Desain ruang tamu rumah ini masih sama seperti saat terakhir aku kemari. Masih bernuansa putih hitam dengan kepala rusa imitasi menghiasi salah satu temboknya. Tak lama kemudian Mbak Prilly muncul dengan nampan berisi dua cangkir. Satu kopi dan satu teh. Kopi untuknya dan teh untukku. Teh itu masih hangat, untuk beberapa saat aku menghidu aromanya. Aroma peach-nya masih sama. Dia masih ingat menu kesukaanku. Sekarang aku ingat betul siapa perempuan di balik celemek kusut itu.
"Kau mau meminta maaf dengan ini?!" selidik mbak Prilly. Dingin. Retoris. Dan mengintimidasi. Ia berujar sambil melemparkan undanganku dengan kasar ke meja di antara kami. undangan itu meluncur dan mendarat tepat di samping cangkir tehku. Aku menelan ludah.
"Aku tidak tahu kau kelewat dungu atau terlalu bodoh untuk mendefinisikan tata cara permintaan maaf sampai berani-beraninya kau meminta maaf pada Hujan pakai undangan kawinan!"
Mendadak tenggorokanku tercekat.
"Kalau boleh mengoreksi, sebetulnya itu undangan tunangan." Ujarku pelan.
"Aku nggak peduli dan nggak akan peduli!" Serunya dengan cepat.
"Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Hujan." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Entah karena kecerobohan atau aku memang berhasrat mengatakan sejujurnya. "Aku ingin kami berteman seperti dulu."
Suasana hening selama beberapa saat. Uap sama-sama mengepul dari cangkir kami.
"Aku sudah lama lost contact dengannya." Tambahku.
"Tjcih!"
Entah mengapa tenggorokanku mendadak terasa kering.
"Apa kau sudah gila?!" selorohnya kemudian. "Mau menghancurkan hidupnya lagi?"
"Apa?" aku menautkan alis. "Tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Dia tidak mengambil serius masalah itu, kan?"
"Apa?!" Mbak Prilly terkejut begitu selesai mendengar kalimatku.
"Mbak! Saat itu kami masih SMA!" Aku mengangkat bahu " Dan lagi pula itu sudah lama sekali!"
Mbak Prilly diam selama beberapa detik, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya cepat seakan hendak mengatakan sesuatu sampai bocah kecilnya memecah keheningan di antara kami.
"Ma.. Nesya mau pipis!" rengeknya.
Mbak Prilly terlihat kesal, ia mengumpat pelan tapi kemudian berusaha mengulas senyum lalu menoleh ke arah putrinya yang sedang berdiri di lorong yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga lalu beranjak dari kursi di depanku. Kemudian dia kembali setelah beberapa menit.
"Sampai mana kita tadi?" tanyanya sembari berusaha mengumpulkan emosi yang sudah dibangunnya tadi. Aku diam karena tau pertanyaannya bertipe retoris. "Aku tidak mengerti dengan pemuda millenials! Tak punya nyali! Suka bersembunyi di balik layar ponsel!" semburnya kemudian.
Aku memberikan tatapan tidak mengerti.
"Bagi Hujan itu bukan main-main!" selorohnya.
Aku mengangkat bahu. "Apa yang bisa diharapkan dari dua remaja tujuh belas tahunan?" suaraku terdengar pecah.
"Dia mencintaimu, benar-benar mencintaimu." Mbak Prilly memberikan penekanan pada kalimatnya.
"Tapi kami sudah putus!" aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Pikiranku kacau.
"Apa menurutmu status bisa merubah perasaannya dengan mudah?!"
Tenggorokanku tercekat, aku mengalihkan pandang, kehabisan kata-kata.
"Mungkin bagimu iya, tapi bagi Hujan?"
Aku selalu benci pertanyaan retoris.
"Lalu apa sekarang Mbak menyalahkanku?" aku mulai terbawa emosi. "menyalahkan tindakanku di masa lalu?! memaksaku untuk mencintainya lagi?!"
"Apa aku tidak boleh melanjutkan hidup dan bahagia? Apa aku harus terus-terusan stagnan padanya? Itu yang Mbak Mau?!" lanjutku masih dengan amarah yang meletup-letup. Sekilas wajah Nat seakan melesat di depan mataku.
"Aku tidak peduli dengan pendapatmu bodohmu itu dan terserah kau mau apa tapi aku cuman ingin bilang, bagi Hujan cinta itu cuman satu," Mbak Prilly menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pelan, terlihat lebih rileks tapi tatapannya nampak lebih intens. "dan itu kau!"
"Aku sendiri heran bagaimana Hujan bisa menaruh hati pada pria sepertimu!"lanjutnya.
Perutku spontan serasa ditusuk-tusuk.
"Ma.. Nesyah sudah siap!" seru anak Mbak Prilly tiba-tiba. Aku bersykur, dia memberiku jeda untuk bernpas sejenak.
Kami berdua spontan menoleh ke arah bocah itu. Seakan mengerti arti tatapanku, mbak Prilly berujar, "Kita nggak bisa melanjutkan obrolan di sini, tidak di hadapan bocah kecil."
"Aku harus mengantar putriku ke tempat kursusnya dulu!" tambahnya.
Beberapa menit kemudian kami sudah berada di perjalanan ke tempat kursus bahasa Inggris Nesya. Di dalam mobilku. Dan wanita gembrot itulah yang menyabotase mobilku. Dia memegang setir sementara aku duduk di kursi penumpang dengan pikiran yang berkecamuk seperti orang bodoh. Setelah menurunkan Nesya, mbak Prilly memutar balik menuju arah alun-alun kota. Mataku tidak bisa teralihkan dari kemudi, takut kalau-kalau dia tiba-tiba melepaskan kendali lalu sengaja menabrakkan mobil atau berbelok terlalu tajam di tikungan dan membuatnya seolah-olah itu adalah kecelakaan karena terlalu menaruh dendam padaku.
"Kita mau kemana?" tanyaku waswas.
"Cafe."
Hening.
"Poirot Cafe." lanjutnya.
Tapi sebetulnya tanpa dilanjutkan pun aku tau cafe mana yang akan kami tuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Bara Api dan Hujan
Teen Fiction"Cinta memang tidak bisa dipaksakan tapi selalu memberi pilihan." Bara Dia hanya gadis aneh yang suka ketawa sinis, sembunyi di kolong meja dan terlihat selalu ingin nantang ribut kalau bertemu denganku. Hujan Bagus! Bahkan nama kami pun seperti du...