Ninth Hope

1.2K 125 14
                                    

[Espoir]

^
^
^
^
^

"Jimin." Panggilan itu membuyarkan lamunan Jimin yang duduk di hadapan Yoongi. Yoongi menghela napas. "Harus kukatakan bahwa fisioterapi yang kau jalani sedikit banyak membantu." tutur Yoongi setelah menutup berkas medis Jimin.

"Sedikit membantu atau banyak membantu?" Yoongi berdeham pelan.

"Eum ... ya ... membantu. Agak membantu."

"Benarkah?" tanya Jimin ragu.

"Penurunan kemampuan sistem sarafmu bisa diperlambat dengan fisioterapi." lanjut Yoongi. Jimin mengangguk, seolah mengerti apa yang Yoongi bicarakan. Padahal, dirinya tidak paham sama sekali. "Jika kau membiarkan dirimu tenggelam dalam rasa pesimis, kekalutan, dan keputusasaan, mungkin kau akan berakhir menjadi siput lumpuh di jalanan." Ucapan Yoongi terdengar kasar, tapi Jimin tidak tersinggung dengan hal itu.

"Berapa lama lagi waktuku, Dokter?" Yoongi meringis mendengar pertanyaan yang tidak menyenangkan itu. Jimin tahu, penyakitnya adalah penyakit langka. Yang Jimin tahu pasti adalah waktunya tidak banyak.

"Aku sedikit terusik dengan pertanyaan itu." Yoongi mengetukkan jari telunjuknya dengan cepat di atas meja.

"Jawab saja, Dokter."

Yoongi berdeham lagi. "Dengar, Jimin. Aku bukanlah orang yang berhak menentukan berapa lama lagi waktu yang kau miliki di dunia ini. Aku ini seorang dokter, bukan Tuhan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kau menjalani hidupmu dengan baik, semangat dan optimis. Hiduplah dengan penuh harapan, maka tidak akan ada yang kau sesali."

"Baiklah, aku tahu. Aku harus tetap optimis. Tapi, aku tetap perlu tahu berapa sisa waktuku untuk bisa memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, kan?" Jimin bersikeras.

Yoongi berdecak pelan. Pasien yang satu ini memang keras kepala. "Tanpa perawatan intensif, orang dengan penyakit ini bisa bertahan hingga dua tahun. Dengan perawatan yang terbaik, maka kemungkinan bertahan akan lebih lama. Penanganan yang buruk dan ketidakpedulian dari pasien sendiri akan membuat waktu bertahan semakin berkurang. Kau tinggal memilih ingin yang mana." Jimin membisu. Dua tahun.

"Bagaimana? Merasa lebih baik dengan jawabanku? Atau kau malah merasa semakin ingin cepat-cepat mengakhiri kehidupanmu?" Sekali lagi, Yoongi berkata seperti bukan seorang dokter. Jimin tersenyum miring.

"Dokter Yoongi, kau selalu menganggapku seperti orang yang sudah benar-benar kehilangan harapan."

"Siapa pun bisa langsung menyimpulkan bahwa kau memang kehilangan harapan, Jimin."

"Dari mana kau tahu?" Yoongi mengangkat bahu.

"Jangan meremehkan aku ya. Aku ini sempat mempelajari psikologi sedikit saat kuliah." Ucapan Yoongi membuat Jimin tersenyum remeh.

"Aku bisa mengerti perasaan pasien-pasienku, meski tidak semuanya bisa kupahami. Saat aku melihatmu, tatapanmu membuatku memahami bahwa kau sedang mengalami krisis harapan. Aku tidak ingin pasienku gagal kutangani dengan maksimal."

"Kau menyemangati pasienmu dengan ucapan kasar seperti tadi?" Yoongi mengangkat bahu sambil menaikkan alis.

"Sebagian orang sudah kebal dengan kata-kata yang terlalu positif."

Jimin hanya menghela napas. "Lakukan sesukamu, Dokter." Yoongi tersenyum menang. Jimin tidak bisa beradu argumen lagi dengan dokternya ini.

"Ah iya, kau temani Honey makan siang ya. Aku akan merasa bersalah jika tidak menemukan teman makan siang untuknya hari ini." pinta Yoongi tiba-tiba. Jimin mengernyit heran atas permintaan itu.

"Kenapa bukan kau saja yang pergi dengannya?" tanya Jimin sinis.

"Jimin, makan siang seorang dokter tidak bisa sebebas mereka yang bukan dokter. Aku akan makan siang di sini, di sela-sela jam praktekku nanti. Setelah ini, aku masih memiliki satu pasien yang akan terapi. Jadi, aku meminta tolong padamu untuk menjadi teman makan siang Honey." jelas Yoongi.

Jimin menelan ludah, ragu. Melihat heran pada Yoongi. "Memangnya ... kau tidak marah?" tanyanya.

"Aku akan marah jika kau menolak." Sahut Yoongi tanpa menoleh. Jimin terdiam sejenak, lalu ingin melontarkan pertanyaan lain, tapi sudah dicegah oleh Yoongi.

"Pintu keluar ada di sebelah sana dan sepertinya Honey sudah menunggu terlalu lama di luar." Kalimat itu membuat Jimin tidak memiliki pilihan selain keluar dari ruangan sang dokter. Mengikuti perintahnya untuk menjadi teman makan siang Honey. 

...

Temukan selengkapnya di eBook Espoir Full Version
(Only 40k)
Hubungi 0882 7703 0613

^
^
^
^
^

[Espoir]


23 September 2021
<07.39 pm>

[BOOK] EspoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang