Depression

10 1 0
                                    

Author point of view

"Gue takut dia ngapa-ngapain."ucap Afran saat Lily mematikan telfonnya. "Kedengeran ga dia lagi dimana gitu?"tanya Rafa, Afran menggeleng. Kini berganti Rafa yang terus menghubungi Lily namun nomornya tak aktif.

Rafa mencoba menghubungi Vanno dan ia tak menyangka Vanno akan mengangkatnya. "She is fine."ucap Vanno. "Dia lagi ngelakuin hobbynya mending jangan diganggu."ucap Vanno lalu mematikan telfonnya.

Rafa dan Afran menggeleng, "Tapi jelas, dia lagi ada di rumah."ucap Rafa.

Vanno mencoba mengetuk pintu kamar adiknya namun tak ada jawaban. "Berat ya, Lil? Gue juga berat ngadepinnya."ucap Vanno bersandar di depan pintu kamar Lily. "Apalagi penyakit lo—"

Omongannya terhenti. Ia seakan baru mengingat nasib malang saudaranya. "Lily! Lily buka pintunya!"ucapnya kali ini menggedor-gedor pintu kamarnya.

"Gue gamau liat lo... mama atau papa.... pergi..."

Meski pelan, Vanno bisa mendengar suara Lily. "Lil, gue minta maaf. Dengerin gue, buka pintunya trus kita ngobrol oke?"ucap Vanno menggedor pintunya namun Lily tak bergeming. Vanno tak tau, di dalam kamarnya, Lily sudah rela melepas semuanya. Ia tak lagi menghilangkan kesakitannya dengan obat. Ia.... kini menerima rasa sakitnya.

Keesokan paginya, Rafa dan Afran sudah berada di rumah keluarga Ananta. "Dari kemaren dia ga keluar kamar."ucap Vanno mengantar mereka ke kamar Lily.

Kini berganti Rafa yang menggedor kamar Lily, "Lily? Lil ini gue! Gue bawa barang-barang lo yang ketinggalan nih."ucap Rafa namun kini tak ada jawaban.

"Kunci serep?"tanya Afran. Vanno menggeleng, "Selama kunci dari dalem ga dicabut, kunci serep ga berfungsi."ucap Vanno. Robert dan Rose ikut datang ke depan kamar Lily.

"Sayang, maafin mama ya. Tolong buka pintunya sayang."ucap ibu Lily. Robert sudah tak tahan lagi. Ia mendobrak pintu kamar anak perempuannya. Rafa dan Afran pun membantu.

Setelah pintu terbuka, semuanya kaget dengan keadaan kamar Lily. Kamar Lily sangat berantakan. Lukisan yang ia buat berserakan di lantai. Kamarnya sangat redup karena jendelanya ditutup dan kamarnya hanya menyalakan lampu tidur.

Mereka semua masuk dan melihat Lily duduk di pojok kamarnya dengan keadaan memeluk kedua lututnya. "Lily?"panggil Vanno. Vanno mendekat ke arah saudaranya dan menyentuhnya. Tubuh Lily jatuh ke dalam pelukan Vanno dengan posisi terdapat darah di mulutnya.

"Lily!! Bangun, Lily!"teriak Vanno. Afran langsung maju dan mengecek detak jantung Lily. "Rafa panggil ambulance sekarang!"ucap Afran lalu memberikan CPR pada Lily. "Lima menit lagi mereka dateng, kak."ucap Rafa setelah menelfon ambulance.

"Lily dengerin suara saya. Kamu harus bertahan apapun yang terjadi."ucap Afran terus memompa dada Lily. "Maafin gue, Lil."ucap Vanno yang panik melihat saudaranya masih belum sadar.

Tak lama, Afran menggendong Lily dan menuruni tangga. Sesaat ambulance datang, Afran meletakkan Lily di atas tempat tidur dan ia masuk ke ambulance. "Ketemu sama gue di RS!"ucap Afran sebelum pintu ambulance tertutup.

"Dia bakalan baik-baik aja kan?"tanya Vanno. "Buruan."ucap Rafa menaiki mobilnya. "Mama sama papa mending di sini dulu aja. Ntar kalo Lily udah sadar, Vanno kabarin."ucap Vanno naik ke mobil Rafa dan mereka mengikuti di belakang ambulance.

***

Vanno dan Rafa menunggu cemas di depan ruang ICU. Sudah tiga jam namun Afran belum keluar memberi kabar apa-apa. Rafa pergi membeli kopi untuk Vanno lalu kembali.

"Gue udah kayak idiot, Raf..."ucap Vanno lemas. "Gue terlalu mikirin bokap sama nyokap gue tanpa tau.... gue masih ada Lily..."ucap Vanno meneteskan air matanya. "Gue gatau apa yang bakal terjadi ama gue kalo dia gaada."

Rafa menepuk bahu Vanno, "Sodara lo, cewek terkuat yang pernah gue temuin."ucap Rafa.

Tak lama Afran keluar dari ICU dan menemui mereka. "Sementara dia masih harus di dalem ICU buat di pantau dan belum bisa dijenguk."ucap Afran. "Tapi dia gapapa kan?"tanya Vanno. Afran mengangguk, "Dia bakal baik-baik aja, kok."ucap Afran.

Nafas lega keluar dari Vanno dan Rafa. "Gue mau pulang duluan ya. Mau ngabarin orang tua gue."ucap Vanno pergi. Rafa menatap kakaknya, "Jujur, kak. Emang dia segitu gabisanya di jenguk?"tanya Rafa.

Afran tersenyum lalu menggeleng, "Dia ga pengen ketemu siapa-siapa, Raf. Bahkan yang bikin gue kaget, dia gamau diselametin. Dia cerita ke gue obat-obatnya dibuang ke closet."ucap Afran.

Semua karena gue. Karena gue ngasih tau alasan gue ngebenci keluarganya. Maafin gue, Lil. Gue udah ngerusak keluarga dan harapan hidup lo, batin Rafa.

"Lo tau kan kalo lo larang gue, gue tetep masuk?"tanya Rafa. "I know."balas Afran tersenyum. "Pake dulu baju khususnya."ucap Afran lalu pergi mengecek pasien lain.

Rafa memakai baju khusus yang harus dipakai lalu masuk. Ia mencari Lily dan menemukannya. Dari jauh, ia melihat Lily yang terus meneteskan air matanya namun tak menangis keras. Rafa mendekat ke arahnya, meski senyumnya tertutup masker, Lily bisa melihat Rafa sedang tersenyum.

"Gue udah bilang ke dokter Afran gue gabisa dijenguk."ucap Lily. "Ya, dia juga tau gue bakal masuk apapun yang terjadi."balas Rafa. Kini Lily diam, ia tak ingin menatap laki-laki di depannya.

"Berat banget?"tanya Rafa. Lily hanya menjawab dengan mengangkat bahu. "Waktu gue tau bokap gue tiba-tiba mukulin nyokap gue karena belain nyokap lo, gue hampir bunuh diri."ucap Rafa tertawa sedih. Lily langsung menatap Rafa. Matanya menyiratkan kesedihan yang dalam.

"Tapi yang bikin gue marah, tiap gue bunuh diri, kak Afran pasti nemuin gue dan obatin gue."kata Rafa memegang pergelangan tangannya. Lily melihat ke arah tangannya dan melihat sayatan-sayatan.

Perlahan Lily memegang bekas sayatan itu dan membuatnya menangis. "Maafin gue..."ucap Lily menangis namun Rafa dengan cepat menghapus air matanya. "Gue ceritain ini biar lo ga ngelakuin hal bodoh yang gue lakuin dulu. Buka mata lo lebar. Lo masih punya keluarga dan temen yang sayang sama lo."ucap Rafa sambil membelai rambut Lily.

Lily bangun dari tidurnya dan memeluk Rafa erat. Rafa menganggap pelukan Lily hanyalah emosi yang dialami Lily setelah mendengar perkataan Rafa. Tapi bagi Lily, pelukannya adalah sebuah obat. Obat yang akan menenangkannya.

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang