Secara tanpa sengaja, orang itu melihat ke arah prilla kemudian tersenyum lebar. Reaksi prilla berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan laki-laki itu. Prilla menatap kaget dengan mata melotot seperti seakan-akan menyuruh dia agar turun dari podium. Dia menggeleng-geleng kuat seraya terkekeh kecil melihat tingkah laku prilla. Tiba-tiba dia menangkap semua mata teman-teman yang di atas podium ini melirik dia dengan tajam, ia meneguk salivanya dan menyadari kesalahan yang baru saja ia perbuat. Ia tidak akan membuang-buang waktu lagi dan segera memulai pidatonya. Semua siswa baru langsung terdiam melihat seseorang yang baru saja maju dengan membawa microfon.
Dia menghela nafasnya, " Ini sulit untuk saya, berbicara di depan ribuan siswa baru yang terlihat pintar dan cerdas." Dia menjeda kalimatnya. " saya tidak pernah menyangka jika saya bisa berdiri di hadapan kalian, sebagai ketua siswa sekolah ini."
" Saya tidak suka berbicara dengan kata-kata indah dan menarik agar didengar, tetapi pidato ini mengharuskan saya untuk pandai merangkai kata,dan membuat kalian untuk tidak mengantuk ketika mendengarkan." Semua orang tertawa mendengar pernyataan ketua siswa itu, termasuk prilla dan pei.
Semua orang terdiam, seraya menyimak yang akan dibicarakan oleh orang itu. " Hal terpenting yang harus kalian milki adalah sikap dan sifat menjadi siswa-siswi disini. Saya harap kalian----...."
Pidatonya semakin panjang, pikiran prilla sudah tak fokus. Ia kelelahan karena berdiri terlalu lama di aula ini. Tubuhnya lemah tak berdaya, ia menahan kepala dengan kedua tangannya. Tanpa disadari, pei melihat prilla yang sedang lagi kesakitan. Ia menepuk bahu prilla kemudian menatapnya khawatir.
" Apa kau tidak apa-apa?" tanya pei. Prilla mengangguk-ngangguk sebagai jawabannya.
Pei terdiam, lalu menarik paksa prilla untuk keluar dari barisan. " Kau tidak boleh berbohong. Ayo kita pergi!. Prilla hanya diam tak berkutik dan memilih tak menjawab karena ia tahu akan percuma saja, pei adalah orang yang baru saja ia ketahui memiliki sifat keras kepala.
Mereka berjalan lurus tak kala seraya menunduk, meminta maaf ke beberapa orang agar mereka memberikan jalan untuk mereka lewati. Ketika sudah berada di pintu gerbang, terdapat banyak petugas keamanan yang berjaga. Terlihat dari kain khas yang berlambangkan warna merah darah. Prilla menahan tangan pei agar tidak berjalan mendekati pintu gerbang tersebut, karena mengetahui kalau para petugas itu tak akan membukakan gerbang itu. Pei mengangguk-ngangguk, lalu pergi menjauhi gerbang itu. Ia berjalan dalam diam. Tak bersuara tetapi tetap memegang bahu prilla. Menjaga gadis yang lebih kecil darinya itu agar tidak jatuh. Ia tahu tubuh gadis itu sudah lemas dan lunglai. Badannya juga menolak untuk digerakkan, ia mengetahui itu karena prilla berjalan sangat lambat menembus para barisan siswa barisan ini.
Dia menghentikan langkahnya, prilla juga mengikutinya. Ia menyeringit heran ke arah pei. " Kenapa berhenti, Pei ?"
Pei menggeleng-geleng, dia tak ingin memperpanjang kesakitan yang akan diderita temannya itu. Oleh karena itu, dia berencana akan meminta izin kepada salah satu petugas keamanan untuk membukakan pintu gerbang itu. " Aku akan pergi sebentar, Kau tunggu disini. Oke?"
Gadis itu menggeleng-geleng tidak setuju, " Aku harap kau tidak meninggalkanku di tengah kerumunan orang ini."
"Tidak akan, Percaya kepadaku!" tukas pei. Ia mengangkat jempolnya seraya menyuruh prilla agar mempercayainya.
Pei berjalan meninggalkan gadis yang lemah itu di antara kerumuman ini. Dadanya bergemuruh, seraya ragu akan keputusannya. Ia menggeleng-geleng menepis itu kemudian memantapkan hatinya. Ia akan mengingat dimana tempat gadis itu berada.Setelah bertanya kepada para petugas, Ia berjanji akan segera mendatangi dan membawa prilla pergi dari sini.