Naga Emas menyerang.

Bertahan dari serangan rupanya bukan sesuatu yang menguntungkan. Naga Emas sudah tidak bisa di rayu lagi. Ia begitu murka sampai kata-kata apa pun tidak ada yang berhasil membujuknya.

Kedua naga raksasa itu sekarang saling membelit, mematuk. Mereka mengeluarkan suara yang sangat mengerikan. Setiap benda yang terkena semburan bisanya akan segera meleleh tak berbekas. Hingga sebuah sabetan, entah ekornya siapa, mengenai batu besar tempatku melihat semua kejadian. Aku terpental lagi dan masuk ke dalam air. Lalu Terapung menjauh dari kedua naga yang sekarang benar-benar marah.

Aku terseret arus sungai sampai beberapa puluh meter, timbul tenggelam. Namun tiba-tiba, tubuh besar Naga Putih meliuk di sebelahku. Rupanya ia berhasil melarikan diri dari belitan Naga Emas.

"Mau lari ke mana, kau, Kakang! Ke ujung duniapun akan kukejar!" Naga Emas menyusulnya cepat.

Mendahului.

Kepalanya menyembul dari air dan menghantamkannya pada bukit yang mengitari sungai. Tanah sontak longsor membendung arus air. Mencegah Naga Putih melarikan diri lebih jauh. Mereka kembali saling membelit dan meluapkan amarah.

Kali ini mereka meringsek di tanah. Pepohonan tumbang terkena amukan kedua makhluk itu. Perlahan namun pasti, cekungan mulai terbentuk yang segera terisi air.

Aku kembali terapung-apung diantara serangan mematikan itu.

***

Cahaya terang telah berganti. Sabit menggantung di langit, tak mampu menerangi sebuh perselisihan kedua makhluk raksasa yang sedang dikuasai kebencian.

Mereka masih meluapkan amarah. Dengan tenaga yang luar biasa, ceruk mulai terbentuk setengah lingkaran. Menjadi saksi bahwa tempat itu pernah menjadi ajang pertempuran sepasang suami istri yang dulunya saling mencintai.

Tak terasa, tiga hari tiga malam dua ekor naga raksasa itu melampiaskan kemurkaan. Kini cekungan itu bertemu, menjadi lingkaran sempurna. Keberadaan sungai sudah tak diketahui rimbanya, lenyap tak berbekas. Kini, sebuah telaga berair biru kehijauan yang luar biasa luas menyapa sinar mentari. Aku terdampar pada sebuah pulau kecil yang terdapat tepat di tengah-tengah telaga.

Kedua naga itu kini benar-benar sudah terkuras habis tenaganya. Mereka mengapung, masih dalam keadaan saling membelit. Kehidupan sepasang suami istri itu masih ada, mata mereka bertatapan. Bola mata yang semula penuh angkara itu sekarang perlahan meredup dan perlahan berbah warna. Kini mata keduanya berwarna sama dengan perairan luas itu.

"Kakang," Naga Emas berkata dengan lemas. "Aku akan menerima semua takdir tidak masuk akal ini."

"Maafkan aku, Diajeng. Aku menyesal telah menyeretmu dalam pusaran dosaku."

Mata kebiruan itu mengeluarkan bulir-bulir bening. Mereka sesenggukan bersama. Perlahan saling memaafkan dan menyelam ke dalam air yang tak kuketahui kedalamannya.

***

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang