Broken

13 1 0
                                    

Setelah Rafa mengantarku pulang hari itu, kondisiku makin memburuk. Aku tak berani menceritakannya bahkan pada Vanno. Semua kusimpan erat sendiri.

Pagi itu aku bersekolah seperti biasa dan menutupi semuanya seperti yang biasa kulakukan.

Pagi itu aku bersekolah seperti biasa dan menutupi semuanya seperti yang biasa kulakukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tersenyum lebar saat menuruni tangga, "Pagi semua!"ucapku duduk di samping Vanno. "Wah kayaknya makin sehat lu sekarang. Dah balik berisik lagi."ucap Vanno. "Gasuka lo gue sehat?!"ucapku menyenggolnya.

Sekolah ku jalani dengan banyak melamun. Aku benar-benar sudah tak sanggup lagi menjalani semuanya.

Tiba-tiba aku terbatuk terus menerus. "Lily! Tolong keluar jangan berisik di kelas saya."ucap pak Anton. Aku segera berlari ke kamar mandi. Aku terbatuk terus menerus hingga aku melihat darah keluar dari mulutku.

Aku mencuci tanganku lalu berkumur. Aku langsung menelfon dokter Afran dan menceritakan semuanya. "Lily, sekarang juga kamu ke rumah sakit. Saya harus cek kondisi kamu."ucap dokter Afran.

Aku segera keluar dari kamar mandi namun tak sengaja menabrak seseorang. "Hey, lo gapapa?"tanya Rafa. "Tolong anterin.... gue ke rumah sakit... dan tolong.... jangan bilang siapa.... pun."ucapku lalu pingsan.

×××

Aku membuka mataku dan melihat dokter Afran berbicara dengan Rafa.

"Gue perlu tau dia sakit apa, kak!"paksa Rafa.

Ah? Kakak?

"Lo tau kan rahasia pasien? Lagian lo ga berhak tau apa penyakitnya. Gue cuman mau terima kasih ama lo karena udah bawa dia ke sini tanpa kasih tau siapapun."ucap dokter Afran. Rafa terlihat down dengan perkataan dokter Afran.

"Udah, dek. Gue yakin dia bakal baik-baik aja."ucap dokter Afran memegang pundak Rafa. "Dok..ter.."ucapku pelan.

Dokter Afran dan Rafa mendekat ke arahku. Dokter Afran mengarahkan senternya ke mataku lalu mengecek nadiku. "Saya sudah bilang kan? Jangan terlalu stress, Lily."ucap dokter Afran. Aku tersenyum kecil, "Seberapa parah, dok?"tanyaku. Dokter Afran diam seperti tak enak hendak mengatakannya.

"Dok? Saya beneran gapapa kok buat denger."ucapku. "Di tahap sekarang, cuma donor sumsum tulang belakang yang bisa nyembuhin kamu. Meskipun cuma 0.1 persen."ucap dokter Afran.

Aku tersenyum, "Saya boleh minta waktu sendiri?"tanyaku. "Ayo, dek."ucap dokter Afran menarik Rafa pergi.

Tangisku langsung pecah saat mereka keluar. Aku menutup wajahku rapat. Aku tak ingin membebani keluargaku tapi aku terlalu lemah untuk menanggung semuanya sendirian.

Keesokan harinya aku memutuskan untuk pulang, namun dokter Afran berpesan agar kini cuci darahku dilakukan setiap dua hari sekali bukan lagi seminggu sekali.

Sesampai di rumah, keluargaku menyambutku seperti biasa. Karena aku berpamitan dengan mereka untuk mengerjakan tugas kelompok dengan Sarah dan Sarah sudah bekerja sama denganku.

"Eh jadwal cuci darah lo minggu depan gue yang anter ya!"ucap Vanno. "Tumben?"tanyaku sambil meminum air. "Dipaksa mama. Katanya dokter yang rawat lo baik, ganteng, pinter pula. Kan gue udah menuhin semua itu ya?"ucap Vanno. Mama langsung mendorong kepala Vanno dengan satu jari.

"Vanno mama suruh nanya-nanya ke dokter Afran. Kan Vanno pengen jadi dokter, mungkin ada tips gitu sayang."ucap mama. "Ohh gitu."jawabku.

Tak lama, bel rumahku berbunyi dan mama membukakan pintunya. "Kamu.... ngapain ke sini?"tanya mama. Aku dan Vanno mendekat ke arah pintu dan melihat Rafa berdiri di sana. "Saya cuman mau ketemu Lily, tante. Bukan urusan lain."ucapnya tegas. "Biarin dia masuk, mah."ucap Vanno. Mama pun mengalah dan masuk ke kamarnya.

"Napa lo mau ketemu sodara gue?"tanya Vanno. "Gue gaada urusan sama lo. Adanya sama dia."ucap Rafa menunjukku. "Urusan dia juga uru—" "Stop!"teriakku kesal. "Ngomong di luar."ucapku pergi ke halaman belakang diikuti Rafa.

"Kenapa?"tanyaku. "Berapa lama?"tanya Rafa. "Apanya?"tanyaku. "Penyakit lo?"tanya Rafa lagi. Aku diam, "Udah dari SMP, tapi gue telat sadarnya."ucapku. "Pasti gara-gara gue lo makin parah. Harusnya gue ga ngasih tau alasan kenapa gue benci lo dan keluarga lo."ucap Rafa.

"Emang apa?"

Aku menoleh dan melihat Vanno di belakangku. "Apa yang buat lo tiba-tiba ngebenci gue dan keluarga gue?"tanya Vanno. "Vanno udah. Mending lo masuk."ucapku mendorongnya namun ia melepas tanganku. "Apa alesan lo?"tanya Vanno. Aku menoleh ke arah Rafa dan menggeleng.

"Nyokap lo selingkuh sama bokap gue."ucap Rafa. Aku melihat raut wajah Vanno yang kaget sekaligus marah. "Yang bener lo kalo ngomong, anjing!"teriak Vanno.

Rafa tertawa mengejek, "Hidup gue sempurna, sampek nyokap lo kegatelan ke bokap gue. Apa lo tau? Gara-gara nyokap lo, bokap gue sering mukul nyokap gue dan gue yang maksa nyokap gue buat cerai sama bokap gue!"ucap Rafa sama marahnya.

Vanno menarik kerah baju Rafa ke dalam rumah seperti orang gila. "Mama! Papa!"teriaknya marah. Seketika papa dan marah keluar dari kamarnya. "Ada apa ini Vanno?"tanya papa. "Bajingan ini ngomong kalo mama udah selingkuh sama bokapnya sampek bikin mereka cerai. Apa bener itu semua?!"ucap Vanno.

"Vanno, sudah cukup!"ucap mama mencoba melepas cegkraman tangan Vanno. "Jawab pertanyaan Vanno, mah!"bentak Vanno menepis tangan mama.

"Ah, mama diem berarti beneran ya?"ucap Vanno melepas cengkramannya pada Rafa. "Apa papa udah tau?"tanya Vanno. "Jawab Vanno, pah!"teriak Vanno. "Vanno sudah cukup!"ucap papa menariknya namun Vanno melepaskannya lagi.

"Vanno malu, mah, pah. Malu sama keluarga Rafa!"teriak Vanno hingga menangis. Tak pernah kulihat Vanno menangis. Karena ia anak yang paling kuat yang pernah ku temui.

"Maafin, mama ya sayang! Maafin—"

"Cukup....."ucapku pelan.

Kini semua perhatian tertuju padaku. "Lily perlu ketenangan buat ngerjain tugas."ucapku berjalan pelan ke kamarku. Aku sudah duduk di kursi belajarku dan memegang pulpen. Namun suara papa, mama, Vanno dan Rafa masih terdengar dari kamarku.

Mereka terus memperdebatkan semuanya dan melupakanku. Seolah dunia berputar hanya pada mereka. Air mata mulai menetes perlahan dari mataku. Aku membuat semua hal yang ada di meja belajarku dan menangis deras.

Aku menyalakan shower kamar mandiku dan duduk di bawah pancuran airnya. Aku memeluk kedua kakiku dan menangis.

Aku memang akan segera mati. Tapi, apakah permintaanku terlalu berat? Permintaan agar ada orang tua yang saling menyayangi mensupportku? Permintaan agar saudara kembarku menyanyangiku dan terus berada di sampingku? Apa semua itu terlalu berat?

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang