Aku menggeliat di ranjang ketika matahari perlahan masuk dari sela-sela jendela dan menyentuh lembut wajahku. Mataku membuka. Segalanya masih tampak buram sebelum aku mengerjap-erjap. Kepalaku masih terasa sedikit berat. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Aku beranjak pelan dari kasur menuju kamar mandi. Aku berdiri di hadapan sebuah cermin lalu mencepol rambut panjangku yang terlihat kusut. Aku menepuk kedua pipiku yang semakin hari semakin tirus hingga menapakkan garis wajahku. Aku mendesah pelan.Setelah itu aku melangkah ke kamar mandi. Kubiarkan air dari shower mengguyur tubuhku.
Usai mandi aku segera mengenakan pakaian lalu menyisir rambutku. Untuk sore itu aku memilih mengenakan kaus hitam oversize dan ripped jeans favoritku. Usai menyiapkan tas dan laptopku aku segera keluar dari kamar. Aku menuruni anak tangga dan mendapati ruang kerja ayahku masih sepi. mungkin Ayah akan lembur lagi hari ini, pikirku. Setelah itu aku memutuskan untuk segera menemui Pak Arman, supir Ayahku.
"Pak ke Cafe, ya!" ujarku pada pria paruh abad itu.
Tanpa bertanya lagi beliau mengangguk lalu menyiapkan mobil.
"Udah enakan, Non?" tanyanya sewaktu kami sedang di perjalanan.
"Syukur, Pak, Hujan udah enakan."
Hari ini aku izin tidak masuk sekolah, kondisi fisikku yang sedang lemah karena kebanyakan kegiatan ditambah kejadian di lapangan kemarin membuat kepalaku berdenyut-denyut sampai pagi tadi.
Ponselku berdering. Vino meneleponku.
"Halo!" suaranya terdengar jelas.
"Ya?"
"Jangan telat makan!" ujarnya pelan.
"Ya."
"Janji?"
"Janji!" jawabku singkat.
"Udah, ya, gue tutup!"
Aku tersenyum geli. "Udah gitu doang? Lo nggak nanya gue uda enakan apa belum?"
Dia tertawa. Aku bisa mendengar tawanya yang renyah.
"Kalo uda bisa ngangkat telepon berarti udah baikan, dong!"
Aku hanya bisa tertawa.
"Udah, ya, dahh!" ujarnya sesaat sebelum dia mematikan teleponnya. Aku hanya bisa geleng-geleng melihat perbuatan cowok itu.
Beberapa menit kemudian aku sampai di sebuah bangunan moderen minimalis yang bernuansa kombinasi coklat gelap dan putih. Bangunan itu memiliki jendela kaca besar bertuliskan Poirot Cafe and Library yang menguhubungkan ruangan di dalamnya dengan pemandangan langsung keramaian kota. Hanya di tempat ini keramaian tidak memberiku ruang untuk cemas. Aku benar-benar merasa aman seperti di rumah.
Aku mendorong pintu masuk seketika lonceng yang dipasang berbunyi. Sore itu cafe cukup ramai tapi aku tidak terusik, aku sudah akrab melihat mereka duduk di kursi yang sama di waktu yang sama dengan kegiatan yang sama setiap minggunya. Aku berjalan menuju meja pelayanan untuk memesan menu. Seorang wanita berambut coklat keriting menyambutku. Dia menyapaku dengan senyumannya terlebih dahulu.
"Nggak masuk lagi hari ini?" tanyanya sembari menyiapkan cangkir seraya melayaniku, seakan dia tahu betul menu mana yang akan kupesan bahkan sebelum aku mengatakannya. Atau dia memang sudah tahu.
Aku hanya nyengir sebagai respon. Beberapa detik kemudian dia sudah menyodorkan cangkir yang sudah disiapkannya padaku, kini lengkap dengan espresso dingin kesukaanku dan piring kecil yang berisi croissant apel. Aku meletakkan uang di stoples gelas yang disiapkan tapi wanita itu menahan tanganku tepat sebelum uang itu masuk.
"Aku bisa didamprat Ayahmu kalau tahu aku menarjet putrinya hanya untuk segelas espresso dan remah-remah kue!" wanita itu tersenyum jail ke arahku sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku tertawa kecil.
"Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai pelanggan yang jarang sekali kulakukan!"
"Kau selalu melakukan ini setiap datang kemari!" keluhnya.
Aku tersenyum. "Makasih, Mbak Pril!"
Mbak Prilly, begitulah ia kerap kusapa, hanya mengangguk lalu tersenyum. Setelah itu aku mengambil posisi di dekat rak-rak buku favoritku diletakkan. Aku membuka laptopku lalu mulai mengetik sampai sekitar satu jam kemudian seorang cewek yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mendaratkan pantatnya di kursi depanku.
"Lo udah enakan, kan?" tanyanya seketika.
"Yap." Jawabku singkat.
"Syukurlah."
Setelah itu dia terlihat sibuk merogoh sesuatu di dalam ranselnya. Begitu selesai dia menyodorkan dua buku catatan padaku. Mataku berbinar seketika.
"Makasih, Rey!" celetukku girang sembari mengambil dua buka itu. "Lo emang baik banget deh! Sebagai imbalannya gue bakal traktir lo sekarang!"
Reya terkekeh. "Nggak gue pinjemin buku catetan pun lo bakal nraktir gue kalau di sini!"
Aku jadi ikutan tertawa.
Cewek itu sehari-hari kupanggil Reya. Rambutnya yang hitam ketal selalu dikuncir kuda. Perawakannya tinggi. Garis wajahnya tegas dan bibirnya tipis. Wajahnya seolah menampilkan seorang kritikus pedas dan pengasuh bayi secara bersamaan. Dia orang pertama kali yang aku kenal di SMA dan orang pertama pula yang mau menjadi temanku. Dia adalah orang lain selain ayahku yang bisa memahami pemikiranku sebelum aku mengatakan apapun . Dia adalah salah satu orang yang aku percaya di dunia tempatku tinggal saat ini.
"Gue ketinggalan apa aja hari ini?" tanyaku langsung pada intinya.
"Wait, wait," ujarnya sembari memegangi pelipis seakan berusaha mengingat-ingat sesuatu. "terlalu banyak hal yang terjadi hari ini!"
Aku menunggu sejenak sambil menyesap espresso-ku lambat-lambat.
"Lo ketinggalan pelajarannya Bu Feli, quiz-nya Pak Teo dan lo ketinggalan..."
"Pak Teo bikin quiz?" spontan aku membelalak, menyela omongan Reya tapi dia tidak terlihat keberatan.
"Iya, ndadak banget bilangnya!"
"Mampus, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Bara Api dan Hujan
Teen Fiction"Cinta memang tidak bisa dipaksakan tapi selalu memberi pilihan." Bara Dia hanya gadis aneh yang suka ketawa sinis, sembunyi di kolong meja dan terlihat selalu ingin nantang ribut kalau bertemu denganku. Hujan Bagus! Bahkan nama kami pun seperti du...