Eighth Hope

1.3K 140 9
                                    

[Espoir]

^
^
^
^
^

"Kau datang untuk Dokter Yoongi lagi?" tanya Jimin, tanpa basa-basi. Honey menjawab dengan anggukan. Anggukan itu membuat hari Jimin menjadi sedikit mendung. Semangatnya untuk terapi sedikit berkurang. Namun ia cukup senang karena setidaknya ia bisa melihat Honey. Cukup membosankan jika berada di ruang fisioterapi hanya dengan dokter Yoongi dan suster yang itu-itu saja. Tanpa diminta, Honey dengan rela memapah Jimin menuju ruang fisioterapi.

"Akhir-akhir ini Kak Yoongi jadi lebih sering memintaku untuk datang. Terutama di saat kau ada jadwal terapi." ujar Honey sembari melangkah sejajar dengan Jimin. Jimin mengernyit heran.

"Begitukah?" tanya Jimin yang tidak mengerti maksud dan arah pembicaraan Honey. Honey hanya menggumam.

"Jimin, kau tidak punya adik?" tanya Honey memecah hening di antara mereka. Jimin menggeleng.

"Apakah kau punya?" tanyanya kembali. Honey tersenyum lebar. "Tidak, tapi aku senang sekali jika bermain dengan anak kecil. Kau tahu, klub lingkunganku pernah berkunjung ke rumah kasih sayang untuk mengajarkan anak-anak bagaimana mengelola sampah. Menyenangkan sekali!" Honey mengangkat bahunya sambil mengentakkan kaki, menandakan bahwa ia sangat bahagia membayangkan hal menyenangkan itu. Langkah Jimin harus berhenti sejenak untuk membiarkan Honey menikmati kegembiraan kecilnya ketika mengingat memori menyenangkan. Jimin ikut tertawa.

Senyuman Honey membuat harinya menjadi lebih sejuk. "Lain kali, aku akan mengajakmu kesana ya. Sebentar lagi, klubku akan mengadakan kegiatan di rumah kasih sayang itu."

Jimin menoleh pada Honey. "Benarkah? Apakah aku boleh ikut?" tanyanya.

"Tentu saja. Kenapa tidak?"

"Meski keadaanku seperti ini?" Perkataan Jimin membuat Honey menghentikan langkahnya. Honey menatap Jimin dengan tajam. Ia memindai Jimin dari kepala hingga kaki, lalu kembali menatap mata Jimin.

"Ada yang salah dengan keadaanmu?" tanya Honey polos. Jimin menunjuk tangan kirinya yang lemah dengan tangan kanan. Sebagian jarinya sudah tertekuk kaku. Honey meraih tangan kiri Jimin, lalu menggenggamnya. Tak bisa Jimin pungkiri bahwa hatinya berdegup kencang saat Honey melakukan itu.

"Apa menurutmu ini akan menghambatmu?" Honey menggoyangkan tangan kiri Jimin yang ia pegang. "Kau masih memiliki tangan kananmu. Jika tanganmu tidak bisa lagi bergerak, kau masih punya mulutmu. Jika kau masih merasa tak bisa melakukan apa-apa ..." Honey mengangkat tangan kanan di depan wajah Jimin. "... masih ada tangan ini yang akan membantumu." Kalimat itu membuat Jimin tergugah. Namun, rasa pesimis dengan cepat menguasai Jimin kembali.

"Aku tidak ingin merepotkanmu." gumam Jimin sambil menunjuk. Honey berdecak kesal. Sangat tidak suka jika ada seseorang yang terlalu naif seperti Jimin ini.

"Berhentilah bersikap memprihatinkan, Jimin. Meskipun aku belum terlalu mengenalmu, tapi aku yakin banyak orang yang menyayangimu. Ya kan?" Honey menarik kembali tangan Jimin agar kembali melanjutkan langkah mereka.

"Tidak banyak." sahut Jimin.

"Namun pasti ada yang menyayangimu." Jimin terdiam. Meski Jimin merasa tidak diperhatikan oleh sang ayah dan kakak, tapi masih ada Taehyung dan Namjoon yang bersedia memberikan kasih sayang.

"Sepertinya Kak Yoongi sudah lebih dulu sampai dibanding kita." ujar Honey saat melihat pintu ruang terapi sudah terbuka. Jimin dan Honey masuk ke ruangan dan di sambut dengan sapaan dingin dari Yoongi.

"Pantas saja terlambat. Ternyata kalian curi kencan sebelum terapi." sergah Yoongi tanpa menoleh pada dua sejoli yang secara tidak sadar masih bergandengan. Cepat-cepat Jimin melepaskan tautan tangan Honey.

"Siapa yang berkencan?" Honey menyahut kesal. Yoongi hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Lalu apa yang kalian lakukan barusan? Masuk ke ruangan sambil bergandengan tangan. Bukankah hal begitu hanya dilakukan oleh orang yang sedang berkencan?" Yoongi masih meledek dua anak muda di hadapannya. Beberapa suster yang sedang mempersiapkan alat-alat terapi untuk Jimin ikut tertawa kecil menahan tawa mendengar ledekan Yoongi. Jimin dan Honey yang kikuk saling berpandangan.

"M-maafkan aku, Dokter." gumam Jimin. Yoongi mengernyit heran.

"Untuk apa minta maaf, anak muda?" Yoongi berdiri dari kursi, lalu memberi isyarat pada Jimin untuk duduk di brankar.

"Aku tidak bermaksud mengganggu Honey." ujar Jimin yang sudah duduk, membiarkan Yoongi memeriksa dadanya dengan stetoskop.

Yoongi berdecih atas jawaban Jimin, lalu menoleh pada Honey yang duduk manis di kursi tunggu. "Kau diganggu oleh pemuda ini, Honey?" tanya Yoongi. Buru-buru Honey menggeleng sambil melambaikan tangan. "Jimin tidak menggangguku sama sekali, Kak. Aku hanya membantunya karena tadi Jimin hampir terjatuh, jadi aku memegangnya." Honey menjelaskan.

Yoongi tersenyum tipis. "Kau dengar, Jimin? Honey tidak merasa diganggu. Berarti, kau tidak harus minta maaf." ujar Yoongi sambil memeriksa tangan dan kaki Jimin. Jimin hanya menggigit bibir. Sesekali ia melemparkan pandangan pada Honey yang selalu tersenyum tiap kali mata mereka bertemu.

"Sudah berapa kali kau terjatuh dalam minggu ini?" Wajah Yoongi menjadi lebih serius. Jimin tidak bisa berbohong karena ada bukti berupa lebam di beberapa bagian lengan dan kaki yang terlihat jelas.

"Eum ... mungkin sekitar lima atau enam kali. Aku tidak benar-benar menghitungnya." jawab Jimin. Yoongi menghela napas panjang sambil mengecek rekam medis Jimin. Tak berapa lama, ponsel Jimin berdering, mengundang lirikan sinis dari Yoongi.

"Kurasa aku belum menyampaikan aturan bahwa tidak ada ponsel selama terapi berlangsung." ujar Yoongi tanpa menoleh. Ia bergerak menjauh dari Jimin, mempersilakan pemuda itu untuk menjawab panggilan. Jimin hanya bisa tersenyum kikuk. Ia merasa tidak enak, tapi tidak bisa menolak panggilan tersebut. "Iya, Kak. Ada apa?" sambut Jimin.

[Bagaimana di sana?]

"Baik-baik saja, Kak. Terapi baru saja dimulai. Seharusnya aku tidak boleh menggunakan ponsel."

[Ah, maafkan aku. Apa dokternya baik padamu?]

"Iya, Kak."

[Baiklah.]

"Jika kau menelepon hanya untuk mengatakan itu, aku akan menutup telepon atau dokterku akan membunuhku sekarang juga." Jimin berbisik di kalimat terakhir, tapi tidak sadar bahwa Yoongi masih bisa mendengarnya.

[Ah, tunggu!]

Teriakan Namjoon membuat Jimin tidak jadi menutup pembicaraan. "Kenapa, Kak?"

[Jim, Taehyung ...]

Mendengar nama Taehyung membuat Jimin tertegun. Jantungnya berdegup kencang. "Ada apa dengan Taehyung, Kak?" Jimin membayangkan dua hal yang berbeda. Sebuah berita bahagia atau kabar buruk. Jimin masih menunggu Namjoon yang terdiam di seberang sana. Mungkin mengumpulkan napas untuk mengatakan yang sebenarnya. "Kak Namjoon?" panggil Jimin tidak sabar.

[Taehyung sudah sadar, Jim.]

Jimin menutup pembicaraannya dengan wajah datar. Honey dan Yoongi tentu penasaran dengan pembicaraan Jimin dengan lawan bicaranya. Namun, tidak memiliki kesempatan yang tepat untuk bertanya. Yoongi melanjutkan tugasnya sambil membolakbalik rekam medis Jimin.

"Jika kau ada keperluan dan ingin mengatur ulang jadwal terapi, aku bisa menyusunnya untukmu. Kita bisa menunda terapi untuk hari ini, jika kau mau." Tawar Yoongi.

"Tidak perlu, Dokter. Aku tetap akan terapi." sahut Jimin cepat. Yoongi mengangguk mengerti. Terapi pun dimulai dengan serius didampingi oleh beberapa suster dan Honey yang duduk manis di salah satu sudut ruangan. 

Temukan selengkapnya di eBook Espoir Full Version
(Only 40k)

Hubungi 0882 7703 0613

^
^
^
^
^

[Espoir]

14 September 2021
<07.52 pm>

[BOOK] EspoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang