(not) Healing

16 1 0
                                    

Lily point of view

Selama di dalam ICU, dokter Afran dan Rafa sering menjengukku dengan diam-diam agar keluargaku percaya aku tak bisa dijenguk.

"Hari ini lo harus pulang."ucap Rafa. Aku mengangguk, "Emang gue punya pilihan lain?"godaku.

"Gue tunggu di lobby yah."ucap Rafa tersenyum lalu pergi meninggalkanku. "Aaarrgghhh...."aku merintih kesakitan setelah Rafa meninggalkanku.

Aku sudah menahannya daritadi dan saat ia meninggalkanku aku tak lagi bisa menahannya. Aku tau, kondisiku sama sekali tak membaik dan bahkan makin parah.

Aku berjalan sendirian keluar rumah sakit dan berpapasan dengan dokter Rachel. "Lily bukan sih?"sapanya. Aku tersenyum dan mengangguk. "Cari Afran? Afran masih operasi pasien."ucapnya. Aku menggeleng, "Dokter... kalo boleh saya minta tolong, boleh ngga dokter Rachel aja yang rawat saya? Bukan dokter Afran."ucapku.

"Loh? Kenapa memangnya?"tanya dokter Rachel. Belum menjawab kakiku melemas dan aku jatuh namun dokter Rachel menahanku. "Lily?!"ucapnya panik. "Saya gapapa, dok."ucapku terbatuk. Dokter Rachel membantuku berdiri dan ia menatapku bingung.

"Tolong, dok. Saya tau, kondisi saya makin buruk. Saya cuman gamau siapapun tau dan hanya dokter Rachel yang saya percaya."ucapku. "Oke. Nanti akan saya usahakan. Kamu cepat sembuh ya."ucapnya mengusap kepalaku. Aku tersenyum sambil mengangguk lalu pergi.

"Lama banget?"tanya Rafa saat aku masuk ke dalam mobilnya. "Gue pamitan sama suster dan dokter di sana. Gue bilang gue ga akan balik lagi."godaku. "Hah?"

Bukan tertawa Rafa justru kaget. Aku tertawa dan mencoba mencairkan suasana. "Hah hoh hah hoh. Canda kali, lagian dua hari lagi gue harus cuci darah."balasku.

Sesampai di rumah, aku memasang senyum terbaikku saat menyambut keluargaku. Papa dan mama yang pertama kali memelukku erat. Aku memejamkan mataku dan mencoba meresapi semuanya. "Welcome home."bisik mama.

Aku melepas pelukan mereka dan beralih memeluk Vanno. Dengan Vanno, aku juga memejamkan mataku agar aku mengingat setiap detailnya dalam memoriku. "Hai."ucapnya. "Hey."balasku.

Kami semua duduk di meja makan dengan keadaan canggung. Mungkin mereka terpaksa terlihat bahagia di depanku agar aku tak kumat. Namun aku malah membencinya.

"Mah, pah. Maaf kalo Lily lancang."ucapku membuka obrolan. "Tapi sebenernya, kejadian mama itu, papa tau ga sih?"tanyaku. Papa diam sejenak lalu mengangguk, "Papa tau dan awalnya papa marah. Tapi gatau, mungkin karena papa terlalu cinta papa maafin mama kamu."ucap papa.

"Trus kenapa cerai, pah?"tanyaku. "Gue. Karena gue."jawab Vanno. "Gue kira ini hukuman yang pas biar kita imbang sama keluarganya Rafa."lanjut Vanno.

"Memang gaada keluarga yang sempurna di dunia ini."ucapku. "Tapi, boleh ga Lily minta setelah sidang perceraian papa dan mama besok, papa sama mama masih bareng tinggal di sini sama Vanno juga. Buat seminggu aja mah, pah. Buat Lily adaptasi."pintaku.

Papa dan mama bertatapan satu sama lain dan akhirnya setuju. "Makasih."ucapku tersenyum bahagia.

Aku duduk di balkon kamarku yang kini sudah bersih dan rapih. Aku duduk di sana sambil mengamati papa yang membaca koran dan mama yang sedang meminum teh sambil berkutat dengan laptopnya. Hingga seseorang duduk di sampingku dan ikut mengamati.

"Maafin gue ya. Akhir-akhir ini gue egois banget gamau mikirin perasaan lo."ucap Vanno. Aku tersenyum lalu bersandar di pundaknya, "Gapapa, Van. Semua orang punya caranya masing-masing buat lewatin masalah."ucapku.

"Gimana kondisi lo? Bukan maksud gue gamau jenguk lo, cuman lo sama sekali gabisa dikunjungin."ucap Vanno. "Baik dong! Kondisi gue masih sama kayak kemaren-kemaren kok. Baik-baik aja."ucapku. "Bagus deh. Gue seneng dengernya."ucap Vanno.

Setelah itu, aku dan Vanno duduk dalam diam menikmati sunset yang turun perlahan. "Lo belom mandi sore ya."

Aku duduk tegap dan tak lagi bersandar pada Vanno. "Kayak lo udah mandi aja."cibirku. Ia tertawa kecil lalu meninggalkanku. Aku memegang erat perutku. Sakit luar biasa menyerangku dan membuatku kesulitan bernafas. Aku menguatkan diriku lalu masuk ke kamarku. Aku mencari-cari inhealerku dan tak ketemu.

Tok tok tok!!

"Lil, abis mandi ikut makan malem diluar yuk!"ajak Vanno.

Mampus. Gue ga akan kuat nahan sakitnya....

"Gue skip Van, mau..." Aku tiba-tiba kehilangan nafas. "Tidur cantik!"balasku setelah mendapat nafasku. "Yaelah! Yodah deh tidur sono."ucap Vanno melangkah pergi dari depan kamarku.

Aku tak kuat lagi dan pingsan.

"Lily?! Lily bangun, Lil!"

Aku membuka mataku dan melihat Vanno. "Aduh apaan sih, Van. Lo ganggu tidur gue."ucapku berpura-pura kesal. "Heh? Lo tidur lama amat woy!"ucap Vanno. "Emang sekarang jam berapa sih?"tanyaku. "Jam tujuh pagi! Buruan siap-siap, pagi ini kan sidang cerai bokap nyokap."ucap Vanno mengangkatku berdiri.

"Iyadeh."jawabku lemas sambil meregangkan badan. "Gile... seenak itu ya tidur lo? Ampek jatoh-jatoh ke bawah segala."ucap Vanno terkekeh. "Ah pantes. Di mimpi gue, gue lagi gulung-gulung di pasir pantai."ucapku masuk ke kamar mandi.

Aku menahan sakitku dan bersiap-siap untuk pergi.

Saat sampai di depan rumah, Vanno menyambutku dengan senyuman hangat khasnya dan mengulurkan tangannya padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat sampai di depan rumah, Vanno menyambutku dengan senyuman hangat khasnya dan mengulurkan tangannya padaku. Aku membalas senyumannya dan meraih tangannya. Rasa aman adalah rasa yang muncul saat aku menggenggam tangan Vanno. Seakan apapun hasil sidang perceraian nanti tak akan bisa memisahkan kita.

Momen ini.... momen yang tak akan kulupakan.

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang