The Truth

10 1 0
                                    

"Lily?! Kenapa saudara kamu ini?"tanya mama heboh. "Maah, udah ah. Lily juga udah ngobatin Vanno. Vanno mau berangkat sekolah dulu!"ucap Vanno hendak pergi namun mama dengan cepat menarik hoodie jaket Vanno dan membuatnya masuk ke dalam.

"Lily! Tolongin gue, Lil!"panggil Vanno membuatku tertawa. "Lily, nanti kamu diantar mang Ujang aja ya."ucap papa mengusap kepalaku. Aku mengangguk, "Lets go, mang Ujang!"ucapku masuk ke dalam mobil.

"Neng, semalam eneng kamana? Kok malam pulangnya?"tanya mang Ujang. "Hah? Beli obat mang. Sesek dada saya."ucapku. "Oohh. Semalam ada yang datang, neng. Aduuhhh ganteng pisan kayak mamang."ucapnya membuatku tertawa. "Siapa emangnya mang?"tanyaku.

"Aduh na kurang ngerti. Dia cari neng Lily, ya mamang bilang eneng belom pulang."ucap mamang. Siapa yang dateng ke rumah gue ya?

Sesampai di sekolah, seseorang menggandeng lenganku saat aku  menyusuri hall. "Bebeb gue mana?"tanya Sarah. "Di rumah."jawabku. "Oh..."ucapnya seakan tahu mengapa.

"Kalo lo mau ntar pulang sekolah ikut aja ke rumah gue."ajakku. "Beneran?! Yess!!"ucapnya senang. "Hari ini gue duduk ama lo ya."ucapku. "Sure!"ucapnya senang.

"Kumpulkan tugas kelompok kalian ke depan!"ucap bu Titi. Aku berdiri dan mengumpulkannya. "Sorry, bu!"ucap Rafa melengos begitu saja lalu duduk di tempatnya.

"Lily, Rafa bisa diajak kerja sama dalam kelompok?"bisik bu Titi. Aku mengangguk, "Kita bagi-bagi kerjaan kok bu."ucapku lalu kembali duduk.

"Panggilan. Panggilan kepada semua guru yang sedang mengajar harap pergi ke ruang guru sebentar karena ada briefing."

"Anak-anak baca buku halaman 75 sampai 80 ya!"ucap bu Titi meninggalkan kelas. Seketika suasana kelas ricuh. Bahkan satu sekolah ricuh. Banyak anak yang pergi keluar dari kelasnya.

"Hai!"sapa Reza duduk di depanku. "Oooooo, gini lo Za sekarang? Deketin Lily yee!"goda Sarah menunjuk-nunjuk wajah Reza. "Paan sih!"ucapnya menepis tangannya. "Vanno mana?"tanya Reza. "Tadinya udah siap buat berangkat, trus bokap nyokap gue tiba-tiba muncul di depan rumah abis dari Bali. Akhirnya nyokap gue ngurung Vanno di rumah."ucapku.

"Wah, nyokap lo care banget ya sama Vanno?"ucap Reza.

Braaakkk!!

Aku menoleh dan melihat Rafa terbangun dari tidurnya. "Berisik amat sih lo! Ganggu orang tidur aja!"ucapnya kesal lalu pergi.

Aku langsung pergi ikut mengejarnya. Aku menahan tangannya, "Gue minta maaf! Oke? Gue gatau kenapa lo kek gini, tapi gue minta maaf atas salah keluarga gue!"ucapku kesal.

Ia menepis tanganku hingga aku terjatuh. "Lily!"ucap Reza dan Sarah membantuku berdiri. "Stop jadi korban. Karena selama ini gue korbannya."ucapnya lalu pergi.

Aku hendak mengejarnya lagi namun Reza menahanku. "Stop, Lily. Udah. Cukup lo urusan sama Rafa hari ini."ucap Sarah. Perlahan aku melihat punggungnya menjauh dan menghilang. "Fine. Gue mau ke UKS."ucapku menepis tangan Sarah dan Reza.

"Tadi saya jatoh, bu."ucapku pada perawat di UKS. "Hati-hati ya, nak lain kali."ucapnya mengoleskan obat merah lalu memberikan plester. "Saya tinggal dulu ya."ucap perawat itu pergi. "Hey."ucap Sarah masuk ke UKS. Aku hanya tersenyum menyapanya. "Lo gapapa?"tanya Sarah duduk di sampingku.

"Hidup gue ga pernah baik-baik aja, tapi gue yakin gue bakal baik-baik aja."ucapku mencoba tersenyum. Sarah memelukku erat dan tiba-tiba aku meneteskan air mata. "Rasanya sakit, Sar. Sakit banget pas gue liat kembaran gue babak belur."ucapku.

"Ssshhh udah gapapa. Gue yakin Vanno orang yang kuat kok."ucap Sarah menenangkanku. "Gue pengen banget tau apa kesalahan keluarga gue sampek Rafa tega mukulin Vanno."ucapku. "Mungkin nanti lo bakal tau, udah jangan nangis lagi. Yuk masuk ke kelas."ucapnya menarik tanganku.

Aku mencoba fokus dalam pelajaran namun tak bisa. Seusai sekolah, aku sudah hendak menelfon mang Ujang namun sesuatu menangkap mataku. Rafa bersandar di motor gede yang terparkir di depan gerbang sekolah.

Ia tiba-tiba mengikatkan jaketnya di pinggangku lalu menaiki motornya. "Lily?"

Aku menoleh dan melihat Reza. "Elo mau pulang, gue anterin yuk."ucapnya. "Gue yang bakal nganterin dia pulang. Buruan naik."ucap Rafa. "Lain kali ya, Za."ucapku naik ke atas motornya dan kami pergi.

Aku tak mempertanyakan pada Rafa kemana aku akan pergi. Aku cukup percaya padanya dan membiarkannya. Jujur saja ini pertama kalinya aku menaiki motor. Karena sebelumnya aku tak boleh sama sekali menaiki motor.

Aku melebarkan tanganku ke udara dan tersenyum lebar. Menikmati hembusan angin yang menyapa wajahku dan membuat menari rambutku.

"Lo ga pernah naik motor?"tanya Rafa. "Gue gaboleh naik motor selama ini. Enak ya ternyata!"ucapku senang.

Aku sampai di sebuah taman hiburan. Mataku terpukau dengan semua lampu yang berkedip-kedip. Mulutku tak henti-hentinya berucap wow ketika melihat semua wahana yang ada. "Jangan bilang ini pertama kalinya lo ke sini."ucap Rafa. Aku hanya diam dan masuk.

Aku berkeliling dan melihat-lihat semua wahana. "Naik itu yuk!"ucapku menarik tangannya. Wahana itu menurutku cukup menyenangkan karena kita duduk dan kita dibawa ke atas lalu dijatuhkan dan dinaikkan lagi.

Aku mencoba berbagai wahana dengan Rafa dan merasa sangat senang. Wahana terakhir adalah bianglala. Sambil memakan eskrim, aku menaikinya dengan Rafa.

"Eh tunggu dulu! By the way napa lo ajak gue ke sini?"tanyaku. "Hmm tadinya gue mau ngasih tau lo sebenernya kenapa gue benci keluarga lo, tapi gausah lah."ucapnya. "Eh jangan! Please kasih tau gue. Please banget, biar gue juga bisa memperbaiki biar gaada orang yang sakit hati lagi."ucapku memaksanya.

Malam itu, aku menyesal. Aku benar-benar menyesal sudah memaksanya menceritakan semuanya. Kini perkataannya menghantuiku seumur hidup.

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang