[Espoir]^
^
^
^
^Jimin tertidur lelap di sofa. Namjoon yang baru saja sampai di rumah mengendap melewati ruang tengah agar tidak membangunkan Jimin. Namun, usahanya tidak berhasil karena Jimin membuka mata dan menegakkan tubuh. "Kak? Kaukah itu?"
Namjoon mengembuskan napas, lalu berjalan mendekati Jimin. "Kau sensitif sekali. Padahal aku sudah mengendap agar tak membangunkanmu." tutur Namjoon sambil mengambil posisi di samping Jimin.
"Siapa yang menjaga Taehyung, Kak?"
"Aku sudah meminta suster yang berjaga untuk mengawasi Taehyung sebentar. Tenang saja. Tidak ada yang akan menculik Taehyung, Jim." Namjoon menepuk pelan bahu Jimin.
Jimin beranjak menuju dapur untuk melepas dahaga. Tenggorokannya terasa sangat kering. Sementara itu, Namjoon mengeluarkan barang-barang dari dalam plastik putih yang ia bawa saat pulang tadi.
"Jimin, aku sudah membelikanmu kuas baru dan beberapa cat minyak." Gerakan tangan Jimin yang baru saja menuangkan air ke dalam gelas terhenti.
"Kau tidak perlu melakukan itu, Kak. Aku tidak ingin melukis lagi." Ujarnya datar, lalu meminum airnya.
Namjoon memandangi Jimin penuh tanya. "Kenapa, Jim? Ada apa? Kenapa kau tidak ingin melukis lagi?"
"Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya ..."
"Hanya apa?"
Jimin menggigit bibir. Tangannya menggenggam gelas dengan sangat kuat.
"Jimin, berhentilah menyembunyikan sesuatu dariku." Namjoon memandangi Jimin dengan penuh tuntutan. Sementara Jimin masih diam. Ia kembali mengangkat gelas untuk meminum airnya lagi, tapi ....
PRANG
"Jimin!" teriak Namjoon yang terkejut dan langsung menghampiri Jimin yang berdiri kaku. Beberapa serpihan kaca melukai kaki Jimin, tapi ia tak meringis sakit. Matanya memandang gelas yang sudah hancur berkeping-keping di lantai. Goresan dengan darah menghiasi punggung kakinya. Tangan kanannya bergetar hebat.
Namjoon bergerak dengan gesit, membersihkan serpihan kaca menggunakan kain basah dengan hati-hati. "Jangan bergerak, Jim! Biar aku yang membersihkannya." sergah Namjoon. Setelah ia rasa lantai sudah aman dari kepingan kaca, Namjoon memapah Jimin menuju sofa.
Napas Jimin terengah, mungkin trauma dengan kejadian barusan. Tangannya tak bisa berhenti bergetar. Selama Namjoon mengobati kakinya, Jimin tak bersuara sama sekali. Meski tidak dibalut perban yang persediaannya sedang tidak ada, setidaknya luka gores di kaki Jimin sudah terlindungi dengan plester, yang membuat Namjoon bisa bernapas lega. Tanpa mengubah posisinya yang berjongkok di depan Jimin, Namjoon menatap pemuda yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
"Apa yang terjadi, Jim? Kau tak ingin mengatakannya padaku, hm?" Suara Namjoon tidak terdengar mengintimidasi sama sekali. Ia menyampaikan pertanyaan itu dengan penuh kelembutan, seolah berbicara pada adik kecilnya. Jimin menjawab Namjoon dengan gelengan. Memaksakan senyum di bibir yang jelas kepalsuannya di mata Namjoon. "Aku sungguh baik-baik saja, Kak."
"Bohong." Namjoon menajamkan tatapan. Membuat Jimin mengernyit. "Kau tidak baik-baik saja, Jimin."
Sebenarnya, tidak ada yang bisa Jimin sanggah dari kalimat Namjoon barusan. Jimin menghela napas panjang.
"Aku ..." Jimin menggigit bibirnya. Menahan lidahnya untuk banyak berucap.
"Jujurlah, Jim. Apakah aku orang asing bagimu sampai kau tak mau jujur padaku?" Namjoon mengernyitkan dahi. Terlihat sekali ia memohon kejujuran Jimin.
"Kak ..."
Namjoon menyahuti panggilan itu dengan kedipan mata.
"Kak Namjoon, apakah aku masih bisa ..." Jimin menelan ludah. "... menjadi seorang pelukis?"
Temukan lebih banyak lagi dalam eBook Espoir Full Version
(Only 40k)
Hubungi 0882 7703 0613^
^
^
^
^[Espoir]
10 September 2021
<10.20 am>
KAMU SEDANG MEMBACA
[BOOK] Espoir
Fanfiction"Kau adalah harapan itu sendiri." (Start: February 2018) (End: June 2018) (Re-published : November 2018)