Holiday

18 1 0
                                    

Saat aku dan Vanno hendak masuk ke mobil, aku melihat Rafa berdiri di depan rumahku. "Gue tunggu di dalem ya."ucap Vanno masuk lebih dulu ke dalam mobil. "Lo? Ngapain?"tanyaku. "Just checking on you."balasnya. "Gue baik-baik aja."jawabku. Ia tiba-tiba memelukku erat.

"Apapun yang terjadi nanti, gue bakal nemenin lo."

Pelukan hangat itu harus berakhir. Aku langsung melepasnya.

"Maybe you shouldnt."ucapku. "Hah?"tanya Rafa. "Gue berterima kasih banget sama lo karena udah nemenin gue selama ini di rumah sakit atau bahkan nemenin gue waktu gue butuh seseorang."ucapku memegang tangannya.

"Tapi gue gabisa lagi utang budi sama lo. Mending lo kasarin gue lagi seumur hidup lo. Nerima kebaikan dari lo atau dokter Afran, bikin gue makin sedih. Gue minta maaf dan mau terima kasih."ucapku berusaha tersenyum.

Rafa terlihat membeku setelah mendengar ucapanku. "Bye, Rafael."ucapku melepas tangannya lalu masuk ke dalam mobil.

Aku menutup mataku, agar menahan air mataku menetes. "Lo ngomong apa ke Rafa? Lama gitu?"tanya Vanno. "Tugas kelompok."jawabku tak acuh. "Hadeehhh... lagi-lagi boong. Orang jelas-jelas udah gaada tugas kelompok lagi."balas Vanno.

Aku membuka mataku dan melihatnya dan nyengir se awkward mungkin.

"Setelah melihat semua aspek, hak asuh anak akan diputuskan pada minggu depan. Karena mengingat syarat yang diajukan oleh anak, orang tuanya harus bersama dalam seminggu penuh."

Setelah palu dipukul tanda sidang selesai, orang tuaku mendekat ke arah kami dan memeluk kami. Tak terasa aku meneteskan air mataku. Aku melepas pelukannya dan cepat-cepat menghapus air mataku. "Liburan bareng yuk!"ucapku senang.

Kami pulang dari persidangan dan menyiapkan semuanya. Kini kami berada di bandara. Aku menatap paspor dan boarding pass yang kugenggam erat. Memang kalau boleh jujur aku ingin melihat Rafa yang melepas kepergianku, bukan Reza.

"Ati-ati ye!"ucap Reza mengusap rambutku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis. "Bye, bro!"ucap Vanno memeluk Reza.

Kamipun masuk ke dalam pesawat dan aku duduk dengan Vanno. Sedangkan kedua orang tuaku duduk di samping kami. "Oh iya! Kita bolos sekolah dong?!"ucap Vanno panik. "Telat amat sih lo nyadarnya."ejekku.

Vanno tertawa kecil lalu menggenggam tanganku, "Semoga liburan kali ini bisa bikin keluarga kita eret lagi ya."ucapnya tersenyum. Aku mengangguk senang.

>>>

Sudah empat hari keluargaku berada di pulau pribadi milik teman papa. Keeratan keluargaku pun semakin dekat. Seakan kami melupakan semua yang terjadi di rumah. Namun, perjalanan ini akan berakhir dalam tiga hari lagi.

Selama di sini, aku tak pernah mengaktifkan nomor hpku yang lama karena nanti dokter Afran atau Rafa akan menghubungiku.

"Lily! Ayo foto bareng!!"ajak papa yang berada di pantai. Aku tersenyum kecil dan berlari ke arah papa. Aku mengembangkan senyum terbaikku dan menatap kamera.

Bruuukkk!!!

"Lilyy!!!!"

Yep. Aku mengira ini adalah akhir perjalananku. Perjalanan Lily Rose Ananta, gadis yang mengidap leukimia sudah berakhir.

Semua orang meneriakkan namaku ketika aku terjatuh. Aku masih memiliki kesadaran tetapi aku tak bisa menjawab mereka. Yang kulakukan hanya menatap lemas semua orang.

Vanno menggendongku masuk ke dalam helikopter yang dipanggil papa. Sementara papa dan mama menaiki speed boat.

"Gue... gapapa, Van...."ucapku lemas. "Iya. Gue tau kok kalo lo gapapa."balas Vanno tersenyum. "Kalo bisa..... jangan bikin papa...."ucapku terhenti. "Sama mama.... cerai, Van. Mereka saling... cinta, kok."ucapku melanjutkan.

"Iya, gue janji bikin mereka balik."ucap Vanno meneteskan air matanya. Dengan lemas aku menghapus air matanya.

"Arrrgghhhh....."ucapku memegang perutku kesakitan. "Lily! Lily tunggu bentar lagi, Lil!"ucap Vanno panik. Aku terus mengerang kesakitan. Aku menggenggam keras jaket Vanno saat sakit di perutku semakin sakit.

Kami sampai di atap rumah sakit dan beberapa suster dan dokter merawatku. "Please take care of her."ucap Vanno harus berpisah denganku. "Dont worry, we will."ucap suster itu lalu mendorongku.

Entah apa yang mereka lakukan padaku namun aku tak sadarkan diri.

***

Aku membuka mataku dan kembali sadar aku sedang di ICU. Seorang dokter muda menghampiriku dan kaget melihatku sudah sadar. Ia berlari dan memanggil-manggil nama seseorang.

"I hate to say this, but you need a transplant imediately or..."

Dokter itu diam tak melanjutkan perkataannya karena menatapku yang sudah sedih. "I know, doc. Is just... no one contact me to transplant their organ to me. So, im ready if I have to.. go."ucapku tersenyum.

"No, umm... you were from Indonesia right? Is there any doctor that we can call?"tanya dokter itu lagi. "Yeah, you can call doctor Afr..."ucapanku terhenti. "Doctor Rachel. She is the one who take care of me. She is working at Royal Hospital."ucapku. "You."ucap salah satu dokter.

"Call the doctor. And you, give her pain killer for now."ucap dokter itu. "Excuse me."ucapnya lalu pergi.

Aku merasa baikan saat dokter yang sedang magang menyuntikkanku pereda nyeri. "Where is my brother?"tanyaku. "Ah he is outside with your mom and dad."ucapnya. "Can you call my brother? I wanna talk to him please."ucapku.

Ia tersenyum lalu keluar. Tak lama, Vanno masuk dan terlihat lega melihat kondisiku. "Gue mau nyelesehin liburan kita."ucapku. "Tapi, Lil. Lo kan masih—"

Aku menggeleng, "Please, Van. Gue mau nyelesehin liburan kita."ucapku menggenggam tangannya. "Kalo dokter ngijinin."ucapnya pergi.

Keesokan harinya dokter mengijinkanku pergi setelah aku cuci darah. Kami kembali ke pulau menaiki speed boat dan aku sangat senang. "Pah! Ajarin Lily yah!"ucapku pada papa yang sedang menyetir. "Nih, ini buat nambah kecepatan. Kamu nyetirnya ke arah sana ya."ucap papa mengajariku.

Sesampai di pulau, aku berlari ke arah mama dan membisikinya. "Mah, kita masak bareng yuk!"ajakku. Mama mengangguk dan kamipun memasak untuk makan malam.

Kami bersenda gurau sambil memakan hidangan laut yang mama dan aku buat. Tak lama, mama mendapat telfon dan harus mengangkatnya.

"Ini beneran, dok?!"

Semua orang menoleh ke arah mama. Mama terlihat kaget lalu mematikan telfonnya. "Ada yang mau donorin kamu, sayang!"ucap mama senang.

Raut wajahku berubah. Yang tadinya aku menyerah, kini aku semangat. Kami semua berpelukan dengan suasana haru dan senang. Penantianku kini terjawab dan aku akan sembuh!

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang