Hujan turun tepat ketika aku mematikan mesin mobil. Aku berdecak pasrah setelah itu aku segera keluar dari mobil yang sudah kuparkir rapi. Tanpa berpikir lagi aku segera berlarian kecil memasuki bangunan dua lantai di depanku. Setelah melewati meja resepsionis aku segera menaiki tangg lalu mencari-cari letak ruangan yang digunakan Nat untuk fitting. Setelah menemukan pintu bercat putih dengan nomor 03 aku mengetuk pelan.
"Masuk!"
Itu suara Nat. Aku segera memutar gagang pintu.
Dan di sana lah ia, berdiri dengan gaun warna putih tulang yang nampak pas dengan tubuhnya. Ia membelakangiku, menatap jendela besar di depannya yang mengarah langsung ke jalan raya yang kini penuh dengan titik-titik air hujan.
"Mana Navila?" tanyaku setelah menelusurkan pandang ke seisi ruang, spontan membuat Nat menoleh.
"Keluar sebentar," Nat menoleh ke arahku kemudian kembali menatap jendela di depannya. "ada telepon penting katanya."
"Kau lihat apa?" tanyaku.
Nat diam. Jendela di depannya menampakkan pemandangan bangunan pertokoan dan jalan raya di bawah naungan langit yang terlihat kelabu yang kian terlihat buram akibat titik-titik air hujan yang makin banyak.
"Aku takut," ujarnya pelan.
Aku menyamai posisi Nat kemudian duduk di kursi tinggi di depa jendela. "Apa yang kau takutkan?" aku menatap matanya. Tapi tatapan wanita itu tetap terpaku ke jendela. "Aku sudah mengurus segalanya, semuanya aman. Kau tak perlu khawatir."
Nat menoleh pelan. "Aku takut kau pergi."
Aku mengerutkan dahi, turun dari kursi lantas menghampiri Nat. Aku memegang pipi kanannya dengan satu tanganku lalu menatapnya. "Aku nggak akan pergi, Nat."
Wanita itu menaruh telapak tangannya di atas tanganku lalu tersnyum tipis.
"Oh ya," sekan teringat sesuatu aku segera mengambil tas kerjaku, mencari-cari sesuatu di dalamnya. "Aku punya sesuatu untukmu!" ujarku sembari mengeluarkan sebuah kotak kecil lalu membukanya. Seketika Nat berdecak senang dan tersenyum lebar.
Begitu tahu isi dari kotak yang kubawa, Nat segera berbalik, kemudian menyibak rambut bagian belakangnya yang sewarna burgundy kehitaman seakan tahu hal apa yang selanjutnya kulakukan. Aku mendekat lalu dengan cekatan kulingkarkan lenganku ke lehernya. Rambut perempuan itu menguarkan aroma beri-berian yang wangi. Wangi sekali sampai rasanya aku ingin tinggal di dalam sana, supaya bisa makin dekat dengan Nat.
"Kau suka?" bisikku di kupingnya tak lama kemudian.
Sambil memegangi liontin kalungnya Nat menarik senyum.
"Suka sekali,", katanya. "aku selalu suka apapun yang Kak Bara berikan."
Garis hidungku menyentuh pipi Nat yang lembut.
Seketika terdengar bunyi derit pintu dan umpatan Navila. "Aku akan keluar jika kehadiranku di sini hanya akan mengganggu kalian." Serunya. Ia berada di ambang pintu lalu tertawa jail ke arah kami.
Aku menjauh dan seketika pipi Nat merona. Dasar Navila, merusak suasana saja, dia tidak pernah berubah.
"Masuklah, Nav!" ujarku. "Lagi pula ini markasmu dan aku tidak ingin kena biaya tambahan karena melakukan hal-hal selain yang tertera di paket fitting." Aku tertawa begitupun dengan Nat.
"Bagaimana? Kau suka gaunnya?" Navila mendekatiku dan Nat. Pakaiannya selalu modis, seperti biasanya tapi dia memakali lipstick kelewat gelap sore itu.
"Aku suka sekali dengan model gaunnya, Kak!" ujar Nat sambil menatap manik-manik dan bordiran gaunnya.
"Kau bisa mengambilnya minggu depan," Navila mendekati Nat sembari merapikannya sedikit. "masih ada banyak detail yang harus kurapikan lagi."
Navila menatapku dan Nat bergantian. "Gaun ini harus sempurna, terlebih untuk acara spesial kalian."
*
Hujan masih mengguyur. Tapi itu lantas tak membuat jalanan sepi. Mobilku terjebak di antara puluhan kendaraan pekerja bertampang muram yang baru saja keluar dari kantor. Saat itu perjalanan pulangku dan Nat diisi suara klakosn mobil yang saling bersahutan serta merdu Ed Sheeran, penyanyi favorit Nat, dari radio, sampai gadis itu memutuskan untuk mengajakku bicara.
"Kapan undangan mulai disebar?" tanya Nat.
"Kupikir lusa sepulang kerja aku akan mengantarkan undangan untuk teman-temanku." Mataku tetap fokus ke depan sebab aku sedang menyetir.
Nat mengambil napas lalu merapikan rambutnya. "Yahh... lebih cepat lebih baik."
Aku hanya mengangguk-angguk. Setelah itu suasana hening lagi sampai Nat mulai gelisah dengan kaca jendela di sampingnya yang mulai terlihat buram lalu bilang, "Hujan ini makin deras saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Bara Api dan Hujan
Teen Fiction"Cinta memang tidak bisa dipaksakan tapi selalu memberi pilihan." Bara Dia hanya gadis aneh yang suka ketawa sinis, sembunyi di kolong meja dan terlihat selalu ingin nantang ribut kalau bertemu denganku. Hujan Bagus! Bahkan nama kami pun seperti du...