Sixth Hope

1.2K 139 9
                                    

[Espoir]

^
^
^
^
^

Suara jam dinding menemani dua orang yang kini sedang duduk di hadapan satu sama lain dengan berbataskan meja. Sang dokter menatap pasiennya dengan serius, sambil mengetukkan pulpen di atas meja. Si pasien berdeham lalu tersenyum, mencoba mencairkan suasana, tapi berakhir dengan menciptakan suasana yang lebih kikuk. Kegugupan terlihat jelas dari wajah si pasien.

"Apa kau tahu kesalahanmu, Jimin?"

Bukannya menjawab, yang ditanya malah mengelus pelan pelipisnya. Merasakan kulit yang masih berdenyut. Sang dokter berdecih. "Oh, ternyata sekarang pendengaranmu juga terganggu ya."

"Dokter, aku benar-benar lupa tentang jadwal yang telah kita buat. Maaf. Maafkan aku." Yoongi meletakkan pulpen yang ia pegang sedari tadi dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang cukup mengagetkan. "Kau tidak benar-benar lupa. Kau sengaja melupakannya. Kau kira aku bisa dibohongi?"

Jimin menggembungkan pipi sambil menunduk. Dokter ini paling hebat jika menyerang pasien. "Apa kau tidak menyayangi dirimu sendiri, Tuan Jimin yang terhormat?"

Jimin mengangkat kepala. "Bukankah menyayangi diriku sendiri itu termasuk hal yang egois, Dokter?"

"Lebih egois lagi jika kau tidak memikirkan tentang keberadaan orang-orang yang menyayangimu dan peduli pada keadaanmu." Jimin terdiam dengan sanggahan Yoongi.

"Lihat apa yang sudah kau lakukan. Kau melukai dirimu sendiri. Sekarang hanya dagu dan pelipis. Nanti bagian mana lagi yang akan terluka jika kau terusmenerus abai pada pengobatanmu?" Jimin tidak bisa berkutik. Menyanggah pun tidak ingin. Percuma bersilat lidah dengan Yoongi. Masalah tidak akan selesai. Jimin tidak berminat untuk memperparah rasa perih di wajah.

"Apa kau meminum obatmu?" tanya Yoongi tanpa melepas tatapan pada Jimin. Yang ditanya hanya mengangguk, memandangi vas bunga di samping meja Yoongi, tidak ingin bertatapan dengan dokter galak itu. Yoongi mengembuskan napas, lalu membaca rekam medis Jimin. "Sudah berapa kali kau datang untuk fisioterapi?"

"Eum ... Aku ada urusan yang harus diselesaikan dua minggu lalu jadi ..."

"Kau belum pernah fisioterapi. Sama sekali." Yoongi memotong penjelasan Jimin sambil mencatat. Lagi-lagi Yoongi menghela napas. Ia menegakkan tubuh dan meletakkan kedua siku di atas meja. "Han Jimin, penyakit ini bukan seperti flu yang bisa hilang hanya dalam beberapa hari. Penyakit ini akan terus bergerak menyerangmu jika kau tidak melawannya."

Ada gurat kekesalan bercampur simpati dalam nada bicara Yoongi. "Bantulah dirimu sendiri, Jimin. Sebagai dokter yang menanganimu, aku merasa sangat bertanggung jawab. Jika keadaanmu semakin memburuk, itu tidak hanya membuat orang-orang yang menyayangimu bersedih, tapi aku juga akan merasa sangat bersalah." lanjut Yoongi. Jimin menggeleng pelan.

"Tidak akan ada yang bersedih atas keadaanku, Dokter."

"Adakah yang bilang begitu padamu?" Jimin memberanikan diri memandang Yoongi.

"Saat masih bisa melukis, ayahku tidak memandangku sama sekali. Bagaimana jika aku tidak bisa melukis lagi? Tidak bisa melakukan apa-apa lagi? Aku akan semakin tak berguna di matanya. Aku tidak akan pernah bisa mengimbangi kakakku yang memiliki karir lebih baik dibandingkan aku."

"Jadi pelajaran seperti ini yang kau dapatkan dari duniamu, Jimin?" Tatapan Yoongi semakin tajam. Jimin mencoba membalas, tapi ia memilih untuk memalingkan wajah. "Kau diajarkan untuk pesimis begini. Ini yang kau dapatkan dari dunia lukismu?" Jimin tertegun. Ia memang hidup dalam dunia lukis.

Di atas kanvas, Jimin selalu menggambarkan dunianya yang penuh warna. Melukis merupakan satu-satunya yang membuatnya mampu bertahan dari kehidupan yang mengecewakan. Namun, harus bagaimana lagi jika ayahnya sendiri menolak mimpinya.

Bagaimana lagi jika orang yang selalu membantunya kini terbaring tidak berdaya. Bagaimana lagi jika ternyata Tuhan memberinya anugerah berupa penyakit yang tidak mudah disembuhkan. Jujur saja, saat ini Jimin merasa sangat putus asa. Apa yang dikatakan Yoongi tidak salah. Seharusnya, dunia yang Jimin tekuni dan hidup di dalamnya bisa mengajarkan pemuda itu untuk lebih optimis. Namun, Jimin sendiri yang membuat dirinya tak mendapatkan apa-apa dari dunia itu. Keputusasaan telah menguasai dirinya. Jimin tidak bisa, atau bahkan tidak ingin melawannya.

"Aku tidak ingin dengar ucapan putus asa seperti itu lagi, Jimin. Lawan penyakit dengan aura positif. Dari sini." Yoongi menunjuk dahinya. "Tunjukkan padaku bahwa duniamu, dunia lukismu itu, bisa memberimu semangat untuk bertahan. Kuharap kau akan datang untuk fisioterapi besok pagi." Ucapan Yoongi terdengar seperti sebuah perintah yang harus Jimin patuhi. Seperti ada sihir dalam suara Yoongi hingga membuat Jimin mengangguk patuh.

"Baiklah, Dokter. Aku akan datang besok." ujar Jimin, lalu berdiri dari kursinya, bersiap untuk pamit. Sudah memegang kenop pintu, Jimin berbalik. "Dokter Yoongi?"

"Ya?"

"Bolehkah aku bertanya?"

"Tanyakan apapun selama pertanyaan itu masuk akal." Jimin menggigit bibirnya.

"Eum ... Apakah kau dekat dengan Honey?" Yoongi tersenyum miring. "Ya, sangat dekat." Jawabnya singkat.

"Dari mana kau mengenalnya?" tanya Jimin lagi.

"Cerita yang panjang."

"Apa kau punya hubungan khusus dengan Honey? Ah, maaf aku tidak bermaksud untuk ..." Yoongi tertawa mendengar pertanyaan Jimin.

"Kenapa kau begitu ingin tahu tentangku dan Honey, Jimin? Kau menyukai gadis itu?" Jimin menggeleng cepat. Menggerakkan tangan untuk memperjelas sanggahannya.

"Tidak, tidak! Aku hanya ..." Jimin menggigit bibir. "... ingin tahu saja. Ya, ingin tahu."

"Jika kau memang ingin tahu, eum ... iya, aku punya hubungan khusus dengan Honey. Selebihnya, mungkin kau bisa bertanya sendiri pada gadis itu." Jawaban Yoongi berhasil membuat hati Jimin kacau-balau.

Setelahnya, Jimin benar-benar keluar dari ruangan Yoongi, yang tersenyum geli sambil menggeleng. 

Temukan lebih banyak lagi tentang Jimin dalam eBook Espoir Full Version
(Only 40k)
Hubungi 0882 7703 0613

^
^
^
^
^

[Espoir]

11 September 2021
<06.27 pm>

[BOOK] EspoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang