[4]Hujan

47 3 0
                                    

Langit terlihat begitu biru siang itu. Semenjak bel istirahat berdering 10 menit yang lalu semua siswa langsung berhamburan keluar kelas. Begitupun denganku. Tahun kedua di SMA memberiku banyak kesibukan. Aku terlibat di berbagai proyek seperti pembuatan film pendek untuk wisuda kakak kelas dan pembuatan mural di samping dinding aula sekolah. Siang itu saat bel istirahat, aku dan beberapa temanku sedang mengerjakan mural. Sambil duduk di atas tangga portabel, aku melukis awan-awan yang menggantung di langit. Sementara empat orang temanku sedang mengerjakan bagian bawah tembok. Aku fokus pada tembokku, tak peduli lagi dengan seragamku yang terkena coreng moreng cat ataupun peluh yang membasahi pelipis dan yang sialnya mebuat rambutku lepek.

"Gue denger si Ilham nembak lo, kemarin!" celetuk Eren pada Nadya, seorang gadis berkacamata dengan potongan rambut pendek.

Spontan hal itu membuat Tito dan Vernon yang berada di bawahku bersorak-sorak norak.

"Ciee..cieee!" goda Tito nggak henti-hentinya. Aku menoleh sekilas lalu melempar cengiran dan mendapati pipi chubby Nadya sudah semerah tomat.

"Kok Lo tau sih, Ren?" tanya Nadya, suaranya terdengar malu-malu.

"Yah, Nad, seantero sekolah juga pada tau!" jawab Eren asal sembari kembali fokus pada lukisannya.

"WHAT!" celetuk Nadya, nampak terkejut.

"Ciee.. ciee!" seru Tito lagi.

"Berisik woy!" teriakku seraya menggoda Tito.

"Apaan sih lo!" seru Tito yang langsung kubalas dengan cengiran.

"Bisanya cuman cengar-cengir, kapan lo punya pacar, hah?" sahutnya lagi.

Pertanyaan Tito kontan mengundang gelak tawa Eren, Mika dan Vernon. Bukan rahasia umum lagi kalau hanya aku di antara kawan-kawanku itu yang masih belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Aku santai-santai saja, toh aku juga belum tertarik menjajalnya. Hey! Aku bahkan masih kesulitan mendefinisikan arti cinta.

"Lagi pula siapa yang mau kencan sama Hujan," celetuk Vernon. "ketemu cowok aja langsung nunduk! Buat PDKT paling-paling butuh 3 tahun, keburu ditikung lo sama yang lain!"

Kemudian kawan-kawanku tertawa.

"Diem lo, babi mutan!" seruku pada Vernon sambil mengusap peluh yang membasahi kening dengan punggung tangan.

Bersamaan dengan itu mataku menangkap Bu Farah, guru konselingku, bersama dengan seorang cowok berseragam asing. Mereka berjalan beriringan di koridor depan deretan kelas 9 sambil berbincang-bincang. Mataku menyipit untuk mengamati lebih jelas namun jangkauannya terlalu jauh untuk mata minusku. Aku bersyukur, hal itu sedikit mengurangi rasa cemasku.

"Lo semua lihat!" aku menunjuk koridor. Hal itu spontan membuat Tito, Vernon, Mika dan Nadya mengikuti arah telunjukku. "Cowok itu bakal jadi pacar pertama gue!" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku dengan penuh keyakinan. Aku mengatakannya tanpa sedikitpun mengalihkan pandang dari koridor, tempat cowok asing yang bahkan wajahnya terlihat buram di mataku itu berdiri bersama Bu Farah.

Kontan kawan-kawanku langsung terbahak-bahak, sama sekali tak percaya dengan ucapanku.

"Sumpah lo?" tanya Eren yang kemudian ngakak lebar. "Itu siapa woy!"

"Emang lo kenal?" timpal Tito sekenanya.

"Sekarang belum, nggak tau kalau besok!" jawabku penuh percaya diri.

"Lo uda keburu pingsan sebelum dia nembak lo!" timpal Vernon.

"Halah ujung-ujungnya ntar lo juga bakal jadian sama si Vino!"sahut Nadya.

Setelah itu percakapan kami ditutup dengan gelak tawa.

Aku hanya bisa ikut tertawa bersama kawan-kawanku, entah tertawa itu memang menular atau aku ingin menertawakan ucapan tadi yang lebih terdengar seperti bualan. Hey, itu memang bualan! Aku tertawa sampai seseorang memanggilku namaku.

"Hujan!"

Aku menoleh ke sumber suara. Di belakangku, seorang cowok berkulit seputih gading, dengan dagu runcing yang tampak pas dengan bentuk wajahnya. Tubuh kurusnya menjulang terlalu tinggi. Ia berdiri sambil menyodorkan kaleng minuman padaku. Selagi aku membalas senyuman yang bertengger di bibirnya, cowok yang akrab kusapa sebagai Vino itu bergerak mendekat dan aku turun perlahan-lahan. Saat tangannya menjangkau wajahku, cowok itu menempelkan kalengan minuman yang ia bawa ke keningku.

Dingin.

"Ada cat di kening lo!" lontarnya kemudian disusul tawanya yang terdengar jail kemudian ia menarik kembali kaleng minuman itu dari keningku.

Seakan baru tersadar aku pun langsung mengusap kening. Namun hal itu spontan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku oleng dan dalam sepersekian detik saja aku terjatuh.

"Hujan!!" teriak Nadya dan Erin bebarengan. Spontan Vernon mendongak menatap langit.

"Bukan hujan yang itu, bego!" teriak Tito pada Vernon.

Mereka terlihat panik.

Aku terjerembab ke depan dan mendarat di dekapan Vino yang ikut terjungkal akibat menahan bobot tubuhku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mendengar degup jantung Vino.

"Cieee!!" Segerombolan siswa yang tak kukenal kebetulan lewat di situ bersorak seketika. Puluhan mata menatapku. Jantungku berdegup-degup kalut dan kepalaku mendadak terasa berdenyut-denyut. Aku memejamkan mata erat-erat.

Ayolah, semuanya bakal baik-baik aja.

Mereka teman lo, Hujan! Cuman lo nggak pernah ketemu!

Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.

Nggak bisa, mereka terlalu banyak!

Dengan cekatan Vino membantuku berdiri, sementara Eren, Nadya, Tito dan Vernon berusaha membubarkan kerumunan itu. Aku masih memejamkan mata, masih dalam dekapan Vino.

"Mereka udah pergi!" ujar Vino seraya menenangkan. Tapi aku masih memejam. "Percayalah!"

Aku lebih memilih mempercayai ucapan Vino dibanding rasa takutku. Aku membuka mata, menatap iris matanya yang sewarna hazel. Setelah itu aku beranjak mundur dengan cepat lalu mengibaskan rokku yang kotor.

"Lo baik-baik aja?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan. Tepat ketika itu bel masuk berdering nyaring. Jantungku masih bedentum-dentum.

"Balik ke kelas, yuk!" ajak Vernon.

Kami semua kontan mengangguk setuju. Aku berbalik bersama dengan Vino. Kemudian ekor mataku menangkap cowok itu, cowok berseragam asing yang berdiri di koridor bersama Bu Farah. Dia melihatku di antara tiang-tiang koridor. Tanpa berpikir panjang aku segera mengalihkan pandang.

Suara Bara Api dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang