Kisah Pilu

251 18 0
                                    

Legenda Naga Pasir

#LNP 6

Kisah Pilu

Sosok tegap itu menghampiri Jaka yang duduk sambil menggaruk lehernya. Salah tingkah. Suasana mendadak hening. Bahkan angin pun seakan berhenti bertiup. Selembar daun kering melayang jatuh mengenai hidung Jaka. Ia memungut benda coklat tua itu kemudian meremasnya dan melempar sejauh mungkin.

"Jaka, jelaskan pada Romo apa yang sebetulnya terjadi." Ki Pasir duduk di sebelah Jaka. Menatap wajah anaknya yang menunduk dalam.

Nyi Pasir sepertinya masih terkejut. Ia tak bergerak dari tempatnya berdiri tetapi menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan anak muda itu.

Begitu juga aku, sangat penasaran tentang pemuda ajaib itu.

"Jarang sekali orang mempunyai kemampuan sepertimu. Apa lagi kamu masih anak-anak, Jaka. Sebenarnya aku sempat heran, bagaimana mungkin bocah sekecil kamu bisa bertahan hidup di gubuk reyot dekat hutan. Rupanya kamu mempunyai kelebihan bisa menaklukkan binatang."

Jaka menggigit bibir, membasahi mulutnya yang kering dengan lidah. Ia takut-takut melirik romonya.

"Sebenarnya kemampuanku hanya bisa digunakan khusus untuk binatang buas dan berbahaya, Romo. Maukah Romo mendengar kisahku?"

"Tentu saja, anakku."

Jaka menerawang. Matanya menatap jauh ke ujung aliran sungai yang berkelok-kelok. Ada kaca-kaca di dalam sepasang bola bening itu.

"Kedua orang tuaku adalah pendatang di desa itu, Romo. Mereka menetap di sana ketika aku masih dalam kandungan. Aku ingat, sejak kecil, para penduduk desa tidak memperbolehkan anak-anak mereka bermain bersamaku."

"Kenapa, Jaka?"

"Mereka takut terkena kutukan."

"Kutukan? Apa maksudnya?"

Jaka menggigit bibir bawahnya, "Awalnya aku mengira itu sebuah kutukan. Bapak mempunyai kemampuan menaklukkan binatang buas. Kemampuan itu menurun kepadaku. Beliau sangat disegani sekaligus dibenci."

Nyi Pasir mendekat. Dia mengambil tempat di sebelah suaminya. Mereka berdua memerhatikan Jaka dengan seksama.

"Setiap hari ada banyak penduduk desa datang ke rumah. Mereka minta tolong kepada Bapak untuk mengusir binatang liar yang merusak kebun dan persawahan. Dengan senang hati Bapak membantu, tanpa bayaran."

"Suatu saat, ada seorang penduduk desa yang merasa tersaingi oleh ketenaran orang tuaku. Salah satu pemangku adat. Orang itu sangat membenci keluarga kami. Dia menggunakan jasa dukun untuk mengguna-gunai Simbok dan Bapak. Kulit mereka melepuh dan mengeluarkan cairan berbau busuk hingga akhirnya meninggal."

"Orang itu mengembuskan berita kalau penyakit orang tuaku disebabkan kutukan kekuatan hitam dan menular. Apalagi beberapa hari kemudian, ada penduduk yang meninggal dipatuk ular. Mereka ketakutan dan mengusirku."

Jaka tertawa perih, mengingat nasib buruk yang menemani perjalanan hidupnya.

Ki Pasir melingkarkan lengan berototnya pada bahu Jaka. Ia menepuknya perlahan.

Andai aku punya air mata, tentu genangannya sudah menganak sungai. Kejam sekali orang yang gila hormat itu, sampai tega mengambil nyawa orang tua dan mengusir keturunannya. Apa dia tidak tahu, kalau dosa menghilangkan nyawa sungguh berat? Hanya karena ketenaran sesaat, merelakan diri tenggelam dalam lumpur dosa.

"Orang itulah sekarang yang menempati rumahku, Romo. Dia berpura-pura menjadi pamanku di hadapan warga desa."

Ki Pasir menggertakkan giginya. Tangannya mengepal hingga otot kebiruan menonjol keluar.

"Apa kamu ingin aku membalaskan dendam padanya, Jaka. Pada orang biadap tak tahu malu itu. Kalau iya, saat ini juga kita kembali ke sana dan membuat perhitungan!" Ki Pasir berdiri berkacak pinggang. Wajahnya memerah menahan marah.

Jaka menyentuh lengan Ki Pasir, "Tidak perlu, Romo. Simbok dan Bapak sebelum meninggal memberi nasihat. Mereka menginginkan aku menjadi orang baik, tidak mendendam dan menggunakan kemampuan untuk menolong orang."

"Jaka, mulia sekali hatimu, Nak. Kamu sangat dewasa meskipun masih sangat muda. Romo yakin kelak kamu akan jadi orang besar dan akan selalu dikenang."

"Terima kasih, Romo." Jaka menangkupkan kedua telapak tangannya ke atas kepala sambil berlutut. Menandakan ketulusan sepenuh hati. Hal yang lazim dilakukan untuk penghormatan pada masa ini.

Ki Pasir membantu putranya berdiri, "Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Jangan sampai kemalaman di dalam hutan. Ayo, Diajeng."

"Mari, Kakang. Ayo, Le."

Rombongan itu segera meninggalkan tempat, ditemani suara cicitan burung dan riuh rendah serangga penghuni pepohonan. Tanah yang basah meninggalkan jejak-jejak telapak kaki. Daun-daun luruh, menjadi saksi perjalanan yang menguras tenaga.

Di dalam hutan itu, Jaka menunjukkan kemampuannya. Mereka sering perpapasan dengan binatang buas. Ular sebesar paha orang dewasa hampir saja mematuk kuda, makhluk itu segera melata menjauh setelah Jaka mengeluarkan  sepatah kata.

"Pergi, jangan ganggu kami."

Perjalanan begitu lancar tanpa kendala. Mereka hanya beristirahat secukupnya. Ketika tenaga sudah penuh, rombongan itu melanjutkan kembali langkah-langkah yang sempat terhenti.

Ketika purnama sedang memancarkan kilauan sinarnya beberapa minggu kemudian, Nyi Pasir dan keluarganya sampai pada lereng Gunung Lawu. Tempat yang sering muncul dalam Mimpi Ki Pasir untuk meneruskan hidup. Jauh dari keramain, jauh dari sifat busuk manusia.

***

Suara jeritan monyet liar menyadarkanku dari lamunan. Mengenang kisah pertemuan pertama dengan Ki Pasir, Nyi Pasir dan Jaka selalu membuat tenang. Kasih sayang mereka begitu tulus, tanpa pamrih. Aku belajar banyak hal, bahwa di dunia ini masih banyak manusia-manusia berhati luhur yang rela berkorban demi kebahagiaan yang lain.

Tumben sekali malam ini gerombolan hewan itu sangat berisik. Biasanya kawanan itu muncul untuk mengabarkan sesuatu kepada penghuni rumah. Sayang sekali semuanya sudah tertidur.

Hanya sekejab binatang liar itu saling sahut-menuahut, lalu suasana hening kembali. Aku juga mau istirahat mengumpulkan tenaga. Kulit tuaku sudah lumayan payah. Ki Pasir tak pernah mau memakai sandal yang lain. Dia selalu membawaku kemanapun kakinya melangkah.

Besok pagi Ki Pasir akan mengajakku mencari tanaman liar untuk digunakan menjadi ramuan. Nyi Pasir ahli membuat berbagai ramuan dari tumbuhan. Beberapa hari sekali, ada penduduk desa di kaki gunung datang untuk membeli dan menjualnya. Banyak yang cocok dengan ramuan obat dan kecantikan yang dibuat Nyi Pasir.

Aaah, rasanya mengantuk sekali. Sepertinya malam ini aku akan mimpi indah. Sangat indah.

***

Legenda Naga Pasir (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang