Prilla merasakan pusing yang luar biasa. Ia berusaha membuka matanya perlahan-lahan dan melihat sekelilingnya. Terlihat seperti Rumah sakit dan juga tercium aroma obat-obatan. Ia juga merasa ada sebuah tangan besar memeluknya. Tubuhnya bergetar hebat. Aroma mint tercium olehnya. Ia mencoba melepaskan tangan itu tetapi sulit. Tangan itu menolak dan tetap memeluknya dengan erat.
"Kamu sudah bangun?"
Suara itu membuat jantung prilla kembang kempis. Ia memutuskan untuk diam dan tak membalas perkataan orang itu.
"Maafkan aku,"
Samuel menghela nafasnya, "Terserah ingin memaafkanku atau tidak tidak tapi kamu harus tahu bahwa ibumu sudah masuk penjara."
Tiba-tiba Samuel mendengar tangisan gadis itu. Ia ingin melanjutkan ceritanya kembali tetapi merasa tak nyaman karena gadis itu tidak menghentikkan tangisannya.
"Kamu ingin mendengar kronologinya? Hentikkan dulu tangisanmu."
Prilla berhenti menangis, menuruti perkataan Samuel agar ia bisa mendengar semua yang ingin ia dengar.
"Buku protokol itu yang memberitahu semuanya. Kamu menuliskan sesuatu ke buku tersebut, bukan? Buku itu bukan buku biasa. Dia akan mewujudkan keinginan setiap penulis yang menorehkan tinta ke bagian dirinya. Kamu menuliskan penderitaanmu ke buku itu dan buku itu menolongmu."
Prilla terdiam lalu menatap manik-manik mata Samuel, "Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa buku itu menolongku?"
"Sebenarnya buku itu hanya memberi petunjuk kepada kami. Kamu tahu? Awalnya buku itu kami sembunyikan di sebuah lorong sekolah. Di lorong itu ada sebuah ruangan rahasia yang pintunya tertutupi oleh batu bata dan semen, Pintu itu sangat sulit ditemukan dan sulit dibuka. Dan juga pintu itu dibuka menggunakan kode sandi yang rumit, dengan kepintaran Zidan dalam koding dan matematika, ia dapat membuka pintu itu dan akhirnya kami memutuskan untuk menyimpan itu disana." Samuel menjeda kalimatnya kemudian menatap langit-langit kamar ini.
"Kami mengira siswa-siswa lain tidak akan bisa menemukan buku itu bila kami menyimpannya disana. Tapi dugaan kami salah. Salah satu siswi berhasil menemukan tempat itu dan mengambil buku protokol tersebut. Nama siswi tersebut Zhafira Diandra. Kamu mengenal Kak diandra, bukan? Dia kakak kelas yang cukup dekat denganku. Buku itu sudah lama berada di tangan diandra tetapi dia belum menuliskan sesuatu ke buku itu. Buku itu tidak akan kembali ke tempatnya sebelum mewujudkan keinginan para penulisnya. Dan hari itu, hari kematian diandra. Sebelum ajal menjemput, akhirnya diandra memutuskan untuk menuliskan sesuatu di buku itu. Tulisan tentang dalang dari penyebab dirinya meninggal. Buku itu kembali tetapi bukan kembali ke ruangan rahasia tersebut. Entah siapa yang memindahkannya dan sengaja menaruh ke ruang perpustakaan OSIS."
"Tapi aku sudah menemukan buku itu sebelum kak diandra meninggal." Tukas prilla.
Samuel terkekeh kecil kemudian menghirup aroma yang berasal dari tubuh gadis itu. Aroma Lavender tercium di indra penciumannya. "Aku belum selesai cerita."
"Buku protokol ada dua. Keduanya terhubung satu sama lain. Buku yang kamu ambil itu buku untuk kami para petinggi siswa. Aku mengira aku berhasil menyembunyikan buku itu diantara selipan buku-buku perpustakaan OSIS tetapi ternyata kamu berhasil menemukan buku itu dengan mudah. Kamu mengambil buku itu dan membuat kami semakin kelimpungan karena kedua buku protokol tidak ada di tangan kami. Akhirnya kami berusaha mencari itu setiap malam, dengan cara mengecek satu persatu barang siswa-siswa di asrama dan mengecek cctv bila ada siswa-siswa yang mencurigakan di lorong itu. Kami tidak bisa mengatakan kepada kalian bila kami sedang mencari buku itu karena buku itu bersifat rahasia dan hanya kami dan para petinggi sekolah saja yang mengetahu itu."
"Ketika Diandra sudah menuliskan keinginannya. Buku itu berpindah ke tangan kami. Kamu menuliskan keinginannmu ke dalam buku protokol sebelum hari ujian serentak, bukan? Sebelum hari ujian serentak, Kami para petinggi siswa mengecek apa saja yang dituliskan diandra di buku itu. Apakah diandra menuliskan hal-hal lain selain kematiannya? Tetapi buku itu memberikan jawaban yang berbeda. Buku itu tertulis namamu dan menceritakan kisah hidupmu. Buku yang awalnya berwarna hitam menjadi merah seperti darah, menandakan bila kamu harus segera ditolong. Kami menghubungi Juniar Nasution, kakak tirimu dulu,berkerja sama dengannya untuk membantumu. Juniar yang membaca buku itu juga terkejut bila kamu ternyata mempunyai kehidupan seperti itu. Dia segera memberitahu ayahnya dan hal selanjutnya para orang bawahan keluarga nasution yang melanjutkan investigasi dan akhirnya ibumu berhasil dimasukkan ke penjara beserta ayah barumu."
Prilla menatap Samuel dengan tatapan heran, "Jadi maksudmu, ayah jun juga turut membantu?"
Samuel menganggukkan kepala lalu tersenyum hangat ke arah prilla. Dia melihat mata prilla terdapat butiran-butiran air mata yang akan jatuh ke pipinya itu. Sebelum benar-benar terjatuh, Dia menyeka air mata itu dengan kedua tangannya. "Jangan menangis lagi."
Tiba-tiba pintu ruangan inap prilla terbuka. Samuel masih memeluk prilla dari belakang dengan erat dan posesif. Dia belum mengetahui bila seoarang pria paruhbaya menatapnya dengan tatapa sengit dan tajam melihat suatu adegan kurang mengenakkan didepannya.
"Samuel menyingkir dari anak saya, sekarang!" Ujar seseorang dengan suara berat.
Samuel terlonjak kaget dan segera beranjak dari kasur itu, "Maaf om, saya khilaf."
"Selalu mengatakan khilaf tapi tetap dilakukan ketika saya tidak ada disini. Teman-temanmu yang memberitahu saya kalau kamu selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan saat prilla masih belum terbangun."
"Maaf om, itu diluar kendali saya. Saya juga bingung kenapa saya begitu. Mungkin ada magnet di dalam diri anak om nasution yang membuat saya selalu terbuai dan memelukknyaa." Kata Samuel dengan tertawa kecil.
"SAMUEL!" ujar orang itu dengan suara dibuat-buat seperti orang yang akan marah karena mendengar perkataan itu.
Prilla memegang tangan itu, "Papa?"
Laki-laki paruh bayah itu menoleh dan tersenyum, kemudian memeluk gadis itu dengan erat-erat. "Iya sayang, Ini papa."
"Papa disini? Kenapa bisa?"
Pria itu tersenyum hangat, "Samuel sudah menceritakan semuanya, bukan? Jangan mempertanyakan kenapa papa bisa disini. Oh iya, Papa akan mengadopsimu menjadi anak. Prilla mau, kan?"
Prilla menganggukkan kepala, menyetujui itu.
"Apa kamu ingin memaafkan samuel, kan? Samuel selalu bercerita tentangmu kepada papa ketika dirimu masih siuman. Samuel benar-benar menyesal telah melakukan hal itu dan rasa penyesalannya dia curahkan semua dengan membantumu. Dia juga turut andil besar dalam memasukkan Pristin ke penjara." Tukas papanya secara tiba-tiba.
Prilla terdiam kemudian terkekeh kecil, "Karena papa yang meminta, Aku akan maafkan dia."
Samuel dan papa Prilla tertawa kecil mendengar pernyataan itu.
Prilla menatap Samuel dengan senyuman hangat. Ia rasa tidak ada yang salah bila ia memaafkan samuel. Samuel telah membantunya selama ini. Apakah 1 kesalahan fatal membuat kebaikan samuel menghilang begitu saja? Ia tak ingin menjadi orang yang seperti itu.
"Pa, sekarang bulan apa?"
"April, kenapa sayang?"
Prilla menggeleng-geleng kemudian semakin mengeratkan pelukannya, ternyata bulan April tak seburuk yang ia kira. Dahulu setiap bulan April selalu saja ada kesialan padanya tetapi sekarang sepertinya berbeda. Ia menatap kedua laki-laki itu didepannya dengan senyuman lebar. Prilla merasa hari yang baik akan selalu datang kepadanya saat bertemu dengan kedua orang itu. Ayahnya dan Samuel.