The Surgery

13 1 0
                                    

Kami harus pulang lebih cepat untuk melakukan operasi di Indonesia. Aku tak bisa menghilangkan senyuman di wajahku.

Sesampai di Indonesia, kami semua langsung bergegas ke rumah sakit. "Hai!"sapa dokter Rachel saat melihatku. Aku berlari ke arahnya dan memeluknya erat. "Makasih banyak, dok."ucapku. Dokter Rachel mengusap rambutku, "Sama-sama. Yuk siap-siap."ucapnya mengajakku.

Kini aku berbaring di kamar rawat inap dengan semua keluargaku. Tak lama, seorang ibu masuk ke kamarku ditemani seorang suster.

"Permisi, ini bu Nada, ibu dari anak yang mau mendonorkan sum-sum tulang belakangnya."ucap suster itu. Kini mama yang memeluk erat bu Nada dan tak henti mengatakan terima kasih.

"Sama-sama bu. Anak saya, sudah tak memiliki harapan hidup. Ia berpesan pada saya untuk mendonorkan semua organnya untuk orang yang lebih membutuhkan. Maka dari itu, saya juga ingin Lily punya harapan hidup."ucap bu Nada. Aku bangun dari tempat tidurku dan memeluknya. "Makasih banyak, bu."ucapku.

Setelah bu Nada pergi, dokter Afran dan dokter Rachel masuk ke kamarku. Ingin rasanya aku berpaling dan tak ingin menerima kebaikan apapun dari keluarga dokter Afran.

"Besok pagi, Lily akan dijadwalkan operasi sum-sum tulang belakang. Saya akan mengoperasinya dibantu dengan dokter Rachel."ucap dokter Afran. "Banyak istirahat ya."ucapnya lagi sambil memegang pundakku. "Kalau begitu saya permisi dulu."ucap dokter Afran pergi.

Aku berlari kecil dan mengejar dokter Afran yang sudah keluar dari kamarku. "Bisa saya bicara sama dokter Afran sebentar?"tanyaku. Dokter Afran dan dokter Rachel saling bertatapan lalu dokter Rachel pergi.

Dokter Afran mengambil kursi roda dan menyuruhku duduk. Ia lalu mendorongku. Ia membawaku ke rooftop rumah sakit dan kami duduk dalam diam menikmati pemandangan malam.

Dokter Afran menyelimutiku dengan jas dokternya lalu duduk di sampingku. "Makasih banyak udah bantu saya, dok."ucapku. "Udah jadi pekerjaan saya."jawabnya. "Rafa..."

Aku diam menatap dokter Afran. "Dia baik-baik aja."lanjut dokter Afran. Aku tersenyum, "Saya tidak mau tau kok, dok."jawabku. "Trus kenapa kamu mau ngobrol sama saya?"tanya dokter Afran. Aku tersenyum dan menatap dokter Afran.

***

Aku membuka mataku dan melihat semua keluargaku. "Gue udah sehat?"ucapku membuat semuanya menoleh ke arahku dan tertawa. "Gimana perasaan lo?"tanya Vanno. "Never been better."balasku.

Tak lama dokter Afran dan dokter Rachel masuk ke dalam kamarku. "Selamat ya! Operasi kamu berjalan lancar."ucap dokter Rachel. "Terima kasih, dok."ucapku menatap dokter Afran. Ia terlihat susah tersenyum, "Mungkin akan sedikit susah untuk Lily adaptasi dengan kondisinya sekarang jadi ia tak boleh terlalu capek."ucap dokter Afran lalu mereka pergi.

Kami bercanda bersama sepanjang hari hingga bu Nada dengan mata sembab masuk ke kamarku. "Tinggalin Lily sendiri ya."ucapku pada mereka semua. Vanno, mama dan papa pun pergi meninggalkanku berdua dengan bu Nada.

Ia menangis lalu berlari memelukku. "Areta adalah cewek pemberani, bu. Perjuangannya membuat saya kagum."ucapku menepuk-nepuk punggung bu Nada. Bu Nada hanya diam dan menumpahkan semuanya di pundakku.

>>>

Hari ini adalah hari penentuan persidangan kedua orang tuaku. Vanno mengajakku namun aku menolaknya dengan alasan aku punya janji dengan seseorang.

Setelah Vanno, mama dan papa berangkat, aku segera bersiap-siap. Mengenakan pakaian terbaikku lalu masuk ke kamar Vanno. Aku mengutak-atik barang di kamarnya lalu pergi.

Aku mengklakson rumah minimalis di depanku dan membuat seorang laki-laki keluar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengklakson rumah minimalis di depanku dan membuat seorang laki-laki keluar. Ia menatapku bingung dan aku tersenyum. "Ayo!"ajakku. Ia masuk ke dalam mobilku dan kami pergi.

"Gue gapaham sama—"

"Jadi pacar gue."ucapku memotong perkataannya. "Jadi cowok gue sehari ini aja. Besok kita putus."ucapku. Ia tertawa mengejek, "Maksud lo apa sih?!"ucapnya kesal.

Aku membanting setirku ke kiri dan menepi. "Hari ini sidang bokap nyokap gue."ucapku pelan. Aku menatapnya, "Gue takut mereka tetep cerai. Makanya gue butuh elo... buat... ngelupain itu semua."ucapku berusaha tersenyum.

"Fine. Gue mau jadi pacar lo."ucapnya. Aku tersenyum dan kembali menyetir. Hal pertama yang kuinginkan adalah pergi menonton, lalu kami pergi makan, membeli permen kapas dan memakannya bersama, lalu memasang gembok cinta di taman hiburan dan terakhir melihat kembang api di pinggir sungai.

Kami melakukan semuanya dan terlihat seperti pasangan. Senyum tak pernah hilang di wajahku. Aku sangat bahagia. Hingga saatnya kami memasang gembok. "Eh, pasangan baru ya?"ucap seorang perempuan tua menghampiri kami.

"Sebelum memasang gemboknya, bikin satu permintaan ya trus baru di pasang."ucapnya tersenyum lalu pergi. "Ayo! Make a wish!"ucapku memejamkan mata.

Makasih Tuhan udah kirim dia buat gue, dan sekarang buat dia lupain gue...

"Yuk!"ajakku setelah memejamkan mata.

Kami berada di pinggir sungai dengan beberapa pasangan lainnya. Rafa memakaikan jaketnya padaku dan aku bersandar di pundaknya.

"Gimana keadaan lo?"tanya Rafa. Aku tersenyum kecil, "Bukannya lo tau gimana gue dari kakak lo?"tanyaku. Rafa balas tertawa, "Yayaya gue tau juga lo tadi pagi operasi. Gimana? Udah sehat walafiat lo sekarang?"tanya Rafa.

Aku mengangguk, "Gue ga pernah sebaik ini."balasku.

Beberapa kembang api dinyalakan dan mengembang di atas langit. Langit hitam malam dihiasi warna warni kembang api. Aku mengambil gambar setiap kembang api melalui mataku lalu memejamkan mataku.

Ya Tuhan... apakah harus sesakit ini?

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang