Olahraga masuk dalam daftar kategori pelajaran yang paling membuatku ingin melarikan diri dari kelas selain fisika dan elektro. Aku berdecak pelan ketika bel pergantian pelajaran berdering dan memaksa kami semua berganti pakaian olahraga. Aku berduyun-duyun mengikuti gerombolan siswa putri ke ruang ganti, sesaat sebelum meninggalkan kelas aku tidak sengaja bersebelahan dengan Bara. Yah, si murid baru itu! Tapi dia terlihat kelewat sibuk bergurau dengan siswa perempuan lain yang berada di sekelilingnya juga saat itu. Dia kentara sekali ingin tebar pesona dan bodohnya teman-temanku nampak terpana. Cih! Sayangnya hal semacam itu nggak akan menarik minatku.
Saat pemanasan aku mendengar beberapa temanku masih mencuri-curi pandang ke arah Bara sambil mengucapkan selamat yang entah untuk apa—aku tidak tahu dan cowok itu terlihat sekali menikmati kepopulerannya sekarang. Dia melakukan peregangan dengan dikelilingi gerombolan geng Arin, salah satu cewek di kelasku yang genitnya minta ampun, bukannya bergabung dengan anak-anak cowok lain. Mataku berkedut-kedut melihatnya. Yah, mataku suka berkedut-kedut ketika aku melihat hal yang tidak kusukai. Dan aku tidak menyukai cowok yang terlihat begitu menikmati rayuan cewek-cewek yang menurutku sangat berlebihan.
"Kenapa semua orang memberinya ucapan selamat?" tanyaku pada Reya sewaktu pemanasan selesai.
"Semua orang tentu ingin mengucapkan selamat kepada orang yang menyumbang medali emas untuk sekolah terlebih dia murid pindahan dari KL yang katanya," sejenak Reya membuat tanda kutip di udara dengan kedua jarinya, "ganteng." Lanjutnya.
Aku menegerutkan dahi, berusaha tidak peduli dengan kata ganteng yang berada di akhir kalimat. "Kuala Lumpur?" selidikku tak percaya.
Reya mengangguk.
"Sodaranya Upin-Ipin, dong?" candaku.
"Garing lo!" timpal Reya disusul cengirannya.
"Oh ya, emangnya dia menang kompetisi apaan?"
"Yang gue denger dari reporter majalah sekolah, dia kemarin memenangkan juara pertama turnamen renang se provinsi gitu!"
"Cih! Gitu aja udah sombong! Dasar!" umpatku pelan.Aku tentu akan terpukau kalau bukan cowok yang hobi tebar pesona itu yang melakukannya.
"Dari pada lo bisanya cuman nyinyirin postingan di sosmed orang. Anak muda berkarya, dong!" sahut Reya.
"Eh enak aja! Gue lagi berkarya tau, gue lagi ngelanjutin nulis antologi puisi gue! Nah lo sukanya nonton drama mulu. Berkarya, dong!"
Reya hanya cekikikan.
"Lo kenapa sih kok sewot banget sama si anak baru?" tanya Reya begitu lihat responku.
"Nggak ngerti gue nggak suka aja lihat cowok itu!" lontarku sekenanya. "Dia itu keliyatan banget tipikal cowok-cowok yang hobi tebar pesona!"
"Iya, gue juga negrasa gitu!"
Mataku memebelalak lebar, merasa mendapat dukungan dari Reya. "Nah, kan!" pekikku. "Dia itu bukan tipikal cowok sejati!" timpalku.
Seketika itu Pak Edo meniup peluit, menandakan kalau aku dan Reya harus mengakhiri obrolan pagi kami. Hari itu Pak Edo membagi kami menjadi 6 tim. Setiap tim tediri dari 5 orang, campuran putra dan putri. Kami akan bermain futsal. Mendengarnya saja sudah membuatku malas dan ingin tidur siang, terlebih lagi aku harus satu tim dengan Bara. Aku masih bisa memakluminya kalau saja Arin, yang sudah kukatakan kalau dia genit, tidak satu tim juga denganku. Dan dengan cepat mereka terlihat seperti kertas dan lem. Dimana Bara di situ pasti ada Arin! Aku menampakkan ekspresi ogah ke Reya sesaat sebelum kami diminta berkumpul bersama tim. Gadis itu hanya mengepalkan tangannya seraya memberiku semangat. Dan dari jauh aku bisa melihat bibirnya membentuk kata fighting! Aku menarik napas kemudian berkumpul bersama timku untuk mendengarkan penjelasan dari Pak Edo.
Aku duduk di pinggiran lapangan bersama dengan keempat tim lain, menyaksikan tim 1 dan 3 saling melawan. 10 menit kemudian permainan itu selesai. Kini tiba giliran timku dan Reya yang bermain. Sesaat sebelum memasuki lapangan aku berkumpul dengan timku. Kami semua melakukan peregangan. Aku bisa melihat sepasang sepatu running sewarna kelabu menghampiriku. Aku mendongak, pemiliknya menyipitkan mata ke arahku dengan tangan terulur seraya mengajak bersalaman. Aku tahu siapa yang berdiri di hadapanku tapi anehnya kepalaku tidak berdenyut-denyut, rasa cemas pun juga tidak sedikitpun menggelayuti pikiranku.
"Kenalin," ujarnya. Dari nada bicaranya aku tahu betul kalau dia berusaha mempertahankan suaranya sesantai mungkin. "Gue Bara!"
Yah walaupun aku sudah mendedikasikan diri untuk tidak menyukainya secara sukarela aku menjabat tangannya, demi menjaga kode etik kesopanan, kalau kata Ayah. "Hujan!"
"Bara Api!" lanjutnya. Dia masih menjabat tanganku meskipun aku berusha menampakkan wajah nggak minat menjadi bagian dari fansnya. "Nama lo Hujan?" selidiknya. Dan aku hanya bisa memaklumi siapapun yang bertanya seperti itu padaku, pasalnya aku sudah ribuan kali ditanya seperti itu dan aku sudah kelewat bosan untuk meyakinkan si penanya kalau itu memang nama asli yang bahkan merupakan perlambang doa Ayahku untukku.
Jadi aku malah membalas, "Nama lo Bara Api!"
Impas! Seolah aku juga mengatakan ngaca! Nama lo juga sama anehnya dengan cara yang sopan. Cowok itu mengangguk lalu tertawa getir. Bagus! Bahkan nama kami pun seperti dua kutub yang berlawanan arah. Ini rasanya seperti sebuah pertanda kalau aku memang ditakdirkan untuk tidak dekat-dekat dengannya.
"Gue uda pernah liyat lo beberapa kali sebelumnya lalu ternyata kita sekelas, nggak afdol aja kalo gue nggak tau nama lo."
"Orang bilang kalau pertemuan pertama adalah kecelakaan, pertemuan kedua adalah kebetulan dan pertemuan ketiga adalah takdir. Pertemuan pertama kita adalah kecelakaan, pertemuan kedua cuman kebetulan aja dan pertemuan ketiga pasti nasib buruk gue."
Bara hanya diam beberapa saat lalu menatapku, mungkin terkejut dengan perkataanku.
"Gue harap kita bisa kerjasama nanti!" lontarnya kemudian.
Aku nyengir kuda. Entah mengapa rasanya mulutku otomatis berkata sinis pada cowok ini. "Gue nggak bisa olahraga jadi kayaknya seems too impossible!"
Cowok itu mengernyitkan dahi. "Nope! Yang penting kerjasama tim!"
Aku bahkan belum sempat merespon apapun. Saat itu seketika Arin memanggil Bara dan memintanya untuk menjadi instruktur peregangan selaku kapten tim. Dan entah mengapa teman-temanku setuju-setuju saja kalau dia yang menjadi kapten. Tiga lawan satu. Aku kalah suara.
Saat Pak Edo baru meniupkan peluit saja aku serasa sudah kehabisan tenaga. Aku melihat Arin begitu antusias di garis depan bersama Bara yang memang kuakui sangat jago di lapangan. Aku merasa tidak bisa mengikuti tempo permainan sama sekali. Aku hanya berlarian bolak-balik di tengah lapangan tanpa mendapat operan bola. Kalau bukan demi mendapat nilai KKM aku tidak akan bertahan di lapangan tolol ini. Reya yang saat itu berposisi sebagai tim lawan menghampirku.
"Fighting! Fighting!" ujarnya sembari berlari kecil mengelilingiku sembari menyemangatiku yang saat itu berjongkok kehabisan napas.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk sementara keringat membajiri tubuhku. Saat itu aku merasa matahari bersinar dua kali lipat dari biasanya. Itu membuat kepalaku berdenyut-denyut. Aku merasakan mataku berkunang-kunang sampai Bara memanggil namaku. Aku mendengarnya berteriak sambil mengoper bola kepadaku dengan kekuatan penuh. Tapi aku sudah terlalu lemas untuk bereaksi.
Kejadiannya berikutnya berlangsung cepat sekali. Bola yang dioper Bara melambung tinggi ke arahku dengan kecepatan yang luar biasa. Yang terjadi setelah itu adalah bola itu menghantam kepalaku. Seketika telingaku berdengung, dalam bayangan samar-samar aku melihat Reya menghampiriku dengan panik, beberapa temanku yang lain berteriak-teriak kalut tapi aku sama sekali tak bisa mendengarnya. Kepalaku makin berdenyut-denyut. Rasanya aku sudah tidak sanggup untuk menopang tubuhku lagi. Pandanganku mengabur. Alhasil aku memutuskan untuk tidak sadarkan diri.
=\ -
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Bara Api dan Hujan
Ficção Adolescente"Cinta memang tidak bisa dipaksakan tapi selalu memberi pilihan." Bara Dia hanya gadis aneh yang suka ketawa sinis, sembunyi di kolong meja dan terlihat selalu ingin nantang ribut kalau bertemu denganku. Hujan Bagus! Bahkan nama kami pun seperti du...