[6]Hujan

38 4 0
                                    

Aku mengutuk pelan otakku yang selalu mendadak kalang kabut ketika menghadapi soal fisika. Bulir-bulir keringat mengalir menuruni pelipisku. Pak Teo keluar sejak 10 menit yang lalu entah kemana, sekarang aku sendirian di ruang guru, berkutat dengan soal quiz rasa soal olimpiade ini. beberapa menit kemudian aku merasa sudah kepayahan. Kuletakkan lembar jawaban dan soal di sudut meja Pak Teo lalu aku beranjak. Tepat ketika itu, pandanganku menangkap sosok cowok dengan tubuh tinggi, badannya tegap dan kulitnya kecoklatan terbakar matahari, nampak begitu kontras dengan senyumnya yang ramah dan tatapan lembutnya. Dia si cowok berseragam asing yang kulihat dikoridor kemarin lusa. Namun kini ia sudah mengenakan seragam yang sama sepertiku. Dia berjalan mendekat ke arahku. Tatapan kami bertemu. Jantungku berdegup seketika. Aku mendadak merasa cemas dan gelisah. Aku berusaha menahannya, kutarik napas dalam-dalam, berusaha rileks. Tapi entah mengapa spontan aku malah mengalihkan pandang kemudian langsung berjongkok di balik meja Pak Teo sambil memejamkan mata.

Sial! Sekarang aku pasti bakal dilabeli si cewek aneh!

"Lo kenapa?" tanya sebuah suara.

Aku masih memejam.

"Hey!" dia menyentuh pundakku. "Lo baik-baik aja?"

Aku berusaha rileks, kelihatannya dia cowok yang baik. Kubuka mataku perlahan. Cowok itu beringsut mendekatiku, kepalanya melongok ke arah kolong, ia mengerutkan dahi sambil menatapku keheranan. Aku berusaha mengabaikan kepalaku yang sedikit berdenyut-denyut.

"Ya, gue baik-baik aja!" jawabku secepat mungkin, sedatar mungkin, tanpa menatap matanya.

Setelah itu aku segara berdiri dengan tergesa-gesa, mengerahkan seluruh kekuatanku untuk beranjak sampai lupa kalau posisiku sedang dibawah meja. Alhasil kepalaku membentur meja keras-keras diiringi bunyi derit meja yang cukup keras. Yahh! Gaya aksi reaksi. Gaya yang kuberikan pada meja sama dengan gaya yang meja berikan kepada kepalaku. Betapa menyenangkannya bisa mengaplikasikan pelajaran di kehidupan seharai-hari.

"Aduh!"

"Lo baik-baik aja?" tanya cowok itu dengan nada panik. Dia menarikku lalu membantuku berdiri. Aku menoleh kikuk ke arahnya.

Dia menyipitkan mata.

Jantungku kembali berdegup-degup tapi anehnya tidak seperti biasa. Mendadak rasa cemasku sedikit mengabur. Aku merasa... seakan sangat akrab dengannya, akrab dengan senyum yang bertengger di bibirnya hingga menampakkan lesung pipinya, akrab dengan sorot matanya yang hangat. Aku merasa sekan pernah mengenalinya. Aku merasakan perasaan yang sama seperti ketika aku bertemu Reya dan Vino untuk pertama kalinya. Aku... merasa aman.

"Hey!" ujarnya lagi begitu mendapati aku terlihat melamun.

Seakan baru tersadar aku langsung membuang muka. Kemudian menoleh lagi sekilas ke arahnya.

"Gue... gue harus keluar!" ujarku tergagap.

Aku melihatnya mengangguk pelan.

"Makasih." Tambahku sesaat sebelum aku melesat meninggalkan meja Pak Teo.

Setelah keluar dari ruang guru aku merasa seperti tahanan yang baru dibebaskan dari sel. Aku menepi dan bersandar di tembok lantas mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, berusaha membuat tubuhku rileks. Aku mengumpat pelan, masih kesal pada diriku sendiri karena masih belum bisa mengendalikan diri dengan baik. Setelah merasa baikan, aku segera beranjak menuju kelas. Sepertinya Reya sudah menungguku.

*

"Lama banget si Lo?" protes Reya yang tampak sibuk dengan ponselnya.

"Gue bisa aja keluar lebih cepet kalau nggak...." ucapanku terputus. Aku malu mengatakannya pada Reya. Dan aku sendiri tak tau kenapa aku malu.

"Kalau nggak apa?" kali ini cewek itu menanggapiku serius, ia mengalihkan tatapan dari ponselnya menuju mataku.

"Kalau nggak ketemu sama orang itu!"

Reya mengernyit. "Orang siapa? Tapi lo baik-baik aja kan?"

Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya. Aku mengedarkan pandang ke penujuru koridor depan kelas. Tak lama kemudian mataku menangkap sosok cowok itu keluar dari ruang guru, di melangkah menuju ke arah gerbang sekolah dengan kaki jenjangnya. Aku menatap punggungnya yang kian menjauh.

Reya yang sepertinya mengamatiku menjentikkan jemari depan wajahku. Seakan baru tersadar aku kembali memfokuskan pandang ke Reya.

"Orang itu yang lo maksud?" selidiknya.

Aku mengangguk.

"Namanya Bara," ujar Reya. "teman sekelas kita yang baru!"

"Hah? Serius?" aku melongo. "kok seharian tadi gue nggak liyat dia di kelas?"

"Entahlah. Pagi tadi gue liyat dia masuk kelas terus Pak Edo manggil dia dan setelah itu gue nggak liyat dia lagi sampai barusan." terang Reya.

Aku hanya bisa bilang oh begitu cerita Reya seleai.

"Yaudah, buruan, yuk. Si Aarju udah nunggu!"

Tanpa banyak berpikir lagi aku segera beranjak bersama Reya.

Suara Bara Api dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang