Legenda Naga Pasir
#LNP 7
Pilih Tanding
Seperti biasa, aku terjaga terlebih dahulu. Merasakan gigil yang menusuk kulit. Meskipun sudah bertahun-tahun menjadi bagian gunung ini, namun tak bisa mengurangi rasa dingin yang menyerang dengan brutal.
Ranjang kayu berderit, sepertinya ada yang bergerak. Ternyata itu Nyi Pasir. Kakinya terjuntai ke bawah. Dia mencari kendi tanah liat yang terletak pada meja sebelah ranjang. Ia mengangkatnya dan mengarahkan ke mulut, meminum langsung dari moncongnya. Wanita itu masih terlihat segar dan menawan. Dengan beberapa uban yang menghiasi mahkota legam. Dia mengambil sisir, mulai merapikan rambut panjangnya yang kusut. Kulit wajahnya juga masih terlihat kencang, meski ada garis tawa yang tercetak pada sudut bibirnya.
Deritan berikutnya terdengar, menandakan Ki Pasir sudah terjaga, "Kamu sudah bangun, Diajeng?"
"Sudah, Kakang." Nyi Pasir mengikat rambut panjangnya menjadi sebuah gelung. "Bantu aku membuat perapian. Pagi ini dingin sekali. Duduk di depan perapian enak, hangat, Kakang."
"Ya, sambil sarapan ubi bakar sepertinya enak, Diajeng. Kemarin aku mengambil beberapa ubi dari ladang sebelah timur, ternyata besar-besar dan siap panen."
"Iya, Kakang. Kita juga membutuhkan tambahan selimut. Tubuh tuaku tak mampu lagi menghadang dingin. Kalau turun gunung nanti, tolong belikan untukku, ya."
"Tentu saja, Diajeng."
Ki Pasir tertawa keras. Dia melongok ke kolong ranjang, meraihku dengan tangan kemudian memasukkan ke dua kakinya ke dalam tubuh ini. Pas sekali, tidak kebasaran dan tidak kekecilan.
"Sandal ini memang ajaib, Diajeng. Tak ada goresan sedikit pun pada permukaannya. Kalau tahu begini, seharusnya dulu aku belikan satu untukmu."
"Tidak mau, Kakang. Sandal itu begitu mahal." Nyi Pasir melangkah keluar kamar berlantai kayu. Memakai sandal kayu yang berbunyi setiap kali melangkah.
Ki Pasir mengikutinya, melewati ruangan luas yang digunakan untuk menerima tamu. Tikar pandan lebar warna cokelat terhampar menutupi seluruh ruangan. Beberapa keramik menghias sudut. Hadiah dari para penduduk yang berterima kasih telah ditolong.
Pada hari-hari tertentu banyak penduduk desa yang sengaja datang untuk meminta nasihat. Mereka menganggap Ki Pasir dan istrinya sebagai orang pilihan, orang yang sakti dan mengerti tanda-tanda alam.
Pernah dulu Ki Pasir mengingatkan seorang penduduk yang kebetulan berkunjung untuk pergi dari rumahnya ke tempat tinggi. Ternyata beberapa hari kemudian, hujan turun sangat deras hingga menyebabkan sungai meluap dan menenggelamkan desa.
Ki Pasir tidak melarang mereka berkunjung dan meminta petunjuk. Namun, dia bersikeras tidak mengijinkan seorang pun membuka lahan di sekelilingnya. Padahal sudah banyak yang memohon supaya Ki Pasir sudi menerima mereka menjadi tetangganya. Bila Nyi Pasir bertanya, selalu alasannya sama, dia tidak mau berurusan dengan keserakahan manusia. Bukankah tujuan menyepi ke gunung salah satunya adalah menghindar dari keramaian? Ia tidak punya alasan menyetujuinya. Istrinya itu hanya bisa mengelus dada melihat kekukuhan Ki Pasir mempertahankan pemikiran yang sangat kekanakan itu.
Nyi Pasir membuka pintu. Dia terlonjak kaget melihat ada seseorang yang tidur meringkuk di depan pintu. Tanpa alas dan selimut.
"Jaka!" teriaknya sambil memeluk tubuh anaknya yang masih terlelap.
Jaka membuka mata, senyum menghias bibirnya yang ditumbuhi kumis tipis. Jaka sudah dewasa, dia menjelma menjadi pemuda gagah. Kulitnya kecoklatan terbakar matahari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Naga Pasir (End)
FantasyKisah sepasang suami istri yang lari dari kejaran pasukan kerajaan. Mereka menuju ke lereng Gunung Lawu seperti wangsit mimpi Ki Pasir. Apakah mereka berhasil? Halangan apa saja yang akan menghiasi perjalanan?