The Divorce

11 1 0
                                    

Aku bangun pagi dengan malas dan bersiap ke sekolah.

Saat aku turun, aku melihat semua orang sibuk memilih sarapannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat aku turun, aku melihat semua orang sibuk memilih sarapannya sendiri. Mereka tak duduk dalam satu meja yang sama. Aku memaksakan diriku untuk tersenyum dan berjalan ke arah mereka. "Pagi semua!"sapaku berusaha ceria.

"Pagi sayang."ucap papa. "Iya halo."ucap mama. "Buruan sarapan abis gitu berangkat."ucap Vanno.

Semua sapaan dingin keluargaku menusukku perlahan. Dengan fake smile ku, aku memakan sandwich di piringku dengan tak selera lalu meminum susu.

"Hari ini gue denger ujian harian pak Anton ya?"ucapku membuka pembicaraan. Vanno hanya mengangguk. "Aduh gue takut banget. Lo ntar contekin ke gue ya!"ucapku. Vanno kembali hanya mengangguk.

Jujur, Vanno lah yang paling hancur dalam keluargaku. Ia meninggalkan basket yang ia senangi demi merokok di rumah. Ia rela begadang demi belajar untuk melupakan semua kejadian yang terjadi. Hidupnya benar-benar rusak dan aku tak menyukainya.

"Eh iya! Gue denger hari ini pelatih basket—"

"Gue gamau ngomongin basket."ucap Vanno. "Hmm oke. Lo mau ngomongin apa?"tanyaku. Namun ia diam tak menggubrisnya. Aku menyalakan radio dan kebetulan lagu yang terputar adalah lagu kesukaannya.

"Eh! Lagu kesukaan lo!"ucapku senang. "Percayalah padakuuu aku pun rindu kamuuu!! Kuakan—"

Aku tak melanjutkan nyanyianku karena Vanno mematikannya. "Berisik."ucapnya lalu diam.

Aku tak akan menyerah. Aku akan berjuang mengembalikan keluargaku yang terlanjur rusak. Aku akan mengembalikan semuanya seperti semula.

Sesampai di sekolah, aku menggandeng lengan Vanno dan berjalan ceria. Namun ia tiba-tiba melepas tanganku dan berjalan seperti zombie ke kelas.

"Hey."sapa Sarah muncul di sampingku. "Hai."sapaku tersenyum sedih. "Its ok. Suatu hari gue yakin dia bakal balik kayak Vanno yang dulu."ucap Sarah. Aku tersenyum kecut, "Sar. Gue minta tolong jangan tinggalin dia di saat kek gini ya."ucapku. "Gue janji ga akan ninggalin dia. Lo tenang aja."ucap Sarah.

"Makasih."ucapku tersenyum. Ia pun menggandeng tanganku dan kami pergi ke kelas.

Sudah beberapa hari ini Sarah bernasib sama sepertiku, tak dihiraukan Vanno. Sarah pun tak berniat mundur, ia bahkan hendak mengganggu Vanno seterusnya hingga ia merespon Sarah.

Saat aku duduk di bangkuku, Rafa masuk tanpa terlambat. Ia duduk di sampingku dan menatapku. Aku mencoba tersenyum menutupinya dan ia balik tersenyum tipis.

"Woy! Bu Nana gamasuk! Katanya ada tugas kelompok yang harus dikumpulin pas sleseh pelajaran!"ucap Nadia. "Siapa aja kelompoknya?"tanya Rere. "Nih ada daftarnya."ucapnya meletakkan kertas di meja guru.

"Yey! Kita satu kelompok!"ucap Sarah berlari ke arahku. "Oh ya? Siapa lagi?"tanyaku. "Sama Vanno.... dan Rafa."ucap Sarah memelan.

Keadaan sangat awkward. Kami kini duduk berhadap-hadapan. Baik Vanno maupun Rafa tak mengucapkan apapun. "Oke, kita bagi bagian aja ya. Gue ngeidentifikasi hewan karnivora."ucap Sarah. "Gue herbivora deh!"ucapku senang. "Gue omnivora."ucap mereka bersamaan.

"Fine. Kerjain lah kalian semua. Gue mau sebat."ucap Vanno pergi. "Vanno stop!"ucap Sarah mengikuti Vanno. "Gue mau tidur."ucap Rafa pergi juga. Aku menatap bangku kosong di hadapanku dengan hampa.

Aku tersenyum. "Kan kalo gini gue juga jadi yang paling pinter."gumamku dan mengerjakan semuanya.

"Lah? Kok kelompok lo sepi sih, Lil?"tanya Reza muncul.

Ah aku lupa menjelaskan. Reza ini adalah ketua kelas di kelasku. Waktu itu Vanno menggantikannya saat upacara karena ia di Bandung, sedang mengikuti lomba antar SMA.

"Hehehe, lagi main bareng, ninggalin gue deh."ucapku tertawa kecil. "Gue udah sleseh sama kelompok gue. Gue bantuin lo ya. Biar cepet."ucap Reza duduk di sampingku.

Seusai pulang sekolah, aku dan Vanno langsung pulang ke rumah. Dan seperti biasa dalam perjalanan, ia sama sekali tak merespon satupun dari ucapanku.

Tiba-tiba saat membuka pintu rumah, terdapat papa, mama dan dua orang yang tak kukenal lainnya. "Ada apa nih?"tanya Vanno. "Ah kalian sudah datang. Ada hal yang mau papa dan mama omongin."ucap mama. Aku dan Vanno pun duduk di kursi ruang tamu.

"Jadi, karena keadaannya sudah runyam. Kami berdua memutuskan untuk berpisah."ucap mama.

Deg.

"Cerai? Bagus deh. Vanno gamau ikut siapa-siapa."ucapnya lalu berdiri dan masuk ke kamarnya. Aku masih terpaku dengan kata-kata mama. "Lily, kalau ini berat, papa sama mama gaakan maksa kamu untuk ikut papa atau mama. Kamu bisa kayak saudara kamu yang milih untuk ga ikut siapa-siapa."ucap papa.

Aku tersenyum, "Nanti Lily pikirin dulu ya mah, pah."ucapku. "Oh iya, kamu gausah pikirin biaya pengobatan kamu. Papa sama mama akan nanggung semuanya."ucap papa. "Makasih ya pah, mah. Lily mau belajar dulu."ucapku pergi ke kamarku.

Aku bersandar di balik pintu kamarku. Dadaku sangat sesak, aku terjatuh dan menutup mulutku rapat-rapat lalu menangis deras. Semua perjuanganku rasanya sia-sia. Benteng yang kucoba bangun kembali seketika roboh. Keluargaku tak bisa kembali seperti semula.

Namun tiba-tiba hpku berdering dan muncul nama Rafa. Aku menolaknya namun tak lama nama Reza muncul. "Stop calling me."ucapku membanting hpku entah kemana.

Aku tak bisa berada di rumah sekarang. Aku mengambil buku-bukuku, membawa beberapa baju dan mengambil kunci mobilku. Aku tak bisa memikirkan tempat lain selain kafe Reflyxia.

Aku pergi ke sana dan memilih tempat duduk di paling pojok yang tertutup dengan pilar. Aku memesan vanilla latte lalu membuka buku pelajaranku. Aku membawa semua buku pelajaran yang memiliki tugas dan mengerjakan semuanya.

Jika air mataku menetes, aku dengan cepat akan menghapusnya dan kembali mengerjakan. "Butuh bantuan?"

Aku mendongak dan melihat Rafa. Ia langsung duduk di sampingku lalu melihat soalku. "Lo kesusahan di aljabar variabel?"tanyanya. Aku mengangguk. "Gampang. Caranya...."

Entahlah, perkataan Rafa sama sekali tak masuk dan jariku hanya menggambar lingkaran hitam di buku catatanku. "Gampang kan? Pake aja logika."ucap Rafa. Aku menggelengkan kepalaku. Air mataku terus berjatuhan dan aku terus menghapusnya dengan kasar.

"Tolong... jelasin la...gi."ucapku. Ia menatapku lalu memelukku erat membuat tangisku semakin pecah. "Gue udah nyerah, Raf...."ucapku pelan dan ia mendengarnya. Ia menepuk-nepuk pundakku. "Lo harus inget, banyak orang yang berhasil kok merjuangin leukimia."ucapnya.

"Maksudnya gue nyerah sama aljabar variabel."ucapku makin menangis. Jujur baru kali ini aku mendengar tawa Rafa yang tulus. "Yaelah, aljabar mah gampang kalo lo latian terus pasti bisa."ucap Rafa.

Malam itu, aku tiba-tiba merasa nyaman dan tenang untuk sesaat. Menghabiskan waktuku dengan Rafa mengerjakan tugas-tugas yang bahkan tenggat waktunya masih minggu depan. Tapi aku senang. Aku senang bisa melupakan sebentar masalahku.

Happily Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang