" Jasson"
Jasson merasa namanya dipanggil oleh suara asing baginya. Dia memutuskan menoleh ke belakang. Tak ada seseorang siapapun di lorong ini. Ia mengedarkan pandangnya ke setiap sudut. Tetapi, ia tak menemukan apapun kembali. Bulu kuduknya mendadak naik. Tak mungkin sekolahnya berhantu.
"jas.."
Suara itu memanggilnya kembali. Dia menegak salivanya dan berlari dengan kencang meninggalkan lorong yang sunyi ini. Dia berlari hingga ke kantin sekolah. Benar, ini adalah waktu makan siang. Dan ia malah berkeliaran mengelilingi sekolah daripada memakan makan siangnya. Ia mengatur nafasnya dan berjalan dengan bersikap dingin kembali. Dia bergaya cool melewati beberapa teman-temannya dan pergi ke arah Daeng raffa yang sedang menunggunya.
"Aku kira kau tidak ingin memakan makananmu, tadinya aku akan ambil jatah makan siangmu."
Jasson menjitak kepala raffa keras, merasa kesal dengan teman masa kecilnya itu yang suka berbuat seenaknya. " Aku tidak akan pernah membagikan makananku ke siapapun. Kau harus ingat Daeng!" ucapnya penuh penekanan.
Raffa terkikik geli melihat tingkah jasson yang masih enggan memberikan makanannya kepada siapapun. " Tenang saja Lubis, makananmu tidak akan dimakan oleh siapa pun ." Kata raffa sambil menatap jasson dengan cengiran.
"Hey, Daeng dan Lubis, kemari!"
Mereka berdua mengadahkan kepala dan melihat orang itu. Ternyata, yang memanggil adalah kakaknya raffa. Daeng roffi memanggil mereka dengan suara lantang membuat beberapa orang menoleh ke mejanya. Suasana di kantin sedang ramai, dan ia malah berteriak keras. Mungkin agar suaranya tak tenggelam dalam lautan manusia.
Raffa memutar matanya, merasa jengah akan sikap kakaknya yang selalu diluar nalar. Ia dan jasson segera ke daeng roffi untuk memenuhi panggilan, karena tak mau terlalu lama berbincang-bincang dengan kakak kandungnya itu, raffa berbicara tanpa berbasa-basa lagi.
"Kenapa Ka? Apa kau ingin meminta uang saku bagianku?"
Roffi terkekeh mendengar penuturan adik kecilnya itu. Dia memang masih menganggap raffa sebagai adik kecilnya walaupun tinggi mereka saat ini bisa dibilang setara. "Kau selalu memandang buruk kepadaku, aku tidak sejahat itu. Aku memanggil kalian untuk memberitahu seseuatu."
Mereka menyeringitkan dahinya, tak mengerti dengan maksud dari kata "Sesuatu" yang baru saja terlontar dari mulut manis roffi.
Roffi mengatur nafasnya, lalu berbicara berbisik kepada dua laki-laki itu. "Kalian tau tidak akan dilaksanakan ospek?"
Mereka menggeleng-geleng, karena memang tak mengetahui akan ada ospek. Di peraturan yang diberikan di dalam buku pedoman kampus juga tak disebutkan tentang penyelenggaraan orientasi siswa.
"Berarti kalian memang tidak mengetahui itu ya?"
Mereka menganggukkan kepala, menyetujui pernyataan itu.
"Oke, jadi gini. Nanti akan ada ospek. Dan memang ospek ini memang bersifat dadakan."
"Kenapa dadakan?" Sergah Jasson. Ia benar-benar tak mengerti itu, dan sebenarnya ia terkikik geli mendengarnya. Ia menutupi itu dengan cara bertanya. Bertanya adalah salah satu jalan untuk mengurangi ketidakfokusan dirinya.
Roffi mengangkat bahunya. Memilih untuk bungkam daripada berbicara tanpa tahu apa maksud jelasnya. "Aku tidak tahu, tapi bayangkan saja jika tidak ada ospek. Bagaimana kalian menentukan ketua angkatan dari ratusan siswa baru?"
Mereka mengangguk setuju, tak mungkin juga menyeleksi satu persatu orang yang berminat dan memiliki kemampuan yang memadai untuk menjadi ketua angkatan. Itu akan menyusahkan. Dan tak semua orang dapat memegang amanah besar.